Queen of The South Beach

ahmad dicka hudzaifi
Chapter #2

Bab 1 : Pantai Selatan

Gunungkidul - 2020

Langit tertutup oleh lintasan mendung. Sisa-sisa udara dingin semalam masih menggenang. Embun belum sepenuhnya memudar oleh cahaya matahari. Murid-murid penghuni asrama yang terletak di lereng pegunungan itu sudah memulai aktivitas masing-masing. Ada yang mandi, sarapan, dan bersiap-siap berangkat sekolah. Ada yang mengesol sepatu sebelum berangkat sekolah, ada yang berebut antrian di kamar mandi, ada pula yang masih terlelap di kasur lipatnya yang penuh bekas air liur.

Gerry melangkah dari kamarnya yang terletak tepat di depan kolam ikan itu menuju dapur. Raut wajahnya tampak lesu, langkahnya pun nyaris tak bergairah. Kepalanya terasa pusing karena mimpi buruk yang menyinggahi tidurnya semalam. Menjelang subuh tadi dia terbangun di depan buku-buku pelajarannya. Rupanya, dia hanya mengalami mimpi buruk. Seumur hidupnya, baru kali ini dia mengalami mimpi buruk sampai terbangun dalam keadaan napas terengah-engah dan bercucuran keringat.  

Seusai sarapan dan mandi, Gerry pun mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Kehidupan para penghuni asrama tidak jauh berbeda dengan kehidupan murid-murid yang hidup di luar batas asrama. Hanya saja para penghuni asrama harus lebih mandiri dan disiplin dalam berbagai hal. Selain itu, di asrama ini juga ada sederet peraturan yang harus dipatuhi.     Tidak boleh membawa ponsel atau berbagai alat elektronik lainnya. Tak boleh keluar lingkungan asrama dan sekolah tanpa izin. Harus mengikuti berbagai kegiatan di asrama. Dan lain-lain sebagainya.

Asrama itu hanya dikhususkan bagi siswa-siswa lelaki saja, sementara murid-murid perempuan di sekolah biasanya berasal dari desa-desa di lereng pegunungan sekitar asrama. Ada pula siswa-siswa lelaki non-mukim atau tidak menetap di asrama. Kebanyakan penghuni asrama berasal dari luar Yogyakarta. Rata-rata tertarik dengan lingkungan sekolah dan asrama yang asri di lereng pegunungan dengan panorama indah sejauh mata memandang namun tetap memiliki akreditas pendidikan sekolah dan asrama yang baik. 

Meski pun tinggal di sebuah sekolah berasrama di lereng pegunungan, namun Gerry tidak takut untuk memiliki cita-cita setinggi langit. Ia ingin melanjutkan berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri favorit di negeri ini, kemudian seusai itu berkuliah di luar negeri. Sekolahnya mungkin tidak memiliki akreditasi yang lebih baik daripada sekolah-sekolah di kota, namun murid-murid di sekolah yang berada di lereng pegunungan ini juga memiliki potensinya masing-masing. Ada begitu banyak anak-anak desa yang cerdas dan berpotensi, namun masih terhalang kurangnya fasilitas dan kepercayaan diri.

Gerry sudah tinggal di sini sejak kelas satu SMA. Bunda, ibunya, ingin ia menjadi seseorang yang lebih mandiri dan disiplin. Bukan remaja laki-laki yang bahkan masih minta diantar ke sekolah di hari pertama MOS semasa SMP hanya karena tak bisa bersepeda motor. Sejak kecil Gerry memang selalu dipenuhi segala keinginannya oleh Bunda sehingga membentuk kepribadiannya menjadi manja dan sedikit kekanakan.  

Ada sebuah cerita yang terselip di balik perginya Gerry meninggalkan rumah dan menjadi penghuni asrama di lereng pegunungan ini. Semenjak Ayah meninggal dunia, Bunda menjadi temperamental dan otoriter. Di satu waktu Bunda bisa menjadi begitu lembut dan penuh kasih sayang, namun di lain waktu justru menjadi sangat mudah marah. Selain itu Bunda juga lebih mementingkan orang lain ketimbang keluarganya. Pernah sekali Bunda memberikan semua makanan di rumah pada tetangga-tetangganya dan hanya menyisakan sepotong kecil ayam goreng untuk Gerry.

