"Dia selalu ada," bisik mama

Nana Sitompul
Chapter #3

Bagian III

BAB III

 

Mama merasa kehilangan saat Hajri pergi melaut. Mereka berkomunikasi melalui video call setiap minggu.

“Amang, baik baik yang bekerja itu ya,” Mama bicara saat video call dengan Hajri. DI belakang Hajri terlihat pemandangan lautan terbentang di kala sunset. Indah sekali.

“Di mana kau, Dek?” tanya Ana.

“Di perairan dekat Thailand, Kak” jawab Haji yang semakin kurus dan hitam.

“Hati hati, jaga diri yang benar dan makan yang cukup,” pesan Ana lembut.

Kemudian video call selesai.

"Aku merasa kehilangan anakku," keluh Mama, wajahnya semakin kurus.

Ana mencoba menghibur Mama.

“Biarlah dia merantau, Ma. Lagipula jaman Covid begini susah cari kerja di daratan,” Ana menghibur mama.

 

******

 

Hari minggu merupakan hari yang ditunggu oleh mama, karena itu ahri video call dengan anaknya Hajri. Wajah Hajri yang tampak lebih dewasa dan sedikit lebih tegar di layar ponsel selalu menjadi penghibur.

 

Tapi minggu ini, mereka sudah menunggu satu jam. Hajri tak kunjung menelepon. Mereka menelepon Hajri tapi tak dijawab. Mama duduk gelisah menantikan anaknya menelepon.

“Sabar ya, Ma. Mungkin susah sinyal,” kata Ana menghibur mama.

Namun, ketika sebulan penuh berlalu tanpa kabar apa pun dari Hajri, kekhawatiran Mama berubah menjadi kesedihan yang dalam. Setiap hari Mama hanya termenung di ruang tamu, matanya kosong dan wajahnya semakin pucat.

 

Di suatu sore yang tenang, Mama duduk di kursi goyang, memandang ke luar jendela dengan tatapan yang penuh kerinduan. Ana, yang sedang menemani Mama, mulai menyadari bahwa kondisi Mama semakin memburuk. Mama semakin jarang tersenyum, dan jika dulu dia rajin membantu di rumah, kini ia lebih sering diam di kamarnya, seolah-olah kehabisan tenaga untuk menjalani hari.

“Aku merasa terjadi sesuatu pada anakku,” keluh Mama tiba-tiba, suaranya pelan dan penuh kesedihan. “Hajri tidak pernah lama seperti ini tidak memberi kabar. Apa dia baik-baik saja? Apa dia sehat?”

 

Ana menggenggam tangan Mama, mencoba memberikan kekuatan. “Ma, Hajri pasti baik-baik saja. Kadang, sinyal di tengah laut itu sulit, dan dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaan barunya. Kita harus percaya pada Hajri.”

 

Mama menggeleng pelan, air matanya menetes. “Setiap kali aku membayangkan dia sendirian di sana, jauh dari keluarga, hati Mama seperti tersayat pisau. Perih sekali dihatiku, Nak. Hajri memang sering buat masalah, tapi dia tetap anakku, Ana. Aku merasa begitu kehilangan. Seperti setengah nyawaku pergi bersama dia. Mama tak kuat dengan ketidakpastian ini. Mintalah keterangan dari kawan kawannya sesame awak kapal nelayan, Nak,” Mama meminta sambil meneteskan air mata.

 

“Iya. Ma. Besok Kak Syarni dan aku akan ke rumah kawan kawan temannya melaut,” Ana memenangkan mama.

“Terimakasih, Anakku,” Mama bicara pelan.

“Tapi Mama makan dulu ya. Jadi kalo Hajri video call atau menelepon mama gak terlihat makin kurus. Nanti dia malah khawatir sama mama,” Ana menghibur mama.

Mama mengangguk dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.

Seleah makan, mama duduk sendirian di teras. Ana melihat mama menangis. Dia menghapus air matanya saat melihat Ana mendekat.

“Mama jangan sedih lagi,” pinta Ana.

