“Halo? Ini Dewi?”
“Wi! Ada yang nyariin nih!” Teriakan yang begitu memekakkan telinga membuat lawan bicara menjauhkan ponsel dari daun telinganya.
Nihil, sang petinju yang sedang fokus berlatih tak ingin latihannya diganggu oleh siapa pun. Speed bag yang terus dipukuli tanpa henti seolah akan terlepas dari penyangganya. Mungkin jika speed bag itu bisa berteriak, dia akan berkata kasar untuk menyuruh Dewi berhenti memukulinya untuk sebentar saja.
“Halo, saya manajernya Dewi. Ini siapa dan ada perlu apa ya? Dewi lagi latihan,” ucap Wila tegas seperti gaya tomboi khasnya.
“E-eum. Sa-saya Radi. Tolong sampaikan sama Dewi kalau saya punya kabar baik untuknya.” Dengan sedikit gugup, Radi tak ingin menyia-nyiakan keberanian yang telah dia persiapkan dari semalam.
Sejak diskusi bersama teman-teman satu kosnya, Radi sudah berkenalan dengan Farhan, teman Agung. Berhubung orang tua Farhan adalah dokter, mereka ingin menanyakan perilah donor jantung. Namun, Radi harus menunggu Dewi untuk pergi bersama. Jadwal orang tua Farhan benar-benar padat.
“Ya, nanti saya sampaikan. Tidak ada lagi kan? Kalau begitu, saya tutup.” Sambungan teleponnya langsung putus tanpa menunggu persetujuan dari Radi. Harusnya dia yang menutup sambungan panggilan itu, karena dia yang pertama menghubungi.
Satu jam berselang setelah panggilan itu, Dewi beristirahat dari latihan rutinnya. Dia harus sangat focus dan menambah intensitas latihannya kali ini. Bagaimana tidak, sebentar lagi dia akan menuju Manila, mengikuti kejuaraan tinju dunia wanita.
Setelah mengalahkan Laila di pertandingan sebelumnya, Dewi tidak pernah lagi diikutsertakan dalam pertandingan berat. Hanya beberapa pertandingan ringan, dengan lawan yang tak begitu berpengalaman dilakukan Dewi. Dia harus menjaga kondisi tubuhnya untuk tetap fit. Sang manajer dan pelatihnya pun tak ingin ada patah tulang rusuk seperti kejadian sebelumnya.
“Siapa?” tanya Dewi yang sudah duduk di bangku bersebelahan dengan manajernya sambil merogoh sebotol air mineral dari tasnya.
“Nggak tau gue. Katanya Namanya Radi. Dia punya kabar baik buat lo.” Belum sempat berhenti sepuluh detik, manajernya sudah memulai ritual cerewetnya. “Lagian ngapain sih ngasih nomor gue? Cowok pula. Dia mau PDKT sama lo ya?”
Dewi mengedikkan bahu, menegak sisa minumannya sambil mengelap keringat yang bercucuran di badannya.
“Jadi ini gimana? Nanti dia ngehubungin gue lagi. Jawab apa? Gue kasih nomor lo aja ya.” Sang manajer yang kebingungan melihat sikap Dewi acuh tak acuh saat berhadapan para cowok mencoba menghela napas. Dia sudah tahu akan begini jadinya.
Sejak menjadi manajer bagi Dewi, tak pernah sekalipun Wila melihat petinjunya itu berkencan. Bahkan, petinjunya itu tak pernah membicarakan lelaki padanya. Padahal, di sasana itu, hanya Dewi dan dirinyalah anggota perempuan. Selebihnya, pelatih, semua petinju, bahkan resepsionis pun seorang laki-laki.
Apa jangan-jangan gara-gara rumor anak-anak tinju, Dewi jadi suka beneran sama gue? Wila membatin dan bergidik ngeri.
Perempuan yang berumur lima tahun lebih tua dari Dewi itu bangun dari tempat duduknya, mengejar Dewi yang berjalan menuju keluar sasana tinju. Seperti biasa, saat istirahat Dewi harus mengisi tenaganya dengan asupan makanan.
Wila langsung duduk di sebelah Dewi di dalam sebuah angkringan yang sepi. “Lo nggak beneran suka sama gue kan?” Pertanyaan itu sukses membuat Dewi memelototi sang manajer dengan sangat garang.
“Ya, kan gue nggak tau. Soalnya lo kayak nggak pernah tertarik sama cowok. Lo normal kan, Wi?” Wila bertanya kembali untuk memastikan.
“Normal lah.” Dewi menjawab sembari tetap fokus dengan makanan yang disantapnya. “Gue tuh nggak sempat mikirn begituan, Wil. Nggak ada waktu. Waktu gue harus gue gunain buat hal-hal yang bisa ngehasilin uang. No money, no life.
Lagian cowok tadi yang nelpon, dari awal ketemu aja gue udah bisa nebak kalau dia nggak jauh beda sama cowok-cowok pada umumnya. Yang kerjaannya ngegodain cewek. Baru kemarin gue ngasih nomor ponsel. Hari ini langsung dihubungi, kan? Untung aja gue ngasihnya nomor lo. Biar dia nggak gangguin gue.” Kunyahan demi kunyahan, dua nasi kucing dan tiga tempe sudah dihabiskan oleh gadis itu.