Dua puluh menit sudah ia duduk di sudut kafe dengan segelas coklat panas di atas meja. Tidak henti-hentinya menatap ke jalanan yang sedang dibasahi oleh hujan yang tak juga berhenti. Dan untuk ke sekian kalinya, ia kembali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima sore.
Berulang kali embusan nafas keluar dari bibirnya, dan tetap saja orang yang ditunggunya tidak kunjung hadir bahkan tidak juga memberikan kabar. Sudah banyak dari pengunjung yang berlalu lalang keluar masuk dari kafe, dan tatapan pelayan yang ditujukan olehnya membuatnya semakin kesal.
Ia menyerah. Menegakkan punggungnya, dan mengenakan tas selempangnya. Baru saja ingin melangkahkan kaki keluar, laki-laki perawakan jangkung masuk ke kafe bersamaan dengan bunyi lonceng penanda penghujung yang datang.
"Maaf, aku telat," ucapnya menarik bangku dan duduk. Tidak memperdulikan perempuan di hadapannya yang sudah menahan kekesalan karena menunggu.
"Aku tahu, kau memang selalu sibuk," jawabnya dan kembali ke tempat duduk, memanggil waiters untuk memesan cokelat panas. Lagi.
"Sudah, aku saat ini tidak ingin ribut denganmu." Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dan mengangkat sebelah kaki bertumpu pada satu kakinya yang lain, "jadi, ada urusan apa kamu ingin bertemu denganku?" sambungnya bertanya.