"Hai." Clara menyapa Simon dan memberi ciuman di pipi untuk Natasya. Dia membiarkan ponsel yang berdering beberapa kali. Pernikahan mereka memang masih lama, tapi detail adalah nomor satu. Apalagi sebutan public figure telah tersemat pada kedua calon mempelai.
Setiap pasangan pasti mempunyai mimpi untuk tampil sempurna pada hari spesial. Berdiri bersanding dengan senyum merekah sampai lupa akan prahara besar yang menanti setelah upacara pernikahan selesai. Ini bukan untuk menakut-nakuti kalian yang belum naik ke pelaminan. Hanya saja, semua begitu cepat. Dunia tidak mau menunggu barang semenit. Siklus yang terlalu kejam, atau manusia yang terlalu santai untuk menikmati hidup? Namun siapa yang tahu, nasib akan membawa diri ini ke mana.
Clara duduk berhadapan dengan calon pengantin di rumah makan bergaya---entah apa gayanya, yang jelas Clara suka ada kolam di tengah, dengan gazebo berderet di tepi. Sejuk dan menyegarkan mata. Tas ranselnya terlihat penuh dengan beberapa clear holder yang berisi sample foto busana, dekorasi, dan makanan untuk disajikan pada pesta mereka.
Clara mengeluarkan satu persatu sampai menemukan kata sepakat, juga tentang harga. Diam-diam Clara mengamati pasangan Simon dan Natasya. Sesekali ada perdebatan kecil mewarnai diskusi mereka.
Simon ingin tuxedo berwarna putih, sedangkan Natasya bersikukuh agar calon suaminya memilih warna abu-abu. Bagus dikombinasikan dengan warna pink, menurut Natasya. Lalu dekorasi, Natasya ingin bernuansa putih. Semua senada dengan warna itu, bunga yang menghiasi harus sama.
Ada rasa perih menyusup di hati Clara ketika mendengar perdebatan sepasang kekasih itu. Jika dia masih bersama Jaya, akankah saat ini melakukan hal yang sama dengan Simon dan Natasya? Apakah akan ada adu pendapat di antara mereka? Clara tersenyum tipis. Senyum hampa, melihat kenyataan Jaya tidak lagi bersamanya. Dirinya terlalu naif untuk berkata 'baik-baik saja' sementara hati menahan kekosongan.
"Jadi kita bisa pakai yang ini?" Natasya menunjuk model gaun tanpa lengan berwarna putih.
"Bagus. Mau pakai yang sudah ada, atau mau buat baru?" Clara memberi mereka alternatif, memang seperti itulah yang selalu dia lakukan.
08225361xxxx memanggil.
Clara menghentikan diskusi mereka, melihat nomor yang sengaja tidak disimpan muncul pada layar ponsel. Ragu sejenak, akhirnya Clara memutuskan sambungan dan melanjutkan diskusi dengan klien-nya. Sekali lagi ponselnya bergetar, tapi sudah Clara senyapkan suaranya. Gadis itu membiarkan sampai getarannya berhenti sendiri.
[08225361xxxx: Jangan lupa makan.]
[08225361xxxx: Sudah kukata kemarin, aku tau tanpa harus bertatap muka.]
Clara menghela napas ketika membaca pesan masuk pada ponselnya. Tanpa mengambil pusing, gadis itu tetap mencatat apa yang diinginkan oleh Simon dan Natasya.
Satu jam telah berlalu, dan muncul kata sepakat diantara mereka. Baik pihak Clara selaku owner Quin&King, maupun Simon dan Natasya selaku konsumen.
Simon dan Natasya pamit setelah semua selesai. Clara mengantar mereka ke luar, lalu masuk lagi ke tempat semula. Dia masih ingin menikmati teduhnya air dengan gelembung-gelembung yang dihasilkan oleh ikan di dalam sana.
[08225361xxxx: Kenapa tidak dibalas?]
[08225361xxxx: Lagi di mana?]
Clara hanya menatap layar ponselnya. Untuk apa dibalas? Apakah harus dibalas? Pertanyaan itu tertuju pada Clara sendiri.
Benar apa kata Mondy, "Manfaatkan waktu untuk melupakan dia, sebelum dia menghantui lo lagi."
Clara hanya diam saat Mondy mengatakan itu. Ternyata benar. Apa yang dikatakan Mondy terbukti. Clara sulit untuk menghindar dari Jaya. Sedikit saja perhatiannya, hampir membuat Clara terbuai.
08225361xxxx memanggil ....
Sampai pada dering kelima Clara menyerah. Dia menempelkan benda pintar itu pada telinganya.
"Halo."
"Akhirnya kamu mengangkat teleponku."
Clara terkejut ketika suara itu telah sampai di belakangnya. "Kok? Kamu ... ngapain di sini?"
"Nyari kamu." Jaya tersenyum simpul.
"Ngapain nyari?" Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut Clara justru membuat lelaki itu tambah tersenyum lebar.
"Apakah aku tidak boleh bertemu dengan orang yang selalu membuat hatiku hangat?"
Clara tidak mampu membalas. Hati dan otaknya tidak sejalan, saling beradu satu sama lain. Dia masih bergeming di tempat.
"Kamu boleh menurunkan ponselmu sekarang."
Pipi Clara bersemu ketika menggerakkan tangan untuk turun dari telinga dan memandang benda sial itu. "Ada yang bisa saya bantu?" Apapun Clara ucapkan untuk menutupi kecanggungannya.
"Ra, apa kita harus memulai dari awal lagi?" ucap Jaya setelah berhasil mendekat pada Clara tanpa membuat gadis itu menghindar.
"Apa yang perlu dimulai? Aku sudah ikhlas jika semuanya selesai. Dan kamu lihat, aku baik-baik saja." Clara bohong. Hatinya tidak pernah baik-baik saja. Hidupnya tidak pernah semenderita ini hanya untuk melupakan orang.
"Masih ada cinta di hati kamu?" Antara pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulut Jaya. Clara tidak pernah mengerti.
"Masih," kata Clara yang membuat senyum Jaya semakin lebar, "cinta pada sesama dan seisi dunia."