Tak terasa minggu depan adalah hari keberangkatan Dewi dan rombongannya ke Thailand.
“Nanti setelah Kakak pulang, Kakak janji akan bawa Jana berobat ke luar negeri.” Tatapan mata Dewi ke arah adiknya memancarkan kasih sayang yang sangat dalam.
Semilir angin membuat beberapa dedaunan berguguran. Suasana taman sore itu tak seramai biasanya. Hanya ada Dewi, adiknya, dan beberapa anak bermain di jungkat-jungkit. Suasana hangat itulah yang membuat keadaan terasa lebih haru dan hangat.
“Kakak bakal dapatkan juara pertama di sana. Kamu harus berdoa untuk kakak.”
“Tentu saja. Kakakku kan perempuan paling kuat. Lihat saja, satu pun lelaki nggak ada yang berani.” Pujian yang sedikit terdengar sebagai ejekan itu membuat Dewi mencubit kecil pinggang sang adik. “Kecuali Mas Radi.” Jana terkikih saat menyambung kalimatnya, dibalas dengan kerlingan mata Dewi.
“Pokoknya kamu adalah nomor satu di hidup Kakak. Nggak ada yang bisa menggantikan dan mengganggu adik cantikku ini.” Dewi menggosok-gosokkan tangannya pada rambut Jana yang membuat sang adik harus merapikan lagi rambut lurusnya itu.
Tak seperti Dewi, Jana memiliki kulit kuning langsat dan rambut lurus. Ciri fisik yang dimiliki Dewi diturunkan dari sang papa. Sedangkan Jana, tak perlu ditanya lagi. Anak itu seperti jiplakan mama mereka.
“Nanti pasti di akhir pertandingan akan ada pengumuman. ‘Dan juara pertama kita adalah … Prameswari Mahadewi!” ucap Jana bangun dari bangkunya sambil memperagakan gaya komentator saat berbicara.
Kakak beradik itu langsung tergelak tawa. “Ya enggak dong. Mana mungkin komentatornya bicara Bahasa Indonesia. Kan itu kejuaraan dunia, Bahasa Inggris dong,” jelas Dewi mengeraskan tawanya dengan terbahak-bahak.
Jana ikut tertawa mendengar tutur kata sang kakak. Mereka memang pasangan kakak dan adik yang sangat kompak dan saling menyayangi satu sama lain.
“Yang terpenting, kalau kamu ngerasa sakit sedikit ataupun berat. Nggak boleh dipendam sendiri. Langsung bilang ke kami. Dengar?” Kata-kata Dewi terdengar tegas kali ini. Dia tak ingin melihat adiknya jatuh pingsan seperti halnya saat perayaan bertambahnya umur sang adik malam itu.
Menurut dokter yang langsung menangani Jana, siswi SMA itu sudah menahan sakit untuk beberapa hari. Makanya malam itu tubuhnya tak bisa menahan lebih lama lagi.
Hanya seulas senyum yang diberikan oleh Jana untuk orang yang disayanginya itu. Dalam hati, Jana benar-benar lelah dengan kehidupannya. Setiap saat dia merasa sudah menjadi beban berat untuk keluarga. Apalagi sang kakak, Jana merasa sudah merenggut kebebasan dan masa depan miliknya.
“Maafin Jana untuk semuanya ya, Kak. Aku sudah menjadi beban kakak dan semuanya. Andai saja aku sembuh, atau setidaknya hidupku tidak diperpanjang oleh Tuhan biar tidak merepotkan semua orang.” Ekspresi Jana masih dengan senyum di bibirnya. Tetapi, matanya sudah berkaca-kaca.
Dewi mengerti sekali dengan apa yang sedang terlintas di pikiran sang adik. “Hei … kamu itu bukan bebas. Kami sangat menyayangimu, tidak ada yang merasa direpotkan. Pokoknya kamu harus jaga kesehatanmu sendiri selama Kakak di Thailand nanti. Kalau kamu pingsan lagi, siapa mau menggendongmu? Papa? Punggungnya saja sering encok.”
Dewi mencoba mencairkan suasana dengan membuat lelucon. Ada benarnya. Tidak mungkin Pak Budi mengangkat badan anak sulungnya itu sendirian. Meskipun umurnya masih 52 tahun. Namun, Pak Budi sudah sering sekali mengeluh sakit di persendian. Maklum saja, penyakit orang tua bisa menyerang kapan saja.
Di rumah, Mama dan Papanya mempersiapkan segala kebutuhan untuk Dewi selama berada di negeri orang. Meskipun ini bukanlah hal yang pertama kali. Namun, ada rasa khawatir yang besar terselip di hati sang ibu.
“Ma, besok subuh aku harus menemui pelatih. Kami akan membicarakan persiapan final sebelum keberangkatan lusa hari,” jelas Dewi yang sedang duduk di kursi kamar, memperhatikan sang ibu yang dengan telaten memasukkan pakaian-pakaian Dewi ke dalam tas.
“Iya, besok Mama bangunkan kamu lebih awal. Biar papa yang mengantar Jana ke sekolah.” Bu Ratih keluar dari kamar itu menuju ruang tengah.
Jana yang sedang pergi bersama papa untuk membeli beberapa keperluan masih belum menunjukkan tanda-tanda kepulangan. Ruangan tidur berukuran 3 kali 3 itu dihuni oleh Dewi bersama adiknya. Jika tidak ada Jana, sudah pasti kamar itu akan lebih mirip seperti kendang babi. Jana lah yang selalu membersihkan kamar, rumah, memasak, dan melakukan hal-hal yang biasanya perempuan lakukan.
Dewi? Jangan tanya. Baju berkeringatnya sering dilempar ke mana pun sesuka hatinya. Benar-benar berbalikan dengan sang adik. Mungkin kalau rambutnya tidak Panjang, dan suaranya lebih berat, orang-orang akan mengira kalau Dewi itu adalah seorang lelaki. Untung saja Bu Ratih memberikan nama anak bungsunya itu ‘Prameswari Mahadewi’.
***
“Wil, gue ntar malam mau ke Black House. Ya, buat jaga-jaga aja kalau lo nyariin gue,” bisik Dewi pada Willa.
“Lo gila ya, Wi?” Seketika beberapa orang yang sedang berada di dalam ruang latihan melihat ke arah mereka berdua akibat teriakan Willa.
Ssst. Dewi langsung membungkam mulut sang manajer dengan tangannya. “Pakai toa masjid aja sekalian, biar satu kampung bisa terdengar.”
“Sorry … sorry. Lagian sih lo. Besok loh kita berangkatnya. Masa lo nyari mati anti malam? Gue harus gimana kalau lo kenapa-kenapa?” Ekspresi geram dan menahan amarah terpampang jelas dari air muka Willa.
“Gue butuh uang simpanan, Wil. Kalau tiba-tiab Jana masuk rumah sakit dan butuh perawatan intensif, dari mana uangnya? Tabungan gue pas-pasan, nyokap sama bokap sudah punya hutang di mana-mana. Setidaknya kita di sana dua mingguan.”