“Aku ga tau bagaimana caranya tidak sedih, Ana. Namanya sedih, ga bisa dicegah,” Mama bicara pelan.

 

Ana menarik kursi mendekat dan duduk di samping Mama, mencoba menghiburnya dengan lembut. “Ma, Hajri pergi karena ingin berubah, demi kita semua. Ini adalah langkah awalnya untuk menjadi lebih baik, untuk membuktikan bahwa dia bisa mandiri. Hajri sudah dewasa, Ma, dia pasti bisa menjaga dirinya.”

 

Mama tersenyum pahit, wajahnya semakin terlihat tua dan kurus. “Aku tahu, Ana. Tapi hatiku tak bisa tenang. Selama ini dia selalu menjagaku. Selalu ada untukku. Sekarang, setiap kali aku ingat wajahnya, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku.”

 

Mendengar itu, Ana ikut merasakan kesedihan yang sama. Dia juga merindukan Hajri, meski sering kali mereka berada dalam situasi sulit, Hajri tetaplah adiknya. Sebulan tanpa kabar membuat Ana sering bertanya-tanya apakah Hajri baik-baik saja di laut, apakah ia berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.

 

*******

 

Suatu malam, saat duduk bersama Syarni di ruang tamu, Ana mengungkapkan kekhawatirannya. “Kak, aku takut Mama semakin terpuruk. Selama ini aku berusaha meyakinkan Mama kalau Hajri baik-baik saja, tapi melihat Mama begini, aku jadi ikut merasa cemas.”

 

Syarni menarik napas panjang dan mengangguk, wajahnya penuh dengan kecemasan yang sama. “Aku juga, Ana. Kita tahu Hajri pergi demi kebaikan, tapi aku tidak pernah membayangkan kalau Mama akan begitu terpengaruh. Mungkin karena Hajri itu anak bungsu, yang paling sering Mama rawat dan perhatikan.”

 

Ana meraih tangan Syarni, menatapnya dengan penuh harap. “Bagaimana kalau kita coba cari tahu kabar Hajri? Mungkin kita bisa hubungi temannya atau perusahaannya, siapa tahu kita dapat sedikit informasi.”

 

Setelah diskusi panjang, Syarni dan Ana akhirnya sepakat untuk mencari tahu kabar Hajri. Mereka menghubungi beberapa teman Hajri yang bekerja di pelabuhan, mencoba menelusuri apakah ada berita atau informasi tentang kapal tempat Hajri bekerja. Mereka juga sepakat untuk mengubungi keluarga teman teman Hajri, seperti istri si Johan dan Istri si Patar yang ikut melaut di kapal yang sama pun mengalami nasib serupa. Mereka belum mendapat kabar dari suaminya masing-masing.

 

Merka berdua akhirnya memutuskan untuk menghubungi beberapa teman Hajri yang bekerja di pelabuhan. Berharap ada secercah informasi, mereka mulai mencari tahu dari rekan-rekan dekat Hajri, terutama teman-teman Hajri yang juga berprofesi sebagai nelayan.

 

Setelah beberapa kali mencoba, mereka berhasil menghubungi keluarga Johan, seorang teman lama Hajri yang sering berbagi cerita tentang kehidupan di laut. Johan juga turut melaut di kapal yang sama dengan Hajri dan sering menjadi teman berbagi cerita dan bercanda dengan Hajri.

 

Saat mereka menelepon, terdengar suara istri Johan yang gugup namun bersahabat.

“Halo, ini siapa ya?” sapanya lembut.

“Aku Ana, Kak. Kakaknya Hajri. Kami sedang mencari tahu kabar Hajri. Mungkin Kaka ada kabar dai Bang Johan tentang di mana posisi kapal mereka sekarang?” Ana bertanya, suaranya terdengar penuh harap.

 

Istri Johan terdiam sejenak, dan Ana merasakan jeda itu seperti selamanya. “Oh, Kak Ana... kami juga belum mendengar kabar dari Johan. Bahkan, aku hampir setiap malam tak bisa tidur memikirkan suamiku. Mereka seharusnya sudah kembali sejak minggu lalu...”

