"Dia selalu ada," bisik mama

Nana Sitompul
Chapter #1

Bagian I

“Aku bukan anak kandung. Aku adalah anak angkat”

Demikianlah tulisan pertama di buku tulis tersebut.

 

Bagian I

Syarni menatap layar ponselnya dengan frustrasi dan wajah yang tak sabaran. Sebenarnya Ana tahu bahwa Syarni kakaknya sangat temperamental dan sulit mengendalikan emosi. Video Call ini menjadi tak efektif bila Yardi sudah marah duluan tanpa memberi kesempatan Ana bicara

"Karena kau gak ada di sini, makanya kau gak tau apa yang kurasakan," katanya dengan suara yang bergetar, marah pada jawaban adiknya, Ana.

Syarni tak habis pikir, kenapa Ana tidak paham juga betapa sulitnya situasi yang mereka hadapi saat ini.

Ana terdiam sejenak. Karena Ana lebih banyak diam, dengan tak sabaran Syarni memutus sambungan.

Syarni semula tak percaya dengan sakit flu biasa bisa mengobrak abrik tatanan Masyarakat apalagi pemerintah. Ternyata Syarni salah, Covid 19 ini bukan flu biasa karena belum ada vaksinnya. Setelah dua bulan pamdemi, Syarni mengakui, COVID-19 ini memang mengubah segalanya.

Covid 19 mengubah penghasilan rumah tangga, suaminya Arman tidak bisa menjual hasil bumi sebanyak dulu, bahkan beberapa buah dan sayuran menjadi busuk karena tak laku dijual. Syarni sendiri,harus bekerja gonta ganti WFH dan WFO dengan teman temannya di kantor pemerintah. Syarni adalah Pegawai Negeri Sipil.

Kelima anaknya sekarang berada di rumah. Terakhir kali kelima anaknya berada di rumah adalah tahun 2016 saat si sulung, Farhan masih di bangku SMU.

Suaminya, Arman, sering pulang dengan wajah lelah setiap hari.

"Hasil ladang tidak laku. Daya beli masyarakat turun," keluhnya.

Belum lagi ikan -ikan di tambak banyak dicuri orang. Selama ini belum pernah sekalipun ikan di tambak dicuri. Syarni mengakui banyak yang tidak bisa keluar rumah untuk bekerja seperti biasa. Bahkan beberapa sopir angkot tidak lagi menghasilkan uang karena hampir semua kegiatan dilakukan secara online. Penjual keliling juga sudah tak terlihat. Kampung mereka menjadi sepi. Biasanya banyak kegiatan sekarang seperti desa mati. Karena, di luar sana, orang-orang takut keluar rumah.

Syarni merasa terjebak dalam rutinitas yang semakin menekan. DItambah lagi sekarang, mama yang sulit diingatkan dan diatur. Mama berusia 77 tahun, sudah hampir 80 tahun,tapi dia adalah seorang yang aktif dan susah disuruh diam diri di rumah. Masa pandemi begini sebaiknya dia berdiam di rumahnya yang jaraknya sangat dekat dengan rumah Syarni, tapi dia menolak dan tetap keluruyan. Dia bahkan pergi ke ladang miliknya yang tak jauh dari rumah Syarni.

Syarni masih terlihat emosi setelah video call dengan adiknya, Ana di Jakarta, meletakkan ponselnya di meja makan dan sekilas melihat bayangan memasuki halaman rumahnya. Syarni sudah bisa menduga siapa yang datang. Mama. Mama memang selalu datang tiap pagi ke rumah Syarni. Dulu memnag Ana yang mengajari mama jalan pagi dan sore tapi sekarang terlalu riskan untuk di lakukan. Mama tiba di depan pintu dapur. Wajahnya yang keriput dan semakin tua tetap nyaman dipandang. Kemudian dia tersenyum lebar. Hati Syarni langsung luluh dan mengajak mama masuk.

“Mama, duduk dulu. Belum sarapan kan?” Syarni bertanya basa basi. Kemudian menyendok nasi goreng ke piring plastik, menambahkan satu telor mata sapi dan kerupuk di atas nasi goreng.

“Adikmu belum bangun,” jawab mama singkat.

