Tentu saja ini bukan hal yang mudah bagi kedua orang tua Jojri. Papa dan Mama menjadi orang yang paling menderita dengan keputusan mereka sendiri. Bayangkan saja, orang tua mana yang tega melepas anaknya yang baru berumur dua belas tahun untuk tinggal di asrama dengan pelatihan ekstra ketat, ditempah pagi, siang, malam untuk menjadi atlet bulu tangkis yang belum tentu berhasil.
Orang tua mana pula yang tega melepaskan masa kecil anaknya yang seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti bermain, nongkrong, liburan atau hal-hal semacam itu? Tentu saja air mata Jorji yang selalu keluar saat malam-malam pertama tinggal di asrama juga terus menyusur deras dari mata kedua orang tuanya. Papa menangis dalam diamnya, menatap langit lalu merindukan anaknya.
Mama tentu saja lebih jujur, air matanya mengalir lalu mengatakan kepada suaminya tentang rindunya kepada Jorji. Apa yang sedang dilakukan Jorji? Apakah dia Lelah, capek, terluka, menangis? Siapa yang menghapus air matanya, menemani dia tidur, menemaninya melewati malam-malam berat di Padepokan? Pertanyaan itu terus berulang diucapkan oleh Mama kepada Papa. Papa hanya bisa memeluk istrinya sambal mengatakan untuk lebih kuat daripada Jorji.
Sebulan pertama Papa dan Mama masih mengungjungi Jorji di setiap akhir pekan. Bulan kedua Papa dan Mama mengurangi intensitas pertemuan menjadi dua kali dalam sebulan. Di bulan ketiga hingga seterusnya persis Jorji hanya melihat kedua orang tuanya di akhir bulan saja. Jorji sempat protes ketika mereka sedang bertelepon.
“Kenapa harus satu bulan sekali, Pa?”
“Karena Papa dan Mama juga punya pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan di sini!”
“Papa tidak sayang dengan Jorji?”
“Kenapa kamu bilang begitu, apakah hanya bertemu yang menjadi tanda sayang?”
“Tapi teman-teman yang lain tetap didatangi setiap akhir pekan, Pa.”
“Papa mereka mungkin tidak punya kesibukan!”
“Mana mungkin!”