 

Ana merasa semakin berat mendengar penuturan tersebut. Dengan penuh kesedihan, ia membalas, “Kami juga cemas, Kak. Kami bahkan sudah menghubungi perusahaan kapal, tetapi mereka juga tidak tahu persis keberadaan kapal itu.”

 

Saat itu, terdengar suara Syarni dari belakang. “Coba hubungi istri Patar, Ana. Mungkin dia tahu sesuatu.”

 

Ana mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada istri Johan sebelum menutup telepon. Ia kemudian mencoba menghubungi istri Patar, teman Hajri lainnya yang juga berada di kapal yang sama. Saat telepon terhubung, terdengar suara lembut perempuan lain yang tampak cemas namun tetap mencoba ramah.

 

“Halo, ini Kakaknya Hajri ya?” tanya istri Patar, suaranya terdengar bergetar.

Ana membalas dengan pelan, “Iya, ini aku, Ana. Aku ingin tahu, apakah Kakak punya kabar terbaru tentang kapal? Kami sudah sangat cemas...”

I

stri Patar menarik napas panjang, terdengar melalui telepon. “Kak Ana, maafkan aku... Aku juga tidak tahu apa-apa. Patar pun belum mengabari, padahal biasanya dia selalu mengirim pesan paling tidak seminggu sekali. Aku bahkan sudah mencoba menanyakan ke beberapa kenalan di pelabuhan, tapi semuanya juga tidak tahu.”

 

Hati Ana semakin hancur mendengar tangis tertahan istri Patar di ujung telepon. “Aku mengerti, Mbak. Kita semua sama-sama menunggu. Kita harus tetap kuat demi mereka, dan tetap berdoa semoga mereka semua baik-baik saja,” kata Ana dengan suara bergetar.

Setelah menutup telepon, Ana menatap Syarni dengan mata berkaca-kaca. “Kak, mereka semua juga kehilangan kontak. Ini bukan hanya Hajri yang hilang. Johan dan Patar juga belum ada kabar sama sekali. Keluarga mereka juga sama-sama cemas.”

 

Syarni menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan dirinya dari rasa khawatir yang semakin besar. “Ana, ini sudah bukan masalah satu keluarga. Kita harus segera ke Perusahaan Kapal Nelayan itu untuk mencari tahu ada apa sebenarnya.”

 

Sementara itu, Mama semakin tenggelam dalam kesedihannya. Ia mulai jarang makan, dan sering kali terbangun di malam hari sambil memanggil-manggil nama Hajri dalam tidurnya. Suatu pagi, Ana menemukan Mama duduk di kamar Hajri, memegang salah satu baju lama Hajri yang masih tersimpan di dalam lemari. Wajah Mama tampak sayu, matanya bengkak karena menangis semalaman.

 

“Ana… kapan Hajri akan pulang?” tanya Mama dengan suara serak, penuh harap.

Ana menggenggam bahu Mama, mencoba menguatkan hatinya meskipun ia sendiri merasa tertekan. “Ma, Hajri akan segera memberi kabar. Mungkin saja dia sedang dalam perjalanan, dan kita akan mendengar kabar baik darinya. Mari kita percaya bahwa dia baik-baik saja.”

 

Namun, kekhawatiran Ana semakin memuncak ketika seminggu berikutnya masih belum ada kabar dari Hajri. Tak tahan lagi melihat Mama yang terus-menerus bersedih, Ana akhirnya mengajaknya ke rumah Syarni, berharap suasana baru bisa menghibur Mama.Di rumah Syarni, Mama masih termenung, tetapi setidaknya ia tidak sendirian. Setiap sore, Ana dan Syarni mencoba menghibur Mama dengan cerita-cerita lucu dan mengajaknya menonton acara televisi, meski Mama hanya sesekali tersenyum kecil.

