Quin&King Wedding Organation

Fransiska Ardani
Chapter #13

Chapter #13

"One step close." 

Clara menyesap kopinya. Setelah sesi pemotretan selesai, gadis itu menepati janjinya untuk memberikan libur pada semua pegawai Quin&King. Jadi, hari ini pertemuan terakhir mereka sebelum istirahat satu minggu. 

"Bukan one step, sih. Masih banyak yang antre tuh buat di foto sama, Jo," celetuk Isyana. 

"Hah! Gue mau liburan, bebas dari kamera. Kalian mau ikut nggak?" 

"Yakin lo? Bebas dari kamera? Hidup aja udah kaya pacaran gitu sama kamera." Isyana mencibir Jonathan terang-terangan. Seakan lelaki itu dan kamera adalah satu paket yang tidak bisa terlepas. 

"Ke mana? Asik nggak tempatnya? Biar Isyana nyesel kalo mudik." Mondy menyedot es teh dengan gelas jumbo di tangannya setelah mengatakan itu.

"Gue mau ke puncak"---

"Cisarua?" Isyana sedikit berbinar jika benar ke sana. Lumayan, dia bisa liburan sekalian mampir pulang. 

"Bukan. Puncak Sikunir, Wonosobo." 

"Dieng," sahut Mondy.

Jonathan mengangguk. "Kalo kalian mau, biar nginap di rumah tante gue. Asik, kan? Clara nggak mau sih." 

"Serius lo nggak ikut, Ra?" Mondy menatap Clara curiga. "Lo mau kencan sama siapa? Seminggu lho ini." 

Clara mengibaskan tangannya. Gadis itu melempar tatapan permusuhan pada Jonathan. "Kemarin nanyanya nggak gitu." 

"Mau di ulang?" Jo masih menatap Clara meskipun yang lain mulai merecokinya dengan berbagai pertanyaan. "Jadi, mau ikut nggak?"

"Nggak." 

Jonathan tersenyum simpul melihat Clara masih sebal. Kini, selain menanyakan apa yang dikatakan Jo padanya, gadis itu juga dibom dengan alasan kenapa dia nggak ikut. 

"Gue batal mudik kalo Clara ikut," kata Isyana. 

"Tuh dengerin." Jonathan menyenggol lengan Clara yang duduk di sebelahnya dengan siku. 

"Gue nggak like kalo ini cuma wacana." Mondy begitu antusias. Kapan lagi bisa refresing bersama. Meskipun di Quin&King status mereka berbeda, di luar seperti satu geng anak SMA yang masih suka jalan-jalan. Terutama Clara dan Mondy, mereka sudah lama berteman akrab. 

"Iya deh, gue ikut." Keputusan Clara disambut gembira. 

***

Ponsel pintar Clara masih tergeletak hampa. Tidak ada pesan masuk sama sekali saat gadis itu mengotak-atik sembari duduk di salah satu kafe. Tempat yang cukup teduh di pinggir kota. 

"Ra, gaun yang warna cokelat tua itu bagus nggak ya kalo dipadukan sama jas hitam?" 

Monic masih menggebu membicarakan rencana pernikahan yang sebentar lagi bakal digelar. Betapa bahagianya melihat Monic dengan masa depan di depan mata. 

"Gelap, Monic. Gaun panjang yang bahannya dari broklat itu, kan?" 

Monica mengangguk. Dia sudah jatuh cinta dengan kemegahan kebaya modern yang disodorkan Isyana beberapa hari yang lalu. Bagian bawahnya lebar, dengan warna cokelat tua, yang bertabur bunga dan payet. Sedangkan bagian atasnya sedikit terbuka ditambah lengan panjang yang cukup anggun. 

"Itu cocok dipadukan dengan beskap krem. Jadi acaranya semi nasional dan masih berbau adat jawa," lanjut Clara. 

Monica terlihat sangat antusias dengan pernikahannya. Wajahnya begitu berbinar saat menanyakan sesuatu pada Clara. Juga ketika dia menelepon Ray untuk memastikan segala hal yang telah disampaikan oleh Clara. 

"Sayang, pokoknya nanti kita pakai WO dari teman aku. Ok, Ray? " kata Monic melalui sambungan seluler. 

Clara mendengar sampai ponsel itu diletakkan lagi. Artinya gadis itu masih harus bekerja keras setelah acara Simon selesai. Namun, tidak masalah, calon kliennya kali ini tidak secerewet Natasya. Monica lebih mandiri memutuskan ini itu. Juga tidak terlalu banyak permintaan. 

"Gue udah bilang, Ra. Pokoknya nanti bakal pakai WO lo." 

Clara mengangguk dengan senyum terkembang dimulutnya. "Angin segar banget nih. Emang kapan tanggalnya? Lo harus cepet-cepet boking deh kalo mepet." 

"Kemarin papa bilang tahun depan aja, sampai urusannya di Jerman kelar." 

"Ok, berarti nggak perlu buru-buru."

Kopi di depan mereka telah tandas. Hari juga mulai gelap. Kedua wanita itu memutuskan untuk pergi dari sana. Clara dan Monic membawa mobil masing-masing. Tempat makan di pinggir kota ini memang lahannya sempit. Terpaksa parkirnya di tepi jalan. Beruntung bukan jalan raya. 

Clara melambaikan tangannya ketika mobil Monic melewatinya. Gadis itu sedikit menempel agar jalannya cukup. Di belakang mobil Monic terlihat juga beberapa sepeda motor sudah mengantri ingin melewati jalan itu. Seperti pawai saja, pikir Clara dalam hati ketika mobil Monic sudah berbelok dan tinggal satu kendaraan lagi di belakang. 

Gadis itu masih bersabar sampai satu kendaraan itu melaluinya. Dia melihat ponselnya lagi, lalu mengetikkan sesuatu. Tiba-tiba pemuda dengan kendaraan bermotor itu berhenti dan dengan cepat menyabet ponselnya lalu pergi. 

"Eh, MALINGGGGG!!!!" 

Lihat selengkapnya