"Ra, kamera dan yang lain udah di pack."
Isyana merapikan tas dan koper yang akan dipakai besok sore. Gaun pesta telah terpajang rapi, sengaja tidak di packing karena para model akan dirias dari tempat ini. Begitu juga kostumnya. Namun, penjelasan Isyana sama sekali tidak terdengar oleh Clara. Dia lebih memilih memutar sendok dalam gelas kopi sampai ampasnya ikut naik.
Sejak pertemuannya dengan Jaya, gadis itu lebih banyak melamun. Kata-kata Jaya masih terngiang. 'Berlarilah terus jika kamu lebih suka dikejar. Dan aku tidak bosan untuk kembali mengejarmu, Clara.'
Clara menatap nanar ketika Jaya mengatakan. Bisa apa Clara dengan hatinya yang rapuh? Sembuh itu bukan perkara yang mudah, apalagi bangkit. Perlu usaha lebih keras dan keberanian yang lebih.
Seberapa besar Clara mengasah keberaniannya menolak Jaya, sebesar itu pula dia membohongi hati kecilnya. Jaya tahu itu. Maka dengan segenap perasaannya yang belum menguap sama sekali, lelaki itu berjuang untuk merebut hati Clara. Sekali ini tidak boleh gagal. Clara tidak tahu, apakah ini benar? Seperti ada yang salah jika dia harus menerima Jaya kembali.
"Mau sampai kapan melamun terus?" Hentakan kaki Isyana menyadarkan Clara.
"Apa, Is?" Wajah Clara memerah ketika tertangkap basah sedang melamun.
"Dia sudah ada di depan mata. Bukan saatnya lagi untuk menyiksa hati. Kalo lo masih mengharap dia, ya perjuangkan." Isyana semakin geregetan melihat kelakuan bosnya. "Jangan terlalu lemah jadi cewek." Meskipun lebih pelan, Clara masih bisa mendengar kata-kata Isyana.
"Apa maksudnya lemah?" Clara meradang mendengar itu. Perjuangannya tidak mudah. Melawan perjodohan orang tua, membangun bisnis, dan menetap di kota lain itu sangat berat. Dia harus merangkak sendiri di tengah hancurnya hati. Lalu, dia harus dihadapkan dengan masa lalu yang tiba-tiba hadir. Salahkah jika dirinya goyah?
Clara menatap muram pada Isyana. Tidak mau membantah juga tidak mau menerima. Mungkin ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Dalam hati Clara masih ada secuil sakit hati yang belum bisa diredam. Maaf, tidak semudah itu.
"Kenapa diem-dieman?" Ersa menarik kotak make up Mondy lalu duduk di depan meja rias dan mulai memoles wajahnya.
"Catering buat nanti udah siap, Er?" Tidak ada semangat dalam suara Clara. Hanya mengalir untuk mengisi kebekuan. Hatinya yang beku, atau karena teguran dari Isyana?
"Ingat, Ra. Kupu-kupu yang bisa lepas dari kepompong itu punya sayap yang indah." Isyana pergi setelah mengatakan itu.
Clara tahu tapi belum sepenuhnya paham akan kata-kata Isyana. Dia hanya tahu hatinya kosong. Rindu tapi belum ingin memiliki. Apakah ini bentuk lain dari jual mahal? Hah! Dunia selucu ini memang. 08225361xxxx Senyum donk. 08225361xxxx Dikit aja. 08225361xxxx Aku bisa kok melihat tanpa harus bertemu.
Tanpa sadar sudut bibir Clara tertarik ke samping melihat pesan yang masuk dalam ponselnya. Clara tidak mau membuka pesan, dia hanya mengintip dari notifikasi yang muncul di layar ponselnya.
Memangnya dukun? Clara berkata dalam hati. Lalu ponselnya berdering sekali lagi, dari nomor yang sama. Sengaja Clara belum menyimpan nomor itu. Dia melihat dari notifikasi yang muncul di layar ponselnya lagi sebelum membuka chat. Tidak seperti pesan sebelumnya. Kali ini cukup panjang, mau tidak mau dia harus membuka meskipun ... gengsi. 08225361xxxx Dan aku ga perlu minta bantuan dukun hanya untuk tau apakah kamu sudah senyum apa belum. Aku bisa melihat karena apa? Karena kamu masih ada di hatiku. ILY.
Hampir saja Clara melonjak kegirangan. Tidak. Tidak boleh terjadi. Dia harus menahan hati. Goresan yang tertoreh cukup dalam. Untuk sampai pada titik ini, butuh darah yang banyak. Entah keluar karena luka hati, atau bersama air mata yang mengalir.
***
"Semua sudah siap?" Clara memantau acara itu dengan rasa waswas. Seprofesionalnya Clara, tetap terbersit rasa tidak percaya diri saat hari-H. Kepala begitu berasap ketika sang pembawa acara mengawali fashion show terbuka yang dilihat oleh siapapun ketika berkunjung ke mall.
"Everything is gonna be ok." Jonathan mengutip lirik lagunya Bondan Prakoso& fade2black. Lelaki itu menepuk lengan Clara memberi semangat. Dia juga menyodorkan sebotol air mineral sebelum stand by di belakang tripod kameranya.
"Thank's," ucap Clara menerima botol air mineral.
Jonathan meninggalkan Clara dengan kecemasannya. Santai saja, Clara tidak sendiri merasa hal itu. Semua manusia di Quin&King merasa hal yang sama, termasuk para model yang naik ke panggung.