Mahasiswa Abadi: OSPEK

Muhaimin
Chapter #1

Penerimaan Mahasiswa Baru: Hari Pertama

“Sekali lagi, selamat datang di dunia kampus! Tempat dimana para intelektual muda berkumpul.” Begitu penggalan terakhir dari kalimat sambutan ketua panitia penyambutan mahasiswa baru saat pendaftaran ulang di gedung DA lantai dasar. Deka adalah seorang mahasiswa baru yang masih buta dengan dunia kampus dengan sejuta dinamikanya. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang dunia kampus hanyalah seorang mahasiswa bebas mengenakan pakaian apapun yang ia suka - tanpa seragam - saat ke kampus. Selain itu, seorang mahasiswa harus siap belajar siang dan malam. Keyakinan Deka didukung oleh kenyataan yang ia lihat saat pendaftaran ulang. Itu adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di kampus. Disitu terlihat banyak pemuda berambut gondrong, berbaju kaos, dan bercelana jeans yang sobek bagian lututnya.

“Calon mahasiswa baru yang disana, semuanya kesini. Sini kakak tes dulu.” Teriak salah seorang mahasiswi senior dari ujung koridor. Kerumunan mahasiswa baru yang jumlahnya kira-kira puluhan segera beranjak ke sumber suara. Entah tes apa yang akan diberikan. Intinya, tes ini akan sangat sulit.

“Bagaimana kalian semua mendefinisikan mahasiswa?” Tanya seorang mahasiswi yang duduk dengan pakaian casual-nya. Tentunya ia adalah seorang senior. “Kamu yang berkemeja biru muda! Silahkan jawab!”. Sang senior mengangkat lengan kirinya. Dengan telunjuk yang seolah menyorot mata diikuti tatapan mata yang sangat tajam seolah ingin menakuti. Semua yang ada disitu tahu jelas bahwa sang senior sedang menunjuk ke arah Deka. Seketika itu Deka menunduk, menarik nafas yang agak dalam sembari menyusun kata-kata untuk menjawab, lalu dijawabnya dengan lantang “mahasiswa adalah kaum terpelajar, kanda!”. Jawaban Deka terinspirasi dari penggalan kalimat sambutan oleh ketua panitia penyambutan mahasiswa baru tadi. 

“Dari jawabanmu, kamu belum berhak menyandang status mahasiswa!”, kata sang senior dengan suara lantang. “Selanjutnya kamu, yang bercelana kain cokelat!”, timpal sang senior. “Izin bicara senior. Saya belum tahu banyak, senior. Mohon bimbingannya”, jawab seseorang yang tertunjuk senior. “Dari jawabanmu, kamu orang yang tidak punya pendirian. Belum bisa jadi mahasiswa!” Timpal sang senior. “Kamu yang berkerudung hijau, silahkan jawab!” Terlihat mahasiswa yang lain tertunduk takut ditunjuk. “Mahasiswa adalah.....” Sang penjawab kelihatan sangat grogi. Kedua tangannya saling menggenggam dibelakang badannya seperti pada posisi istirahat dalam baris-berbaris. “Kamu sok cantik! Belum bisa jadi mahasiswa!” Kata sang senior memotong kalimat mahasiswi yang terakhir ia tunjuk. 

Nampaknya, senior yang satu ini adalah salah satu pentolan kampus. Dua jawaban ia tolak mentah-mentah. Satu jawaban lainnya harus terpotong karena sang senior malas menunggu. Parasnya bersih bening. Rambut panjangnya yang terurai kebelakang dengan beberapa helai rambut yang menjuntai tepat disamping alisnya menandakan ia adalah salah satu primadona dikalangan senior. Dari penampilannya, terlihat bahwa masa lalunya banyak dihabiskan dengan membaca.

“Secara literal, mahasiswa dibentuk dari kata maha dan siswa. Maha dapat berarti ‘yang paling’. Tugas utama seorang siswa adalah belajar. Jadi, mahasiswa adalah orang yang paling banyak belajarnya, yang paling rajin belajarnya, yang paling dalam analisisnya, dan yang paling jeli kemampuannya menilai sebuah fenomena.” Begitu sang senior tadi mendefinisikan kata mahasiswa. Ia membuat definisi berdasarkan unsur yang membentuk kata ‘mahasiswa’ - sangat semantis. Pemilihan kosakata dalam penjelasannya jelas membuat semua mahasiswa dan mahasiswi yang dipanggilnya kagum padanya. Satu pencerahan tentang model berpikir mahasiswa meresap perlahan kedalam otak Deka. Ia bisa merasakan neuron dalam otaknya terhubung dengan neuron lainnya melalui percikan listrik. 

