Aku mulai menulis surat—bukan untuk dikirim, tapi untuk menenangkan hati. Setiap malam, kutulis satu surat untukmu. Dalam tulisan itu, kuucapkan semua yang tak sempat kuucapkan saat kau di sini: “Maaf, karena aku terlalu ragu. Maaf, karena aku terlalu lambat memahami makna tatapanmu.”
Surat-surat itu kusembunyikan dalam kotak kayu kecil, di bawah bantal tempat kau pernah bersandar. Aku percaya, entah bagaimana, kata-kata ini akan sampai padamu. Mungkin lewat angin. Mungkin lewat mimpi. Atau lewat luka di hatimu, jika kau juga merindukanku.