Yang dimaksud mama adalah Hajri, si anak lelaki mama di keluarga Batak ini. Dalam kelaurga Batak Hajri ini adlaah harta karun yang sangat ebrharga. Dia sebagai penerus marga Sitorus dan tentu saja pewaris tunggal seluruh harta nenek moyang Sitorus. Entah kenapa di usianya yang sudah memasuki 30 an tahun dia belum juga bekerja. Pekerjaannya sehari hari makan dan tidur di rumah mama yang di kemudian hari bila mama meninggal akan menjadi miliknya. Kemudian di malam hari dia akan ke lapo tuak. Lapo adalah warung tempat orang berkumpul sambil berjudi atau menonton pertandingan sepak bola di televisi.

Hajri bisa memasak dan sebenarnya masakannya sangat enak. Namun dia hanya memasak bila dia lapar saja. Dia tidak akan mau bersusah payah memikirkan Nasib mama. Sementara Ida yang dibayar Ana untuk mengurus mama dan membersihkan rumah, pulang ke kampungnya saat awal Covid 19 karena dia harus Bersama dengan keluarganya. Demikianlah alasan Ida.

Mama makan dengan lahap. Syarni trenyuh melihatnya. Syarni ingin sekali menawarkan mama untuk tinggal bersamanya di masa pandemi ini, tapi karena tiga anaknya yang sedang kuliah Kembali ke rumah, tidak ada tempat lagi untuk mama. Selain itu, mama juga tidak akan mau tinggal bersamanya dan meninggalkan anak lelaki kesayangannya.

“Mama setelah makan, jangan kemana mana ya, di sini aja. Aku nyalakan TV, mama bisa nonton acara musik kesukaan mama ya,” Syarni memberikan segelas air putih dan teko pastik di depan mama.

“Mama pengen ke ladang sebentar, melihat cabe sepertinya sudah merah buahnya,” jawab mama pelan

Syarni menarik nafas pelan, kemudian berbicara, “mama, jangan dululah ke ladang, karena kalo terjatuh dan sebagainya, susah ma ke rumah sakit. Saat ini rumah sakit penuh dengan pasien covid.”

Mama terdiam dan tak menyahut perkataan Syarni. Tapi entah kenapa Syarni tahu bahwa mamanya sangat keras kepala.

Setelah mama makan, mama pindah ke ruang tengah dan menonton TV. Melihat wajah mama yang cerah menonton acara di TV membuat hari Syarni senang. Syarni melanjutkan aktivitas hariannya. Dia mulai mencuci pakaian banyak sekali. Setelahnya menejemur seluruh cucian tersebut. Saat dia menyapu halaman, adiknya Hajri datang mengendarai Honda butut miliknya.

“Ada mama, Kak?” tanya Hajri.

Syarni mengangguk dan dalam hati berkata bahwa masalah sudah tiba. Entah mengapa setiap kali ada Hajri masalah akan muncul. Tanpa dipersilahkan dia langsung ke meja makan dan makan nasi goreng dengan porsi sangat besar, padahal nasi goreng itu dibuat untuk anak anaknya yang belum juga bangun. Syarni hanya bisa menghela nafas.

Kemudian Syarni melanjutkan menyapu halaman. Di halaman belakang banyak ditanam suaminya buah buahakan dan sayuran. Dia memetik beberapa buah jeruk dan rambutan. Kemudian mengambil sayuran singkong. Di depannya ada pohon pisang yang buahnya sangat lebat dan sudah menguning. Tapi dia tidak bisa menjangkaunya. Kemudian dia mengambil beberapa jahe dan sereh. Setelahnya dia mendengar suara motor. Hajri sudah pulang karena sudah kenyang.

Syarni membawa masuk hasil petikannya ke dapur. Dan dia memisahkan beberapa rambutan yang bagus ke dalam tas anyaman untuk dibawa mama pulang.

“Ma, ini ada rambutan yang bagus untuk mama, maka….” Kalimat Syarni terputus saat dia melihat ruang tengah kosong. Tidak ada mama. Syarni menduga mama pulang bersama Hajri.