“Karena tidak ada jawaban yang benar - bahkan mendekati jawaban benar - kalian semua harus push-up!” Kata sang senior dengan nada lantang dan tegas. Seluruh mahasiswa yang terpanggil oleh sang senior, laki-laki maupun perempuan, seketika mengambil jarak - bersiap-siap dalam posisi push-up. Gara-gara akurasi jawaban Deka dan kedua teman seangkatannya dianggap masih jauh dari standar jawaban benar, mereka semua harus push-up.

Sekira 30 menit sebelum mereka semua dipanggil oleh senior cantik, senior gondrong di tempat berbeda telah berkata “mulai saat ini, ada dua poin yang harus kalian pahami dan laksanakan. Aturan ini telah disahkan bertahun-tahun yang lalu dan telah disetujui oleh seluruh mahasiswa dan harus disepakati oleh calon mahasiswa. Pertama, senior selalu benar. Kedua, jika senior salah, kembali ke poin pertama.”

Semua mahasiswa terpanggil tadi terlihat makin siap untuk push-up. “Izin bicara, senior. Push-up-nya berapa kali, senior?” Teriak salah seorang mahasiswa baru yang kedua tangan dan kakinya telah menapak lantai kotor. Nampaknya ia telah sangat siap untuk push-up. “Sampai capek... Maksud saya, sampai saya capek menghitung. Paham?” Kalimat lantang tersebut terdengar hingga ujung koridor tempat dimana kami sebelumnya berkumpul. “Siap laksanakan, senior!” Balas mahasiswa baru yang sebelumnya bertanya. Gara-gara pertanyaannya, semua harus push-up sampai sang senior capek menghitung.

“Satu!” Sang senior mulai menghitung. Dalam posisi push-up, semua mahasiswa terpanggil membengkokkan siku hingga dada mereka rapat dilantai yang seharusnya untuk diinjak. “Up. Bubarkan barisan!” Teriak sang senior dengan nada yang sedikit lebih pelan dari sebelumnya. “Semua bangkit. Berdiri semuanya!” Dibalik ketegasannya, sang senior yang satu ini nampak menyimpan segudang kelembutan dalam hatinya. “Ini baru permulaan. Di kampus ini, otak kalian semua akan disiksa. Nama saya Astrid, angkatan 2005, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris” Kata sang senior sembari pergi meninggalkan kami.

Deka adalah satu dari beberapa mahasiswa yang lulus bebas tes universitas. Deka cukup beruntung ketika SMA karena nilai bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Indonesianya jauh diatas standar. Berkat nilai-nilai tersebut, Deka direkomendasikan oleh pihak sekolah untuk mengisi quota bebas tes masuk kampus. Cerita yang anda baca ini berangkat dari kisah nyata pengalaman hidup penulis saat ospek pada 2007 lalu. Nama Deka dipilih sebagai tokoh utama untuk mengenang sedikit dari penggalan fase perjalanan hidup penulis dimasa silam.

“Anak-anakku sekalian, selamat datang di kampus ini - kampus yang telah dan akan terus melahirkan calon guru dan dosen. Kalian semua adalah generasi emas yang nantinya akan menggantikan kami semua. Wajah Indonesia dimasa depan ada ditangan kalian semua. Seiring berjalannya waktu, tongkat estafet ini akan kami teruskan ke tangan kalian. Belajarlah dengan giat dan tekun karena kalian semua akan berjuang dibawah payung pendidikan. Mencerdaskan dan mengabdi kepada masyarakat harus menjadi target utama kalian dalam hidup. Pendidikan adalah medan tempur kalian dan kampus ini adalah gerbangnya. Saat ini, kalian telah membuka gerbang perjuangan kalian sendiri untuk Indonesia. Sekali lagi, selamat datang kaum intelektual muda dan selamat berjuang untuk Indonesia!” Demikian penggalan sambutan seorang dosen yang belakangan diketahui adalah dekan Fakultas Bahasa dan Sastra saat menyambut makhluk-makhluk dengan wajah yang nyaris sama karena kepala tanpa rambut. Dibagian lain, mahasiswi-mahasiswi baru duduk rapi dengan kerudung sewarna. Wajah seluruh mahasiswa baru saat itu terlihat polos tanpa dosa.

Lihat selengkapnya