Isyana mencolek Mondy. Mumpung masih pagi, perancang busana Quin&King itu ingin memastikan sesuatu. Dia menoleh celingukan dan menunggu saat yang benar-benar tepat.
"Lo ngapain?" Mondy menyadari kegusaran Isyana.
"Clara mana?"
"Di atas, meriang katanya."
"Oh," sahut Isyana lega. Artinya dia punya cukup waktu untuk mengobrol dengan penata rambut cerewet itu.
"Lo mencurigakan banget? Mau minta naik gaji?" tembak Mondy tanpa tedeng aling-aling.
"Bukan." Hari ini Isyana hanya mencatok lurus rambutnya dan sempat mendapat cibiran dari Mondy. Dia bilang gayanya monoton. Peduli amat, pikir Isyana. "Btw, kenapa Clara sakit?" Isyana mulai memancing.
"Mana gue tahu." Bahu Mondy terangkat naik.
"Karena Jaya?"
Kali ini Mondy berpaling mendengar satu nama itu disebut. "Si brengsek itu berulah lagi?"
"Sini deh, gue mau cerita. Tapi lo kalem dulu." Isyana menarik napas sebelum melanjutkan dan memastikan hanya ada mereka. "Jadi gimana hubungan Clara sama tuh laki?"
"Gue nggak lihat ada tanda-tanda mereka deket. Terakhir aja dia lari waktu ketemu di Saba Buana."
"Lo belum tahu kalo Jaya nyamperin Clara ke sini?"
"Oh, iya gue ingat, pas siang-siang itu, kan?"
"Kecilin suara lo. Jadi waktu itu Jaya pernah nyamperin Clara ke sini," ulang Isyana. "Tapi gue nggak begitu ingat wajahnya. Terus, lo ingat Monic nggak?"
"Apa hubungannya sama Monic?" Mondy mengetukkan telunjuknya di dagu.
"Lo pastiin dulu deh, kalo Clara udah lupain Jaya." Isyana mengerutkan dahi. Dia tidak mau spekulasinya meleset. Apalagi salah. Bisa-bisa menjadi fitnah.
"Cerita lo nanggung banget. Tuntasin, ntar gue bantuin cari info."
"Gue sempat lihat tunangan Monic di layar ponselnya, kenapa mirip banget dengan Jaya yang waktu itu ke sini?"
"Serius lo?"
"Suerrr!" Isyana mengangkat dua jarinya untuk meyakinkan Mondy. "Makanya gue mau memastikan hubungan Clara sama Jaya, lalu memastikan yang di i-phone Monic itu bukan orang yang sama. Tapi gimana caranya?"
Mondy tidak menyangka akan ada drama seperti ini. Jika benar Jaya dan tunangan Monic adalah orang yang sama, maka dia harus mencegah Clara bertemu dengan Jaya. "Lo bisa minta foto tunangan Monic nggak?"
"Alasannya apa? Gila aja kalo tiba-tiba gue nodong foto."
"Bener juga, lo tahu namanya?"
"Monic nyebut dia Ray."
Mondy mengulang nama itu beberapa kali. Ray-Jaya, Ray-Jaya, Ray-Jaya. Benarkah itu satu orang yang sama?
"Gue malah curiga Clara ada hubungan khusus sama Jo," celetuk Mondy. "Tapi kalo iya malah bagus, sih." Lelaki itu beranjak ingin meninggalkan tempat itu dan menemui Clara.
"Satu lagi Mon. Gue juga ngerasa ada apa-apa diantara Clara dan Jo, jadi, lo jangan kasih tahu Jo dulu ya. Sebelum bukti terkumpul."
***
"Eh, buset. Lo kaya mayat hidup Jo."
Mondy melihat lelaki yang memakai kemeja biru kotak-kotak itu awut-awutan. Lingkaran hitam tercetak jelas di bawah matanya. Kulitnya yang cenderung cerah tidak mampu menyamarkan cekung hitam itu.
Seperti biasa, Jo hanya tersenyum kecut dan menggerakkan alisnya untuk mengiakan komentar Mondy. Lalu dia masuk di studio foto yang berada di lantai dua bersama seorang anak remaja yang diikuti orang tuanya.
Bagaimana tidak, hampir semalam Jo tidak tidur sama sekali. Setelah memastikan Clara terlelap, lelaki itu tidak langsung pulang. Dia berbaring di sofa tempat Clara hampir pingsan malam itu. Tidak mungkin Jo meninggalkan gadis itu sendirian dalam kondisi seperti itu.
Setiap jam berganti dia mengecek suhu tubuh Clara. Mengganti kompres yang dia letakkan di dahinya. Lalu mengusap lengan gadis itu ketika mengigau. Sepanjang malam Clara bergumam tidak jelas. Suhu tubuhnya juga semakin tinggi meskipun sudah minum paracetamol.