 

**************

Ana dan Syarni merasa semakin resah setiap harinya. Sudah lebih dari sebulan mereka kehilangan kontak dengan Hajri, yang seharusnya rutin mengabari mereka selama bekerja di kapal nelayan. Rasa cemas dan khawatir terus menghantui, terutama Mama, yang mulai sering termenung dan tampak semakin kurus. Setelah berusaha menenangkan Mama dan mencoba mencari tahu melalui telepon, Ana dan Syarni akhirnya sepakat untuk langsung mendatangi kantor perusahaan kapal nelayan tempat Hajri bekerja.

 

Pada pagi yang cerah namun terasa berat itu, mereka berangkat ke kota pelabuhan tempat perusahaan itu berada.Sesampainya di sana, Ana dan Syarni langsung menuju resepsionis, memperkenalkan diri, dan mengungkapkan masalah mereka. Resepsionis mengarahkan mereka ke bagian manajemen kapal, dan mereka bertemu dengan seorang manajer bernama Pak  Surya.

 

“Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?” tanya Pak Surya dengan nada tenang.

Ana menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Kami saudara dari Hajri, salah satu kru di kapal yang berlayar beberapa bulan lalu. Sudah lebih dari sebulan kami tidak mendengar kabar apa pun darinya, dan biasanya dia selalu memberi kabar setiap minggu. Kami sangat cemas, Pak.”

 

Syarni yang duduk di sebelahnya menambahkan dengan wajah tegang, “Mama kami juga sangat sedih. Kesehatannya akhir akhir ini makin menurun karena tidak mendapatkan kabar dari anaknya. Hajri belum pernah lost contact selama ini. Kami mohon, Pak, apakah ada informasi atau tindakan yang sudah dilakukan perusahaan terkait hal ini?”

 

Pak Surya tampak berpikir sejenak, lalu menatap mereka dengan serius. “Ibu Ana, Ibu Syarni, kami memahami kekhawatiran Anda. Beberapa hari yang lalu, kami juga menerima laporan bahwa kapal tersebut memang kehilangan kontak sejak terakhir kali berada di perairan sekitar Myanmar. Tapi kami juga sedang berusaha mencari tahu penyebabnya.”

Ana menatap Pak Surya dengan gelisah.

“Bukannya di Myanmar sedang terjadi kekacauan saat ini, Pak? Kalo boleh tau, apa yang sudah perusahaan lakukan, Pak? Kami butuh kepastian apakah mereka semua selamat. Kami mohon…” Ana berhenti bicara karena tiba -tiba air matanya mengalir suaranya serak. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya.

 

Pak Surya mengangguk dengan tenang. “Kami mengerti, Bu. Kami sudah menghubungi otoritas pelayaran setempat dan meminta bantuan Pemerintah di sana untuk memantau area tersebut. Namun, cuaca di perairan saat itu memang buruk. Selain itu, kami juga sudah menyiapkan tim untuk melakukan penyelidikan di lokasi-lokasi yang mungkin menjadi jalur pelayaran kapal tersebut.”

 

Syarni mengerutkan kening, mencoba menahan air mata. “Pak, apakah itu berarti belum ada kepastian mengenai posisi kapal?”

 

Pak Surya tampak menunduk sejenak, seolah merasa berat untuk menjawab.

“Betul, Bu. Posisi terakhir mereka sebulan lalu berada di perairan dekat dengan Myanmar. Namun, kami akan terus berusaha yang terbaik untuk menemukan kapal itu. Ini juga menjadi perhatian besar bagi kami,” Koh Surya mencoba menenangkan Ana dan Syarni.

 

Ana menghela napas panjang, perasaan kecewa dan putus asa memenuhi dadanya.

“Kami mohon, Pak Surya. Apapun yang bisa dilakukan, tolong lakukan karena Mama kami sudah sangat khawatir. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika ini terus berlarut-larut. Apalagi Hajri belum pernah bekerja di laut sebelumnya. Dia masih buta tentang hal ini. Kami sangat khawatir. Saya takut ketidakpastian ini bisa membuat kondisi mama saya semakin parah,” Ana menjelaskan panjang lebar.

Lihat selengkapnya