Bunda pernah menampar wajah Gerry hanya karena ia tidak mau pergi ke masjid—padahal saat itu Gerry memang sedang sakit. Entah bagaimana Bunda bisa menjadi begitu emosional hanya karena sesuatu yang sebenarnya sepele saja. Dan karena merasa tidak tahan lagi itulah Gerry memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah berasrama. Harapannya, Bunda menjadi lebih tenang karena keinginannya melihat Gerry bersekolah di asrama terwujudkan. 

Bunda tetaplah Bunda, ibunya. Sampai kapan pun juga Gerry akan tetap menyayangi Bunda. Namun di sisi lain ia juga merasa tidak bisa terus menghadapi Bunda dengan segala perubahannya itu. Ia pun memutuskan untuk mengepak barang dan mengangkat kopernya. Meninggalkan rumah, pergi merantau ke sebuah kota yang jauh dari kota kelahirannya. Sempat terbesit rasa khawatir meninggalkan Bunda yang masih kerap menangis sendirian dan tidak stabil, namun ia rasa itulah yang terbaik untuk saat ini.

Gerry mengikat tali sepatunya dengan kencang. Sudah kebiasaannya mengikat tali sepatu seperti ini supaya dia bisa melangkah dengan mantap dan leluasa. Ia ingin membuktikan pada Bunda dan semua orang bahwa ia bisa menjadi seseorang yang lebih baik. Setelah memastikan sepatunya sudah terpasang dengan pas, ia pun beranjak dan mulai melangkah ke sekolah.

Hidup harus berjalan bahkan segelap apapun mimpi tidurnya semalam, batin Gerry seraya menghela napas.

Gerry melangkah melintasi bangunan asrama sebelah. Beberapa kali dia menyapa penghuni asrama yang kebetulan berpapasan dengannya. Ia berangkat lebih pagi dari biasa karena kebagian jadwal membereskan perpustakaan sekolah dengan beberapa murid lainnya. Resiko menjadi anak kesayangan guru.

Pandangan Gerry tanpa sengaja tertuju pada seorang pemuda yang tengah menyiram bunga di lantai dua. Mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya, namun bagian kancing kemejanya masih terbuka. Tampaknya dia lebih mementingkan menyiram tanaman kesayangannya ketimbang mengancingkan seragamnya. Dan seolah merasa diperhatikan, pemuda itu pun mengalihkan perhatian pada Gerry di depan asrama.

Faizar, pemuda Muslim keturunan China itu tersenyum padanya. Sepasang matanya membentuk dua bulan sabit yang indah ketika sedang tersenyum. Ia pun memberikan isyarat padanya untuk menunggu sejenak, kemudian bergegas masuk kamar. Dia ingin berangkat sekolah bersama Gerry.

Tak lama berselang, Faizar sudah tampak menuruni tangga sambil menjinjing sepatu ketsnya dengan langkah cepat. Tampaknya ia tak ingin membuat sahabatnya yang selalu disiplin ini menunggu terlalu lama. Pemuda bertubuh jangkung itu pun duduk di sisian tangga untuk mengenakan sepatunya.  

Faizar adalah adik kelas Gerry. Meski pun mereka merupakan kakak dan adik kelas, namun mereka bisa bersahabat dengan begitu akrab. Bahkan Faizar tak pernah lagi memanggil Gerry dengan sebutan ‘Mas’ atau ‘Kak’ lagi sebagaimana adik kelas lainnya memanggil kakak kelasnya. Mereka memang sudah sangat akrab sehingga nyaris seperti saudara kandung. Kadang mereka berdebat karena hal-hal sepele, namun mereka juga cepat berbaikan lagi. Mereka sering membicarakan topik-topik sederhana sampai yang kompleks sekali pun. Tidak pernah ada rahasia di antara mereka.

Tampan, cerdas, dan jago olahraga. Selama ini begitu banyak gadis-gadis yang menitipkan salam untuk Faizar. Figur Faizar yang bertubuh tinggi dan atletis bahkan sampai menarik perhatian kakak-kakak kelasnya. Secara fisik dia juga terlihat lebih dewasa ketimbang Gerry yang terlihat imut dan beberapa tahun lebih muda daripada usia aslinya. Beruntung Gerry dan Faizar tidak pernah menyukai gadis yang sama apalagi bertengkar hanya karena seorang gadis. Mereka lebih suka memperdebatkan topik-topik random seperti mana di antara telur dan ayam yang lebih dulu ada di dunia ini.

