"Dia selalu ada," bisik mama

Nana Sitompul
Chapter #2

Bagian II

BAGIAN II

 

Suatu malam, ketika Syarni dan Ana sedang mengobrol di rumah mama. Syarni berlama lama di rumah mama karena besok hari sabtu, dia libur. Jadi mereka ngobrol sambil makan martabak telor buatan Syarni. Memang haus diakui Syarni jago memasak. Masakannya semuanya enak.

“Hebat kakak, bisa masak macam macam,” kata Ana sambil memasukkan sepotong martabak telor ke mulutnya.

“Sebenarnya Hajri juga jago masak. Kalo lagi waras masakan dia lebih enak,” Syarni mengakui dengan jujur.

 

Tiba tiba terdengar deru motor memasuki halaman rumah mama. Ana dan Syarni saling berpandangan, sementara mama tetap nonton TV di belakang mereka.

Hajri, adik bungsu Syarni, masuk ke rumah dengan wajah lelah dan tidak karuan. "Aku butuh uang buat bayar utang," katanya, meminta.

 

Syarni memandangnya sinis. "Kau sudah berapa kali menghabiskan uang untuk berjudi? Semua uang mama kau pakai!"

Hajri terdiam, terlihat bersalah. "Tapi aku berjanji akan membayar."

“Makanya judi itu dilarang. Haram hukumnya,” kata Syarni keras.

 

Hajri menatap kakaknya tanpa banyak basa-basi, lalu berkata lirih namun mendesak, "Kak, aku butuh uang. Aku harus bayar utang. Biar mereka nggak ganggu aku lagi."

Sementara Ana hanya terdiam, mencoba mencerna permintaan mendadak itu. Wajahnya kemudian berubah menjadi datar. “Hajri, kau sudah berapa kali berutang ke Kak Syarni? Aku tahu uang ini bukan buat apa-apa selain judi, kan?”

 

Hajri menundukkan kepala, tak berani menatap langsung kakaknya. "Kak, aku tahu ini salahku. Tapi tolonglah, ini mungkin yang terakhir kalinya. Aku janji, Kak, aku akan bayar balik.”

 

Syarni mendesah panjang, lalu menatap Ana sejenak sebelum kembali menatap Hajri dengan pandangan penuh kekecewaan.

“Kau sudah berjanji entah berapa kali, Hajri. Setiap kali aku bantu, kamu malah datang lagi dengan alasan yang sama. Kau tidak bisa terus-terusan begitu. Apalagi uang yang ada sama aku buat pendidikan keponakan-keponakanmu juga buat bantu pengobatan mama.  Bukan untuk kamu hamburkan begitu saja.”

 

Hajri meremas tangannya sendiri, tampak begitu bersalah dan tertekan. “Kak, aku nggak ada jalan lain. Orang-orang itu mengancam. Aku takut… kalau aku nggak bayar, mereka akan datang ke rumah.”

 

Ana yang mendengar percakapan itu merasa tegang dan khawatir. Bila orang orang itu datang menagih ke rumah, dia khawatir dengan kesehatan mama. Tapi dia juga tahu kakaknya sudah terlalu sering menanggung beban Hajri.

“Hajri, kami mengerti kalau kau kesulitan. Tapi masalahnya, setiap kali kau minjam uang, kau hanya membuat kami lebih khawatir. Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaan Mama kalau tahu kau terus berjudi?”

 

Hajri menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tahu, aku sudah keterlaluan. Tapi tolong, Kak… tolong bantu aku kali ini saja. Aku janji akan berhenti, sungguh. Aku hanya butuh kesempatan satu kali ini.”

 

Syarni mendekat ke adiknya, menatapnya dalam-dalam. “Hajri, mendengar kamu berjanji untuk berhenti sudah seperti hal yang biasa aku dengar. Aku bingung, apa kau benar-benar punya niat untuk berubah? Aku tidak bisa selalu ada untuk menyelamatkanmu.”

Mendengar itu, Hajri tampak tersentak, matanya berkaca-kaca. Dengan suara yang pelan namun terdengar begitu putus asa, ia berkata, “Aku tahu aku sudah terlalu banyak mengecewakan, Kak. Tapi… kalau bukan keluarga yang mau bantu, siapa lagi? Aku hanya butuh uang sedikit lagi.”

 

Syarni akhirnya menghela napas panjang, menimbang-nimbang dalam hatinya. Meski kecewa, hatinya masih belum bisa sepenuhnya tega meninggalkan Hajri. Setelah beberapa saat hening, ia berkata, “Aku akan bantu, tapi kali ini adalah yang terakhir, Hajri. Kalau kamu datang lagi dengan alasan yang sama, aku tidak akan bantu lagi. Aku benar-benar tidak bisa selalu menutupi masalahmu.Sekarang kasitau aku bagaimana cara kau mengembalikan uangku? Kau kan ga punya penghasilan,” Syarni bicara serius.