 

*****

Syarni tahu bahwa anak gadisnya sejak pagi sudah kuliah online di kamarnya, karena itu dia tidak menganggunya. Revi, anak gadisnya selalu rajin membantu, bila dia tidak keluar kamar berarti sedang kuliah online atau sedang mengerjakan tugas kuliah.Sementara itu anak sulungnya Farhan, sudah menyelesaikan kuliahnya namun belum diwisuda karena pandemi. Kemungkinan wisudanya secara online. Dia sudah melamar ke berbagai perusahaan namun belum ada panggilan. Syarni tahu masa pandemi ini pasti sulit medapatkan pekerjaan, malah banyak yang diberhentikan kerja.

Tiba tiba dari belakangnya dia mendengar pinu kamar dibuka. Farhan sudah bangun kemudian langsung menuju dapur.

“Apa ini? Nasi ikan terus. Bosan,” katanya kencang sambil menutup tudung saji.

“Bersyukur kita masih bisa makan, “ jawab Syarni.

“Ayam dan daging lah sekali sekali, Mak,” Hara membalas ucapan mamanya.

“Minggu lalu kan kita sudah makan daging. Gak mungkin tiap hari makan daging, Amang,” jawab Syarni

Farhan dia sesaa, kemudian meletakkan piringnya di meja. Dia tak jadi makan.

“Mak, minta uanglah,” kata Farhan.

“Untuk apa? Makan minum kan bisa di rumah,” jawab Syarni

“Hidup ini bukan cuma makan minum, Mak. Banyak. Butuh uang untuk beli bensin, untuk nongkrong dan sebagainya,” jawab Farhan kencang.

“Tapi kondisi begini, seribu rupiahpun sangat berarti bagi keluarga kita, Amang,” Syarni mencoba menjelaskan.

“Dasar pelit,” jawab Farhan ketus.

Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon tantenya, Ana, adik Syarni di Jakarta.

“Tan, bagi jajan bah. Suntuk kali aku di rumah aja,” Hara meminta uang ke tantenya.

Setelah menelepon, Farhan kembali tersenyum. Pasti dia sudah mendapatkan apa yang dia mau dari Ana.

Kemudian dia menuju motor trail yang biasa dipakai ayahnya ke ladang. Hari ini hari minggu, ayahnya tidak ke ladang hari minggu.

“Hara jangan pulang malam kali,” pesan Syarni

“Mama ini selalu memperlakukan aku kayak anak kecil,” jawab Hara.

“Kau masih makan minum di rumahku. Masih tinggal di rumahku. Wajar kalo aku menasehatimu,” jawab Syarni

Hara tidak lagi mendengar suara Syarni karena suara deru motor yang sengaja dikencangkan olehnya

Syarni hanya bisa mengelus dada.

 

******

Ana Sitorus, adik Syarni Sitorus bekerja di bank, jabatan biasa saja. Tidak setinggi teman teman seangkatannya yang masuk di bank ini. Dia belum menikah tapi memiliki banyak tanggungan. Ada mama dan ponakan ponakan. Bahkan adiknya, Hajri si bungsu sepertinya tanggungan juga baginya. Adik yang sangat problematik dan penuh drama. Melebihi drama Korea. Ana yakin uang yang setiap bulan dia kirimkan untuk kebutuhan Mama juga dinikmati oleh adiknya yang pengangguran itu. Ana sebenarnya tidak keberatan selama uang itu dia habiskan untuk hal hal yang bermanfaat. Bukan malah dihabiskan untuk beli tuak dan berjudi, seperti rumor yang sering dia dengar tentang Hajri, adiknya.

 

Dulu ayah mereka sakit parah, selama beliau sakit dan pengobatannya Ana yang menanggung. Saat itu belum ada BPJS. BPJS muncul setelah beberapa tahun ayah meninggal dunia. Ana tidak miskin, tapi kaya juga tidak. Cukup. Saat butuh untuk membayar sesuatu, Ana bisa mendapatkan uangnya dengan cara yang halal, bukan hanya dari gaji, tapi banyak hal lain dari dirinya yang bisa “dijual” antara lain jualan cerita, foto dan lukisan.

 

Ana juga tidak merasa terbebani harus menanggung beberapa orang dalam hidupku. Membantu membiayai kuliah anak anak kakaknya atau sekedar memberikan uang jajan kepada mereka. Prinsipnya adalah tidak akan ada orang lain yang membantu keluargamu selain diriku. Mana mungkin tetangga datang membantu, mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing.

