"Selamat pagi," ucap Isyana saat memasuki ruang meeting. Lebih tepatnya ruang santai. Tidak ada kesan serius seperti kantor-kantor besar di gedung bertingkat. Cukup sofa empuk dan karpet bulu berwarna ungu sebagai alas duduk mereka.
Clara menyahut tanpa suara dengan ponsel terjepit di antara bahu dan kepala. Mulutnya membentuk rangkaian kata 'pagi juga' sebagai jawaban untuk Isyana dan tetap menyimak lawan bicaranya di telepon seluler. Sekali lagi memastikan kepada Mbak Feni, Graha Saba Buana bisa dipakai sesuai pesanan Quin&King.
Ardian masih sibuk mengaduk kopi panas. Sengaja membuat beberapa gelas bagi yang suka kopi hitam. Dia duduk bersila di karpet setelah membawa nampan alumunium berisi gelas-gelas penuh cairan hitam ke ruang tengah.
"Kita mulai?" Clara bergabung dengan mereka sambil membawa buku agenda setelah memutus sambungan telepon. Dia duduk menyilangkan kaki di sofa, bersebelahan dengan Jonathan, sang fotografer berbakat yang sering mencuri perhatian calon mempelai wanita.
Di sana juga ada Ersa yang membawa satu kotak berisi makanan. Survei, menu snack baru untuk katering mereka. Ersa adalah bagian dari Quin&King yang berperan dalam mencukupi kebutuhan makan alias cathering. Clara cukup terbantu dengan kehadirannya. Inovasinya luar biasa.
Mondy mencomot satu yang paling atas dan memasukkan ke mulut. Belum sampai ditelan, sudah dimuntahkan lagi.
"Kenapa, Mon?" Clara mengerutkan kening menunggu jawaban Mondy. Team-nya harus berinovasi sesering mungkin. Supaya klien tidak bosan. Bayangkan, setiap pesta selalu dengan menu yang sama? Apakah masih menggugah selera bagi para tamu?
"Kopi, Mon." Ardian menyodorkan segelas untuk Mondy ketika melihat raut wajahnya pucat. Barangkali bisa menetralisir rasa tak enak di mulut Mondy.
"Anjr*t," maki Mondy setelah mencuci muka di wastafel, "Itu makanan apa?"
"Sorry, Beb. Lo ambil yang paling atas ya? Bonusan itu, isinya manisan pala."
Muka Clara sampai merah padam mendengar penjelasan Ersa. Tawanya meledak ketika empunya katering menyebut manisan pala. Apakah tidak ada lagi yang lebih jahat?
Clara membekap mulutnya dan mendapat tatapan tajam dari Mondy. Makan manisan pala lebih kejam daripada ingatan pada mantan.
"Ini namanya racun! Kira-kira dong kalo bawa makanan." Mondy masih menggerutu, "Puas, lo?" Lirikan sinis Mondy lempar untuk Clara yang masih tertawa.
"Cobain, Jo." Clara menyodorkan piring itu pada Jonathan. Gadis itu lebih suka memanggil Jo daripada Nathan. Lebih enak didengar katanya.
Jonathan mengambil satu, coklatnya lumer sangat menggoda ketika digigit. "Ini namanya apa?"
"Mereka bilang kue balok," jelas Ersa.
"Enak." Jonathan mengangkat sisa gigitan seolah menunjukkan pada seisi ruangan. "Cobain deh, Ra." Clara turut mengambil makanan yang disodorkan Jonathan untuknya.
"Sambil makan ya, kita mulai bahas nikahannya Simon-Natasya." Semua mulai menajamkan telinga mendengar Clara berkhotbah. Gadis itu miris melihat plot kerja mereka, sambil mencorat-coret hasil diskusi pada buku agenda. Terutama kenyataan bahwa menyiapkan pernikahan membawa hati pada mimpi beberapa tahun silam. Harapan pada Jaya. Seharusnya Clara merencanakan pernikahan bersama lelaki itu. Bukan pernikahan untuk orang lain.
"Ar, galon habis ya?" Teriakan Mondy membawa Clara kembali pada dunia di depannya.
"Masih," ucap Ardian. Mondy kembali membawa sebotol air mineral. Menyimak setiap penjelasan Clara.
"Simon mau foto prewed ditempat romantis tapi sepi. Ada rekomendasi Jo?" Catatan mereka mulai penuh meskipun selalu disela dengan gurauan. "Sebenarnya simpel sih konsep yang diajukan, tapi Natasya yang rewel."
"Ada, gue tawarin dua alternatif. Satu, pantai kalo dia mau outdoor, bisa nyambung ke hutan pinus, di Jogja." Jonathan menulis di agenda lalu membuka ponsel dengan tangan yang lain. Menawarkan view gardu pandang dari atas bukit. "Kita bisa pakai ini."
"Natasya takut ketinggian." Ersa menyela. Tidak mungkin membawa pasangan yang demam ketinggian di atas gardu pandang yang beralas jurang.
"Ribet amat sih pasangan satu ini," gerutu Mondy.
"Lo siapin make-up yang bener, Mon. Ntar rewel dia." Clara mengingatkan sambil menyesap kopi hitam yang tinggal setengah, setelah mengatakan pada Mondy.
"Make up gue paling bagus se-Asia." Mondy membela diri. Kenyataannya Quin&King patut untuk bersaing dengan WO papan atas di ibukota. Clara menjunjung tinggi profesionalitas saat terjun ke lapangan.
"Nggak masalah, yang penting kita serve better, toh pernikahan cuma sekali seumur hidup. Wajar donk kalo mereka mau yang perfect. Balik lagi masalah prewed." Clara menarik napas, "Jo, lo cari alternatif lain. Pantai dan hutan pinus udah biasa banget."