Tahun 2014 dan 2015 masih menjadi milik Jorji dan Fitriani. Pada Turnamen yang sama pada tahun 2014 Fitriani dan Jorji kembali sampai di final. Fitri kembali keluar sebagai juara. Fitriani berhasil mempertahankan gelar dan menutup masa juniornya dengan apik. Fans Fitriani bertebaran dimana-mana, nama Fitri pun menjadi perbicangan di hampir semua media sosial.
Jorji yang menjadi runner up di turnamen itu pun turut menjadi perbincangan. Tariannya di lapangan selalu berhasil menghipnotis para penonton. Fitriani dan Jorji menjadi kebanggan para pecinta bulu tangkis. Tahun 2015, Jorji pula yang membuktikan berhasil menjadi juara di Turnamen IJI tersebut, dia mengalahkan lawna dari Thailand, Supanida.
Tahun-tahun itu menjadi kebanggaan masyarakat yang bahkan mampu mengalihkan perhatian atas buruknya prestari tunggal putri senior di ajang internasional. Para senior Jorji dan Fitri gagal terus menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka terus menjadi cercaan para penonton sebab menurut para penonton mereka sering tampil tidak maksimal, mudah menyerah dan tanpa daya juang.
“Mereka pikir kita ini mau kalah?” Bella menangis di lorong lantai dua. Kelima senior Jorji sedang berkumpul persis di depan kamar Yus dan Jorji.
“Sudahlah, Ini risiko kita, kan?” Maria mencoba menenangkan, diantara mereka berlima memang Bella dan Yus yang paling diharapkan. Kali ini Bella pun tak luput dari cercaan para penonton. Para pendukung selalu bersembunyi dibalik kata-kata bahwa mereka tidak peduli pada menang dan kalah, hanya saja atlet harus selalu menunjukkan daya juang yang tinggi.
“Tapi kita sudah berjuang, aku sudah berlatih, aku bermain dengan seluruh kemampuanku!” Bella kembali terisak. Tidak ada atlet yang ingin kalah. Tidak ada atlet yang ingin mengecewakan para pendukungnya. Mereka, anak-anak perempuan yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk bulu tangkis rasanya tidak layak untuk terus-terusan disalahkan ketika kalah.
“Para pendukung semakin hari memang semakin kelewatan. Mereka sudah mulai menggunakan kata-kata kasar kepada kita di kolom komentar!” Desiana yang berbicara, dia merangkul Bella yang masih menangis berurai air mata.
“Matikan ponsel kalian dan tidak usah lihat media sosial itu!” Yus meninggikan suaranya. Dia juga tak luput dari ejekan di media sosial. Bagi atlet, media sosial ini seperti pisau bermata dua yang sehari-hari bisa menumbuhkan semangat dan keyakinan namun juga bisa meruntuhkan mental seketika.
Pengguna media sosial yang datang dari semua kalangan benar-benar tidak dapat disortir. Yus, Aprilia, Bella, Desiana dan Maria harus menerima kenyataan itu. Mereka memang sedang tidak berprestasi, mereka memang terus-terusan kalah, tapi apakah itu semua adalah keinginan mereka?
Mereka berlatih dan berjuang dengan keras, memimipikan kemenangan, mempelajari lawan dan semua hal yang mungkin bisa dilakukan telah mereka lakukan. Kesalahan merekakah ini semua? Tentu saja, kekalahan ini menyakitkan tapi jika para pendukung harus memaki mereka dengan sebutan tolol, anjing, sok cantik, dan julukan-julukan jelek lainnya, apakah itu pantas mereka dapatkan?
“Kebencian para pendukung ini muncul sebab kekosongan yang terlalu lama dialami tunggal putri.”
“Kita semua tahu itu Yus, sejak Kak Mia meninggalkan Pelatnas dan pindah kewarganegaraan pembinaan tunggal putri gagal total. Tapi apakah kerinduan akan prestasi itu pantas membuat mereka memperlakukan kita seperti ini?”
“Mereka pasti berpikir bahwa pajak mereka yang membiayai kehidupan kita di Padepokan ini!”
“Lebih baik aku keluar dari PLATNAS kalau begitu!”
“Hentikan Bella!” Aprilia yang membentak. Mereka berlima akhirnya menunduk. Kata-kata itu tidak boleh dikeluarkan oleh seorang atlet Platnas. Kata-kata itu mampu meruntuhkan semangat orang yang mengatakannya juga orang yang mendengarnya. Entah berapa banyak sudah mereka mendengar kata-kata seperti itu dan berakhir kenyataan. Mereka tidak boleh menyerah, mereka harus terus berusaha, harapan untuk memberikan prestasi kepada sekor tunggal putri Indonesia tentu masih ada.
“Jorji dan Fitri bagaimana?” Maria berbicara saat semuanya mulai ingin masuk ke dalam kamar masing-masing.
“Kenapa mereka?”
“Orang-orang mengatakan lebih baik keduanya dibawa langsung ke senior!”
“Hentikan itu, Maria. Mereka tidak usah dibawa-bawa kemasalah ini!”