Acara bersih-bersih sudah selesai. Makan malam juga baru saja mereka lewati. Om dan tante Jonathan sangat ramah menyambut mereka, meskipun si om sedikit senyumnya. Suaranya terkesan tegas dan berwibawa.
Clara duduk dan menyelonjorkan kakinya di karpet yang tergelar di antara kamar cewek dan cowok. Di ujung satunya Mondy tiduran sambil memainkan gitar milik anak Tante Linda yang dia pinjam setelah makan malam tadi. Gadis itu melihat jam tangan, masih jam delapan malam. Desa ini cukup sepi. Hanya sedikit kendaraan yang terdengar pada jam ini.
"Jo, kita mendaki kapan?"
"Kalian tidur dululah. Nanti jam dua kita jalan."
"What? Jam dua Jo?" Clara tidak bisa membayangkan betapa dinginnya udara nanti.
"Kalo mau ngejar sunrise, jam dua kita berangkat. Jam tiga mulai mendaki. Nanti aku pamit ke Tante Lin." Jonathan sudah mengganti pakaiannya dengan celana training dan t-shirt tanpa kerah. Terlihat santai sekali.
Malam ini terlihat lebih sunyi dari biasanya. Lalu lalang kendaraan tidak begitu ramai. Hanya riuh oleh kawanan jangkrik yang saling beradu. Menunjukkan suara yang sama sekali tidak nyaring. Apalagi pintu terbuka, seketika lengkingan serangga itu berduet dengan Mondy.
Liburan rupanya menjadi surga tersendiri. Jauh dari rutinitas, juga keribetan yang menjemukan. Clara merasa pikirannya sangat santai malam ini. Alunan gitar membuat mulut gadis itu ikut menyanyikan lagu yang dimainkan Mondy.
Sesuai ucapannya, Jo beranjak mencari Tante Lindanya di lantai bawah. Tinggal Clara dan Mondy yang masih bersenandung asal bunyi dengan iringan yang sama-sama ngawur.
"Sering-sering liburan makanya. Biar pikiran rilex." Mondy mengubah genjrengan menjadi petikkan yang terdengar lebih syahdu. Lelaki itu melihat Clara lebih tenang dari sebelumnya. "Gue tahu kok. Liburan itu bermakna bukan karena tempatnya. Tapi, dengan siapa kita berkunjung." Alisnya naik turun jahil ketika mengatakan itu.
"Gue baru aja mau ngasih pujian buat petikkan gitar lo, udah lo rusak sama spekulasi yang nggak jelas itu." Gerutuan Clara membuat lelaki itu semakin keras menyanyikan lagu dari grup band Flanela. Lagu lama yang masih saja asik di dengar.
"Itu bukan spekulasi, coba lo liburan sama pacar lo yang nggak jelas itu. Senyum aja gue nggak berani jamin."
Entah benar entah tidak. Tapi apa yang dikatakan Mondy berhasil menyusup ke otak Clara. Membuat ingatannya kembali pada Jaya. Gadis itu segera mengambil ponselnya di kamar. Ada banyak sekali pesan dari Jaya dan dua puluh lima panggilan tidak terjawab. Beruntung benda itu dalam mode senyap. Jika tidak, Isyana yang bergelung dengan pelantang jemala di telinga kirinya pasti sudah ribut. Ra?Please, jawab telponku.Ra?.....Kamu baik-baik saja?Aku minta maafClara sayang?Please....
Dan pesan beruntun yang isinya hampir sama semua. Terakhir yang terbaca oleh mata Clara adalah 'Aku minta maaf'.
Apa akan selalu begini? Clara merasakan ritme yang sama. Setelah semua baik-baik saja, Jaya menghilang, membiarkan gadis itu berkutat sendiri dengan pikirannya. Begitu seterusnya, sampai detik ini. Lalu dia datang lagi, mengejar, menghilang, dan kembali dengan permintaan maaf yang sama.
Clara mengetikkan sesuatu pada ponselnya dan berjalan keluar melalui pintu kamarnya menuju balkon. Ternyata Mondy juga berpindah tempat di sana. Gadis itu sedikit menjauh ketika telepon genggamnya berbunyi.
"Ya?"
Terdengar jawaban lega diseberang sana. Jaya membom Clara dengan berbagai pertanyaan. Tentang keberadaannya, menanyakan kesehatannya, makanan apa yang dimakan, juga kata maaf yang terdengar sedikit mengganggu. Clara menjawab semua itu dengan berat hati. Bagaimanapun, Jaya berhak tahu. Gadis itu belum mengakhiri hubungan mereka. Terakhir lelaki itu juga mengabsen siapa saja yang pergi bersama Clara.
"Apa harus selalu bersama orang-orang itu?" Kali ini Jaya memrotes.
"Jay, mereka yang selalu ada saat aku kesulitan. Bahkan mereka rela waktunya tersita demi aku. Gimana aku bisa mengacuhkan teman-temanku?"
"Bukan gitu, Ra. Kamu pergi ada cowoknya juga. Aku nggak suka." Ada nada cemburu dalam suara Jaya. Dan itu berhasil membuat Clara tersenyum tipis.
"Jadi kamu tega kalo aku nyetir sendiri sampai sini?"
"Aku bisa nyetir buat kamu."
"Kamu terlalu sibuk dengan dirimu sendiri, Jay."
Clara tidak bisa lagi melanjutkan sambungan selulernya dengan Jaya. Jika diteruskan, hanya akan ada debat tanpa ujung. Lalu pikirannya menjadi kacau seperti yang sudah-sudah. Kali ini saatnya dia untuk melupakan segala masalah.
"Mon, sejak kapan lo disitu?"
"Sejak tadi."
Bintang dilangit terhampar luas bersama angin yang semakin dingin. Gadis itu masuk ke kamar. Lalu beberapa menit kemudian bergabung bersama Mondy dengan membawa dua gelas kopi panas. "Buat lo."
"Wah, baik banget lo. Thank's ya." Tangan Mondy berhenti sejenak dari alunan asal itu.