Gerry dan Faizar sudah berteman selama dua tahun belakangan ini. Entah bagaimana, Gerry yang sensitif, agak kaku, dan tidak terlalu suka bergaul dengan banyak orang itu bisa bersahabat dengan Faizar yang enerjik dan selalu positif. Mereka mengobrol pertama kali saat pertandingan sepak bola antara dua kubu asrama mereka di lapangan dekat asrama. Sebelumnya pun mereka sering tak sengaja saling memandang saat Gerry sedang berjalan di depan asrama, sementara Faizar tengah bersantai di depan kamarnya yang berada di lantai dua. Dahulu mereka adalah dua orang yang hanya saling memandang dari jauh, namun sekarang mereka sudah bersahabat dengan begitu akrab. 

’’Besok lusa kita jadi kemping di Parangtritis loh. Kamu harus siapkan dirimu ya? Jangan sampe sakit-sakit lagi kayak waktu itu!’’ ucap Faizar, mengingatkan.

Gerry berpikir sejenak. ’’Kayaknya aku nggak jadi ikut kemping sama anak-anak pramuka di Parangtritis deh,’’

Faizar tertegun. ’’Nggak jadi ikut ke Parangtritis?’’

Gerry mengangguk.

’’Kenapa kamu nggak mau ikut ke Parangtritis?’’ tanya Faizar, terheran-heran. Seingatnya, beberapa waktu yang lalu Gerry begitu menggebu-gebu ingin pergi ke pantai untuk melepas beban pikirannya.

Gerry terdiam. Terbayang kembali mimpi buruk yang singgah di tidurnya semalam. Dua orang laki-laki misterius dengan delman kuda yang berhiaskan kembang danur kuning hampir saja membawanya pergi entah ke mana. Dia tidak mengetahui siapa mereka dan apa tujuan mereka mendatanginya, namun dirinya merasa mimpi itu adalah sebuah pertanda. Entah apa. 

’’Ada masalahkah?’’ tanya Faizar, lagi.

Gelengan itu kembali muncul. Gerry tidak mungkin menceritakan mimpinya semalam. Bukan kebiasaannya membagi setiap kegelisahannya pada orang lain. Lagipula, dirinya tidak akan melibatkan orang lain selama dirinya masih bisa mengatasi hal itu sendiri. Bola matanya tergerak untuk menatap Faizar yang lebih tinggi darinya.

’’Nggak tahu, Zar, pokoknya aku nggak bisa ikut.’’

Faizar menghela napas. ’’Ya sudah, ntar biar aku bilangin ke Abimanyu saja kalau kamu nggak jadi ikut. Tapi nanti sore kita jadi ke pasar ‘kan?’’

’’Hmm, kamu jadi mau beli sepatu olahraga baru ya?’’

Faizar mengangguk.

’’Okelah.’’

Gerry dan Faizar tiba di sekolah. Sekolah mereka bukanlah sekolah elite dan mewah dengan berbagai fasilitas bonafide yang memanjakan murid-muridnya seperti yang ada di Wattpad atau film-film, namun semua murid di sekolah ini bahagia tanpa kekurangan apapun. Tidak ada murid yang depresi atau mendapatkan bullying secara berlebihan. Tidak ada pula dewan pimpinan sekolah yang melakukan korupsi terhadap dana operasional sekolah. Singkatnya, seluruh warga sekolah ini hidup tenang dengan kehidupan yang serba sederhana dan apa adanya.

Masih pukul enam lebih sepuluh menit. Sekolah masih terlihat lengang. Seusai ini Gerry harus segera pergi ke perpustakaan untuk membereskan apa saja yang bisa dibereskan. Apa boleh buat, karena dirinya sudah terlanjur menyanggupi permintaan tolong dari guru penjaga perpustakaan untuk membereskan perpustakaan sekolah.

Gerry menghela napas. ’’Aku mau ke perpustakaan dulu ya. Ada panggilan dinas. Biasa, disuruh ama Bu Diyah buat bersih-bersih ruangan perpustakaan.’’

Faizar tertawa. ’’ Semangat!’’

Di persimpangan antara perpustakaan, ruang guru, dan kelas itu Gerry dan Faizar berpisah. Faizar hendak langsung melenggang menuju kelas, sementara Gerry akan melaksanakan piket kebersihan di perpustakaan sekolah. Namun kemudian Gerry teringatkan sesuatu.    

’’Zar!’’

Lihat selengkapnya