QUITE

El
Chapter #4

4

Malam itu nampak seorang pemuda sedang berjalan menyusuri trotoar dengan santai, tanpa mengindahkan hiruk pikuk jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan bermotor, tanpa menghiraukan dinginnya malam yang seakan memberontak ingin menyerang tiap insan yang berkeliaran malam itu.

Wajar saja, saat ini sudah bulan November awal, hampir mendekati akhir tahun. Yang mana cuaca memang dapat membuat orang-orang lebih memilih berada di dalam rumah dan bergelung di atas kasur dibandingkan pergi keluar dan merasakan cuaca yang sedang tidak bersahabat itu. Untuk ukuran negara tropis seperti Indonesia, ini terlalu dingin.

Tapi pengecualian dengan pemuda itu. Dia nampaknya tidak terganggu sama sekali dengan dinginnya malam yang menusuk sampak ke tulang-tulang. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti saat memegoki sepasang kucing yang sedang bertengkar. Mungkin kucing jantan itu menghianati si betina. Aneh memang. Baiklah, lupakan!

Tak jauh dari pusat kota. Pemuda itu menghampiri pria yang nampak sedang menunggu seseorang, atau mungkin dirinya. Pria itu berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tiang listrik yang berdiri kokoh walau sudah sedikit miring ke sebelah kiri. Dan tak lupa dengan sebilah rokok yang telah habis setengah di belahan bibirnya.

"Jadi? Bagaimana?" Pria itu bertanya padanya begitu pemuda itu sampai dan ikut menyandarkan punggungnya.

"Aku tidak yakin. Tapi masih kuusahakan." Pemuda berpakaian serba hitam itu menjawab tanpa menoleh sama sekali pada pria yang lebih tua darinya. Semakin menutup wajahnya menggunakan topi hoodie yang dikenakannya.

"Kenapa? Kau ragu?" tanya pria itu sembari menyulut rokok -yang entah rokok keberapa- di belahan bibirnya dan menghembuskan asapnya tepat diwajah pemuda itu.

"Tidak. Hanya saja aku masih menganalisis, mencoba mencari celah dari setiap pergerakan mereka. Aku dan dia telah memberi umpan untuk mengukur seberapa cepat mereka menyelesaikan sebuah kasus." Pemuda itu sama sekali tidak merasa terganggu dengan asap rokok yang melayang-layang di udara sekitar mereka. Dan juga lampu neon berwarna kuning yang sedari tadi berkedip-kedip menandakan lampu tersebut hampir padam. Tapi keduanya memilih untuk tidak peduli selama itu tidak mengganggu.

"Ku harap kalian tidak mengecewakan."

"Tidak akan. Percaya saja."

"Semoga aku dapat memegang kata-katamu, Leon. Cukup sekali kalian berbuat kesalahan. Aku tidak yakin apa yang akan terjadi pada kalian berdua jika kalian melakukannya lagi."

"Aku tau."

Setelahnya pemuda yang dipanggil 'Leon' itu segera beranjak dari tempat itu menuju gang yang berada tidak jauh dari sana, tepat diantara sebuah bangunan apartemen usang dan sebuah toko barang antik.

Berjalan menuju kegelapan tanpa rasa takut diiringi oleh tatapan tak terbaca yang diberikan oleh pria yang baru saja dijumpainya. Merasa ada yang tidak beres pada pembicaraan mereka. Mencoba menelaah apa yang akan dilakukan yang lebih muda.

__________

Hari telah beranjak sore saat Nath, Alvin, Andrian dan Bella meninggalkan sekolah. Mereka diam-diam mengikuti Synthia tanpa sepengetahuan gadis itu. Mencoba mencari tau siapa yang selalu mengikuti gadis berkulit pucat itu sampai-sampai meminta bantuan mereka. Lupakan tentang petunjuk film itu. Sia-sia, mereka tidak menemukan apapun.

"Apa kita harus seperti ini?" Andrian berbisik pada ketiga manusia yang berada didekatnya itu.

"Diamlah Ndrian." Bella menyahut tanpa melihat pemuda berisik itu.

"Aku tidak mempermasalahkan kita yang mengikuti Synthia. Tapi yang benar saja... Kenapa kita harus berdempet-dempetan disini? Dan bisakah kita mencari tempat lain? Kenapa juga kita harus bersembunyi di samping tempat sampah. Tempat ini sangat bau." Andrian berujar tidak sabar saat Nath semakin menghimpit pemuda cerewet itu dan membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Maaf." Nath menjauhkan tubuhnya begitu dia menyadari bahwa Andrian terhimpit olehnya yang memiliki tubuh lebih besar jika dibandingkan dengan milik Andrian.

"Bisa kalian diam? Kita kehilangan dia bodoh." Alvin mengeram kesal pada kedua pemuda disampingnya. Alvin menatap tajam keduanya yang saat ini sedang menyengir tidak bersalah ke arahnya.

Alvin mendengus pasrah menghadapi sikap sahabat-sahabatnya itu. Dan secara tidak sengaja dia melihat Synthia yang baru saja keluar dari sebuah cafè diseberang jalan dengan secangkir Thai Tea di tangan kanan nya. Alvin sampai heran selama apa mereka berdebat tidak jelas hingga Synthia sempat membeli minuman itu. Tapi bukan itu yang membuatnya penasaran, melainkan pemuda yang saat ini berjarak tidak jauh dari gadis itu. Seperti mencoba untuk mengikutinya.

Lihat selengkapnya