 

Sudah beberapa bulan Ana melakukan Work From Home (WFH) karena memang dia memiliki penyakit bawaan yaitu diabetes dan asma. Perusahaan merasa riskan meminta Ana datang ke kantor, apalagi pekerjaan Ana memang tidak menngharuskan dia ke kantor. Pekerjaannya lebih kepada pembuatan marketing communication buat perusahaan. Ana hanya butuh kejelian melihat dan memantau apa yang viral dan diminati masyaraka saat ini. Kemudian ide itu akan dia bawa ke teknisi campaign dan meminta mereka menterjemahkan idenya. Hal ini dapat dilakukan tanpa harus tatap muka dan berada di kantor.

Ana sedang berada di kamar dan beberapa mock up campain masih terlihat di layar laptopnya.

 

Kemudian Ana menatap layar ponselnya dengan frustrasi. Dia ingan video call dengan kakaknya, Syarni beberapa hari yang lalu mengeluhkan perekonomian mereka yang semakin kacau. Syarni meminta pengertiannya. Ana memang sudah mengambil alih beberapa pengeluaran keluarga di kampung selama pandemi. Tapi Ana tidak mungkin membayar semuanya. Ana memang tidak miskin, tapi kaya raya juga tidak. Pekerjaannya memang bagus tapi dia juga bukan bos di perusahaan ini. Dia hanay cungpret alias kacung kampret, tidak memiliki jabatan, hanya staff biasa dengan gaji di atas UMR.

 

Di balik kata-kata yang diucapkan Syarni, ia merasakan ketidakberdayaan dan kesedihan yang dalam. "Karena kau gak ada di sini, makanya kau gak tau apa yang kurasakan," katanya dengan suara bergetar, marah pada jawaban Ana. Kalimat itu terngiang-ngiang di pikirannya, menyakitkan namun tak bisa diingkari. Suara kakaknya menggambarkan keputusasaannya. Ana merasakan hatinya ikut tertekan. Ladang yang biasa menghidupi mereka dan gaji Syarni sebagai PNS sudah cukup untuk hidup sederhana dan beberapa biaya pendidikan ponakannya dia turut membantu. Kini haisl ladang tersebut tentunya banyak tidak laku karena perekonomian merosot dan daya beli juga merosot.

 

Dari Awal pandemi, Ana menyadari bahwa pandemi ini sangat berbahaya, bukan hanya virusnya yang berbahaya tapi juga efek dibalik pandemi ini lebih mencekam. Di luar sana, orang-orang terkurung dalam ketakutan. Rindu berinteraksi, rindu untuk bebas. Ana merasa terjebak dalam rutinitas yang semakin menekan. Di tengah kesibukanya bekerja WFH dia juga kepikiran dengan mama yang usianya sangat senja, tentunya sangat rentan dengan virus covid ini. Ditambah lagi denga Ida yang memutuskan untuk berhenti bekerja. Hanya mama dan si bungsu hajri yang berada di rumah. Ana tahu betul kualitas adik lelakinya tersebut. Tidak dapat diandalkan. Sama sekali tidak punya tanggungjawab.

 

Tipe laki laki Batak biasanya memang selalu ingin dilayani. Apa apa tersedia tapi tidak mau menjadi pemberi nafkah. Lelaki Batak lainnya tidak begini, banyak sekali pria btak yang dikenal Ana yang sangat gigih berjuang untuk kelaurga meskipun sifat, anakni raja (anak raja) masih melekat dan selalu ingin dilayani, tapi setidaknya mereka memberi nafkah. Nah, Hajri berbeda. Padahal sebagai anak lelaki Hajri harusnya menjadi penyedia bagi mama, bahan pangan pokok dan papan. Tapi tugas itu sudah diambil alih oleh Ana sejak ayah mereka meninggal dunia. Tanpa sadar Ana menghela nafas panjang.

 

Akhirnya Ana mengambil ponselnya dan membuka mobile bankingyang lagi ngetrend saat ini, aplikasi Living Your Life to the Fullest. Aplikasi ini sangat membantu terutama di saat pandemi saat ini. Ana mengirimkan uang kepada kakaknya, sebagai bantuan untuk mereka dan mama tentunya.

