Lelaki berkaca mata hitam telah memarkir mobilnya di depan Quin&King. Ragu-ragu terlihat jelas saat dirinya turun dari mobil dan mengetuk pintu kecil di sebelah kiri pintu utama yang lebih terlihat pribadi. Sudah cukup lama dia berdiri di sana.
"Selamat malam," sapanya pada pemilik gedung itu.
Clara mengernyit. Dia tidak suka dengan kehadiran lelaki itu. Apalagi yang diinginkan? Gadis itu sudah capek dirundung cukup lama. Saat ini, yang terpenting adalah mengubur ingatan itu dan melangkah lagi.
"Ngapain ke sini?" Clara tidak ingin basa-basi seperti yang dilakukan lelaki di depannya itu.
"Karena kamu tidak membalas pesanku dan mengabaikan teleponku."
Clara tercengang. Masih bisakah dia peduli pada Jaya? Please, biarkan gadis itu memilih jalannya tanpa ada sandungan apa pun.
"Lalu?"
"Kita perlu bicara." Lelaki itu menatap Clara lekat.
"Kita sudah selesai Jaya. Saya sudah ada janji."
Jaya mengamati Clara dari atas ke bawah. Dari pakaian serta tas selempang yang dibawanya, memang gadis itu terlihat ada acara.
"Pacar kamu yang baru?"
"Bukan urusan kamu."
"Sepuluh menit, Ra."
"Tidak bisa." Clara melihat jam tangannya. "Gue udah telat."
Jaya tersenyum tidak percaya. "Gue? Sejak kapan kamu berubah?"
"Dua menit. Cukup?" Gadis itu menyilangkan lengannya di depan dada.
"Ok. Ok." Lelaki itu mengangkat kedua tangannya agar Clara berhenti. Setelah gadis itu terlihat lebih tenang, Jaya memulai segala cerita yang ingin dia jelaskan pada Clara.
"Aku memang salah. Aku pergi beberapa waktu lalu. Tapi ada alasan kenapa aku melakukan itu." Jaya mengambil napas sebelum melanjutkan lagi. Sedangkan Clara masih mematung melihat jam tangannya.
"Papa bangkrut. Semua aset disita tanpa kecuali. Aku udah nyari kamu di kantor sebelum aku berangkat untuk menerima tawaran pekerjaan baru. Tapi kamu sedang ada urusan waktu itu, kalau nggak percaya, tanya Erlin. Akhirnya aku berlayar demi menutup utang keluargaku. Cuma itu jalan keluar yang bisa aku ambil, Ra."
Lelaki itu menyandarkan punggung pada dinding di belakangnya. Dia menyugar rambutnya sebelum menghadap ke arah Clara lagi.
"Sekarang terserah kamu, aku sudah bicarakan apa yang ingin kukatakan."
Jaya terlihat putus asa. Penolakan Clara sangat kentara. Lelaki itu juga tidak tahu lagi bagaimana harus memperbaiki hubungan mereka. Dia merasa bersalah. Langkahnya bergerak menjauh dari pintu bercat hijau itu.
"Apa semua itu benar?" Gadis itu memandang punggung Jaya yang semakin menjauh. Itukah alasan Jaya pergi?
Lelaki itu berhenti ketika mendengar suara Clara. Tanpa berbalik dia menjawab, "Percaya atau tidak, terserah kamu. Silakan pergi, Clara. Aku sudah selesai."
Clara mendekat sampai tepat di belakang Jaya. Trotoar di sana cukup sepi, tidak banyak orang berlalu lalang pada jam ini.
"Maaf." Gadis itu berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin. Kenyataan yang baru saja dia dengar sangat mengejutkan. "Aku tidak tahu kenapa kamu pergi. Tidak ada penjelasan sama sekali yang bisa kudengar. Dan kukira semuanya sudah selesai."
Lelaki bertubuh tinggi itu berbalik. Dia melihat Clara menunduk dan meremas tali tas selempangnya. Gadis itu terlihat gugup.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan jika setiap kali kita bertemu kamu selalu defensif."
Kali ini Clara menatap Jaya. Lelaki itu masih seperti dulu. Wajahnya tidak banyak berubah, kecuali cekung hitam yang sangat kentara di bawah matanya.
"Karena ... karena ...." Clara tidak tahu harus menjelaskan apa. Nyatanya dia hanya sibuk dengan perasaannya sendiri.
"Apa sudah ada orang lain, Ra?"
Pertanyaan Jaya membuatnya terperangah. Tidak mungkin ada orang lain, bahkan untuk melupakan Jaya saja Clara belum mampu.
"Jika kamu bahagia dengan orang itu, aku mundur."