“Woho! Selamat ya, Wi!” ucap Rio sambil menepuk pundak Dewi saat mereka bertemu di restoran untuk makan malam.
“Yoi! Lo gimana?”
Rio hanya menepuk dadanya dengan gaya sombong tanda ia juga berhasil. Tim ini akan tidur nyenyak malam ini berkat kemenangan kedua petinju itu.
Tak lupa Pak Lhong datang untuk memberikan selamat atas kemenangan mereka. Sejak pertemuan di ruang timbangan, Pak Lhong semakin akrab dengan Pak Dani dan anggotanya. Mereka membicarakan banyak hal.
Lelaki yang berwarganegara Thailand itu ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam penyelenggaraan pertandingan ini. Sejak istrinya masih hidup, ia bahkan lebih aktif dalam olah raga tinju. Namun, sekarang yang menjadi fokus utama adalah anak lelakinya. Ia hanya mengambil beberapa proyek dalam bisnisnya.
“Pak Lhong itu ganteng banget, ya, Wi! Gue mau deh sama dia walaupun duda.” Tawa cekikikan Willa dibalas dengan tatapan tajam Dewi.
“Apa lo kata? Mau gue laporin Beni?” Ya, Beni adalah pacarnya Willa. Setidaknya begitulah yang dikatakan banyak orang.
Meskipun Beni tak pernah menyatakan cinta secara langsung pada Willa, semua orang tahu bagaimana hubungan mereka. Jika tidak bersama Dewi, Willa pasti bersama Beni. Mereka sangat lengket. Entah bagaimana kisah mereka di belakang layar, Willa tak pernah memberitahu. Masih penuh misteri.
Dua hari berlalu dengan cepat. Dewi menonton pertandingan para petinju yang main saat jadwalnya kosong. Tak lupa ia dan Rio juga berlatih dan saling memberi masukan.
Di sisi lain …
“Jana! Bangun!” Radi menemukan Jana tergeletak di dapur warung sore itu. Lelaki itu panik setengah mati. Ia mengangkat tubuh Jana yang sudah tak berdaya, lantas berteriak memanggil Pak Budi yang sedang berada di dalam rumah.
Walau kejadian ini sudah berulang kali terjadi, orang tua Jana tetap panik setiap Jana pingsan. Perasaan Bu Mila kali ini sangat tidak enak. Sekelebat ingatan beberapa hari lalu yang memperlihatkan betapa riangnya Jana membuat air mata wanita paruh baya itu tak terbendung lagi.
Kemacetan kota Godean menuju Yogyakarta di sore hari tidak ada tandingan. Wajah Jana yang lebih pucat dari biasanya dan suhu tubuh yang dingin membuat Bu Wila semakin histeris.
“Nak Radi, apa tidak ada jalan pintas?” Pak Budi mencoba bersikap setenang mungkin agar keadaan tidak semakin tak terkendali. Meski begitu guratan-guratan cemas tertoreh di wajah om tua ini.
Radi melajukan mobilnya secepat yang ia bisa. Bukankah lebih cepat dengan ambulans? Harusnya ia pergi ke rumah sakit terdekat saja. Tapi, kepanikan membuat isi pikiran Radi kacau dan memilih rumah sakit Sardjito, tempat Jana dirawat sebelumnya.
Setibanya di depan rumah sakit, Pak Budi langsung menggendong putri bungsunya. Radi memutar mobilnya menuju parkiran.
Suasana rumah sakit sore itu tak seberapa sibuk, beberapa petugas langsung sigap membantu Pak Budi membawa Jana ke ruang perawatan. Beberapa perawat nampak sedikit terkejut dengan kondisi pasien di hadapan mereka. Perawat lainnya memanggil dokter jantung usai Pak Dani memberitahukan penyakit yang di derita Jana.
“Kita harus mengambil Tindakan tegas kali ini. Kondisi pasien sudah tidak stabil,” ucap dokter dengan cepat saat keluar dari ruang rawat.
Tak bisa dipungkiri jantung Pak Budi berdetak semakin kencang, ia mencoba menahan tangis agar tak pecah di hadapan istrinya. “Lakukan apapun untuk kesembuhan anak saya, Dok.”
“Saat kunjungan terakhir kali saya sudah menjelaskan bahwa Jana harus mencari donor jantung. Kami juga berusaha, tapi mencari donor jantung di Indonesia cukup sulit. Apa dari keluarga sudah menemukan donor yang tepat?”