 

I am a provider, bisik hati Ana sendu.

 

Tak lama kemudian, dia membuka aplikasi paltform penjualan foto dan lukisannya. Dia menemukan beberapa terjual dan terdapat beberapa ratus dollar di sana.

Alhamdulillah, bisiknya

 

*****

 

Seperti biasa apabila WFH, Syarni memulai kegiatan pagi dengan memasak sarapan untuk seluruh keluarga tapi kali ini dia dibantu oleh anak gadisnya, Revi. Hari ini Syarni dan Revi berencana membuat kue bolu pisang dan kue marmer.

“Ma, kemarin tante menelepon, kalo aku gak sibuk, katanya ikut kursus membuat poster atau krusus apa aja yang bermanfaat bila nanti aku tama kuliah. Gimana menurut mama?” tanya Revi.

“Bagus lah itu, keterampilan yang bisa dipakai. Beberapa bulan ini mama membuat kue ulang tahun berdasarkan pesanan kawan di kantor. Siapataua da rejeki kita bsia bikin toko kue di rumah ini kan. Butuh poster dan sebagainya,” Syarni menjelaskan.

“Iya ma, biayanya ga terlalu mahal. Ga sampai satu juta rupiah,” kata Revi.

“Gak sampe sejuta pun tetap uang, Inang,” jawab Syarni pelan.

“Ma, kalo tante menganjurkan, mungkin maksudnya dia yang bayar,” kata Revi

“Ahh cobalah tanya tantemu,” jawab Syarni

Meskipun ada terselip rasa malu di hatinya. Bolak balik minta bantuan adiknya tapi saat ini memang mereka sedang sedang butuh bantuan. Anak lima bukan perkara yang mudah. Slogan banyak anak banyak rejeki terasa pahit saat ini.

“Ma, kata tante pilihlah tempat kursusnya yang bagus nanti tante yang bayar,” jawab Revi sambil memperlihatkan chat di ponselnya.

Syarni tersneyum haru. Ana memang selalu baik kalo masalah finansial. Sewaktu ayah mereka sakit sakitan pun, Ana yang menanggung semuanya. Bahkan saat itu belum ada BPJS, sehingga semua biaya pegobatan, dokter, obat dan rumah sakit ditanggung Ana. Syarni ingat ayah mereka sempat sakit selam dua tahunan dan bila ditotal biayanya mencapai satu milyar. Syarni tak tahu darimana Ana mendapatkan uang itu, dia tak berani bertanya. Takut mendengar jawabannya. Namun dia selalu berdoa semoga adiknya baik baik saja dan segera menemukan jodohnya.

 

*****

Sore hari, Revi membuat beberapa kue bolu dengan resep yang sudah ditulis Syarni. Dia sangat bangga anak gadisnya sudah bisa mengikuti resepnya dan memasak kue bolu sendirian. Ada beberapa pesanan dari ibu pejabat di kampung mereka. Revi mengatur kue di dalam kotak dan mengikat kotak supaya tidak terlepas.

“Ado, Ado,” Revi berteriak memanggil adiknya yang sedang mencuci motor.

“Apa,” jawab Ado

“Antarkan kue ini ku Bu Camat ya, selesai kau mencuci motor itu,” Revi setengah berteriak

“Olooo. Iya,” jawab Ado.

Aro, anak Syarni yang nomor 3 dan baru saja lulus SMU dan pandemi melanda, sudah mengangkat kotak kue yang akan diantar ke pembeli. Aro aik motor bersama adiknya si bungsu, Noval.

Sementara itu, Syarni memasak makanan untuk makan malam mereka sekeluarga. Akrena hari ini dia masak ayam, Syarni menambah jumlah potongan ayangnya untuk dibagikan ke rumah mama nantinya. Sore itu, matahari mulai meredup, memancarkan sinar oranye yang lembut ke seluruh penjuru desa. Syarni mencincang ayam untuk makan malam dan ak lupa memotong sayuran juga untuk makan malam mereka juga. Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis mulai menyebar, membuat perutnya bergelora.