 

Ana juga baru kepikiran. Bagaimana cara Hajri mengembalikan uang Syarni sementara dia tidak bekerja.

“Aku mau jual, tanah kebun jeruk, Kak. Begitu laku, aku lunasi hutangku ke Kakak,” Hajri menjelaskan.

“Begitu banyak peninggalan tanah opung kita dan sudah banyak juga yang kau jual tanpa sepengetahuan kami dan mama. Aku paham kok sebagai anak laki laki di keluarga Batak ini semua warisan memng milikmu. Tapi apalah salahnya kau infokan ke kami tiap kali kau menjual tanah. Uangnya untuk apa? Kemana uang itu pergi? Dan sekarang kau mau jual kebun jeruk. Enak ya jadi anak laki laki di keluarga Batak,” Syarni mendengus dan melirik mama untuk melihat reaksi mama.

“Kak, tolonglah, sekali ini aja,” Hajri memohon.

“Oke, tapi kabari aku segera setelah tanah itu terjual. Nanti uangnya kau habiskan pulak,” kata Syarni serius.

 

Hajri tersenyum kecil, meski masih tampak sedih dan bersalah. “Terima kasih, Kak. Aku janji, ini yang terakhir. Aku benar-benar akan berhenti.”

Ana menatap Hajri penuh kekhawatiran. “Hajri, tolong tepati janji kau kali ini. Demi Mama dan kami semua. Kalau kau tidak berhenti, kau bukan cuma menyusahkan diri sendiri, tapi juga keluarga.”

 

Hajri mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan penyesalan yang dalam. “Aku janji, Kak. Aku akan berubah. Aku nggak mau kalian terus merasa kecewa karena aku.”

 

Malam itu, meskipun masih ada rasa ragu di hati Syarni dan Ana, mereka memilih untuk memberi Hajri kesempatan sekali lagi, dengan harapan ia benar-benar akan berubah. Hajri pergi dengan perasaan sedikit lega, namun di sisi lain Syarni dan Ana menyimpan kekhawatiran yang masih menggelayut di hati mereka, berharap ini benar-benar kali terakhir Hajri mengulangi kesalahannya.

 

******

 

Beberapa hari kemudian terjadi kekacauan di rumah mama. Beberapa orang yang tidak dikenali datang berkunjung. Mereka berbicara dengan mama. Ana sedang meeting online di kamar, samar samar Ana mendengar pecakapan mereka.

“Siang, Bu. Ini benar rumahnya Hajri Sitorus?” tanya seoranang lelaki

“Iya betul,” Mama menjawab pelan.

“Ibu, Hajri kemana?” tanya suara yang berbeda.

Ana menduga berarti ada dua orang yang datang bertamu.

“Saya kurang tahu. Mungkin keluar,” jawab Mama

“Ibu jangan berbohong ya. Anak ibu itu berhutang seratus juga. Harus dia lunasi, kalo tidak bunganya semakin bertambah,” bentak pria pertama.

Mendengar pria iu membentak mama, Ana keluar dari kamar.

“Ada apa ini Pak?” tanya Ana

“kakak ini siapanya Hajri?” tanya mereka

“Saya kakaknya,” jawab Ana pelan tapi tegas.

“Hajri berhutang kepada kami. Dia harus bayar segera,” jawab mereka.

“Kemarin saya sudah kasi dia uang, empat puluh juta katanya untuk bayar hutang,” Ana menjawab.

“Bah, dia berjudi lagi dengan uang empat puluh juta itu dan kalah, sekarang dia berhutang makin besar, seratus juta rupiah. Harus segera dibayar. Kalo ga saya bakar rumah ini nanti,” gertak si pria dengan wajah penuh tato.

“Bakar. Saya bisa laporkan anda ke polisi,” Ana tak takut.

 

Mendengar Ana tidak gentar dengan gertakan mereka. Mereka terdiam beberapa dtik dengan menahan amarah.

“Ingat. Saya bisa laporkan adikmu ke polisi dengan penggelapan dana,” kata si pria tersebut.

“Silahkan laporkan saja. Bagus. Sudah saatnya dia keluar dari rumah ini,” kata Ana dengan tajam dan tegas.

 

Mendengar jawaban tersebut mereka makin salah tingkah.

“Taik kucing. Keluarga anjing,” katanya kencang.

Lihat selengkapnya