 

Tiba-tiba, Revi melihat adiknya yang nomor 4 berlari lari menuju pintu dapur sambil berteriak

“Mama… Mama….” Sai berteriak sambil berlari

Revi dan Syarni berhenti bergerak, mereka terkejut

“Opung jatuh di sawah!” teriak Sai, dan seketika, jantung Syarni serasa berhenti.

Syarni merasa jantungnya serasa terhenti. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan pisau dan berlari keluar, mengikuti Sai yang bergegas menuju sawah. Dalam hati, ia berdoa agar Mama tidak mengalami hal yang parah.

 

Ketika Syarni sampai di sawah, ia melihat Mama tergeletak di tanah, wajahnya berkerut menahan sakit. Kaki Mama terkilir, dan di sekelilingnya, tanah berlumpur mengisyaratkan betapa sulitnya Mama berusaha bangkit.

 

“Mama!” Syarni berteriak, berusaha mendekati. Ia segera menjatuhkan diri di samping Mama, meraih tangannya. “Mama, kamu baik-baik saja?”

 

Mama mencoba tersenyum meski jelas terlihat kesakitan. “Aku… jatuh. Tidak apa-apa, Cuma kakiku sakit sekali kalo digerakkan” jawab Mama dengan suara yang lemah.

 

“Jangan digerakkan, Mama. Kita harus membawa Mama ke rumah sakit!” Syarni berkata tegas, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Sai, yang berdiri di samping, menatap dengan cemas. “Ayo, Mama. Kita panggil ambulans!”

Syarni mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi nomor darurat. Setelah menunggu beberapa menit, suara di ujung telepon menjawab. “Maaf, kami tidak bisa menerima permintaan ambulans. Tidak ada armada tersedia saat ini. Rumah sakit penuh dengan pasien COVID-19.”

 

Jantung Syarni serasa runtuh. “Tapi Mama… Mama terjatuh! Dia butuh perawatan!” suaranya hampir bergetar.

 

“Maaf, Bu. Itu kebijakan kami saat ini,” kata petugas medis dengan suara datar, seakan tidak merasakan beban emosional yang dibawa Syarni.

 

Dengan napas yang berat, Syarni memutuskan untuk membawa Mama pulang. “Mama, kita bawa mama ke rumah dulu ya baru ke rumah sakit,” Syarni mencoba memberikan semangat meskipun hatinya cemas.

 

Mama mengangguk lemah, tetapi Syarni bisa melihat ketidakpastian di matanya. “Kau pasti lelah, Nak,” kata mama sendu.

 

“Enggak, Ma! Yang penting Mama bisa beristirahat dan cepat sembuh,” jawab Syarni, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

 

Hari yang dikhawairkan Syarni akhirnya tiba. Di saat mama sulit dikasitau dan keras kepala, akhirnya sekarang menjadi kenyataan. Selama ini dia merasakan konflik batin dengan alasan mama yang ingin tetap menjalani hidupnya dengan normal di dalam situasi tidak normal saat ini. Syarni ingin melindungi dan menghormati keinginan Mama untuk mandiri tapi nyatakanya kekhawatirannya terjadi.

 

Tanpa berpikir panjang, Revi berteriak minta tolong karena mereka tidak akan sanggup mengangkat mama.  

“Tolong,” Revi berteriak sekuat tenaga.

Beberapa orang datang membantu mengangakat mama ke rumah mereka.

 

******

 

Setibanya di rumah, Syarni menghadapi kenyataan pahit. Siapa yang akan merawat Mama? Ia harus mengurus lima anak dan suaminya, Arman, yang sudah pulang dengan lelah setelah seharian bekerja di ladang.

 

“Panggil ayahmu di ladang belakang. Cepat,” perintah syarni ke Ain.

Suaminya datang tergopoh dan memeluk Syarni.

 

“Kita bawa mama ke rumah sakit, Bang,” Syarni bicara dengan suara parau

Suaminya langsung paham dan mengeluarkan mobil. Mobil tersebut dibeli patungan antara Syarni dan Ana untuk kebutuhan keluarga mereka. Mobil bekas yang masih terkesan baru. Sekarang berasa sekali manfaat mobil ini. Untung Ana berkeras untuk membeli mobil tersebut.

 

“Sakit, kaki,” bisik mama lirih.

Revi yang sedang melap sekujur tubuh mama tersenyum.

 

“Sabar ya opung, sebentar lagi kita ke rumah sakit,” jawab Revi sambil memberishkan tubuh opung.

Mobil sudah siap. Beberapa tetangga membantu mengangkat mama ke mobil.

 

******

 

Setelah pemeriksaan di UGD (Unit Gawat Darurat) Syarni dan suaminya dipanggil masuk ke ruangan dokter.

“Silahkan duduk,” dokter menunjuk kursi di depannya.

“Dok ibu saya bagaimana?” tanya Syarni

“Alhamdulillah tidak ada organ dalam yang terluka. Hanya saja kakinya terkilir dan mengalami pergeseran sedikit. Untuk orangtua di usia beliau membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dan berjalan normal kembali,” dokter menjelaskan.

“Jadi bagaimana, dok?” tanya Syarni.

“Ibu tenang dulu. Nenek bisa sembuh kok, hanya saja seminggu dua minggu pertama butuh bedrest dan perawatan penuh. Setelahnya neek ikut pysioterapi selama empa bulan. Dua kali seminggu,” jawab dokter.

“Berarti mama saya dirawat di rumah sakit ya dok?” Syarni bertanya kembali.

“Nah ini dilema, Bu. Karena Covid 19. Seluruh rumah sakit di kabupaten penuh. Sebaiknya ibu dirawat di rumah saja. Keluarga bisa menjadi bergantian selama satu dua minggu. Nanti rumah sakit akan meminjamkan kruk untuk bantu nenek berjalan. Setelah dua minggu perawatan di rumah, nenek harus ikut fisioterapi,” doker tersenyum.

 

Syarni bersyukur mama tidak terkena dampak parah di organ dalam. Tapi Syarni tetap merasakan dunia seakan runtuh. Mereka harus merawat Mama di rumah, tetapi siapa yang bisa melakukannya? Ia harus mengurus lima anak dan suaminya, sementara Mama membutuhkan perhatian ekstra. Siapa pula yang akan mengantarkannya fisioterapi. Tidak mungkin juga Hajri, tidak mungkin juga dia terus menerus selama 4 bulan. Dia masih harus kerja WFO. Anak sulungnya pun tidak dapat diandalkan saat ini.

 

Kaki mama tidak diperban karena begitu sampai di rumah nanti, dokter meminta agar kami mama dikompres dulu. Alat kompresnya diberikan oleh rumah sakit. Syarni diajari cara membuka dan memasang perban karena setelah dikompres, kami mama harus diperban. Setelah belajar melakukan perban, Syarni dan keluarganya kembali ke rumah. Untuk sementara mama tinggal di rumah mereka. Sai dan si bungsu, Noval harus mengungsi tidur di ruang tengah.

 

*****

Sesampainya di rumah. Syarni memanggil anak anaknya yang masih mau medengar. Seperti biasa si sulung tidak terlihat sama sekali.

 

“Revi, Sai, Ado, Noval! Ayo sini!” Syarni memanggil anak-anaknya, berharap mereka bisa membantu. Dalam hitungan detik, ketiga anaknya muncul dari berbagai sudut rumah.

“Opung butuh kita. Dia jatuh dan kakinya terkilir. Kita harus merawatnya di rumah,” Syarni menjelaskan dengan cepat.

 

“Mama! Kita akan bantu!” seru Revi, anak perempuan kedua yang selalu siap membantu.

“Sai dan Noval sementara tidur di kamar mama ya sayang. Kamar kalian dipakai opung dulu sementara karena paling dekat ke kamar mandi,” Syarni menjelaskan pada anak-anaknya.

Mereka mengangguk serempak.

 

“Ayo, Noval, kita rapikan kamar kita sebentar. Kak Revi ambil bantal dan selimut, ya,” Sai memberikan istruksi. Sai adalah anak Syarni yang paling aneh sebenarnya karena jarang bicara, tidak ramah ke orang lain. Tapi justru yang paling bertanggung jawab bila diberi tugas.

Setelah beberapa saat, mereka berhasil membawa Opung ke dalam kamar. Dengan penuh hati-hati, mereka membaringkan Mama di atas kasur.

Lihat selengkapnya