Meskipun luka robek dipelipis mata Deka masih belum kering, ia bertekad untuk tetap hadir di penerimaan mahasiswa baru hari kedua. Ia tak ingin melewatkan satupun prosesi ini karena ia yakin bahwa ini akan menjadi sejarah besar hidupnya yang bisa ia ceritakan kepada anak cucunya kelak. “Insiden tadi siang tidak akan menghalangiku untuk menghadiri penerimaan mahasiswa baru besok.” Kata Deka kepada ayah dan ibunya. Ketiga saudaranya turut mendengar pernyataan Deka dengan ekspresi pura-pura tidak mendengar.
Malam itu, Deka tidur lebih cepat dari biasanya. Selain karena sakit, penerimaan mahasiswa baru besok kebetulan tidak membebani mahasiswa baru untuk membawa item-item aneh seperti hari pertama. Padahal, senior telah menyepakati bahwa penerimaan mahasiswa baru hari kedua, mahasiswa baru harus mengenakan ghillie suit - kostum kamuflase yang biasanya dikenakan sniper dengan make-up oli bekas yang dibalutkan pada wajah. Tidak satupun mahasiswa baru yang mengetahui rencana senior tersebut. Sekira pukul 20.20, Deka akhirnya terlelap dengan posisi menyamping menjaga luka di pelipisnya tidak terkena bantal.
Pagi hari sekira pukul 4.45 Deka terbangun. Ia masih bisa merasakan denyut di pelipisnya yang robek. Ia bergegas untuk sholat subuh kemudian mandi dan berangkat ke kampus. Meskipun ia harus menanggung sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, ia bersyukur karena hari itu senior tidak membebaninya dengan item-item ala ospek. Tak ingin terlambat tiba di kampus, puukul 5.20 Deka telah siap berangkat.
“Ayah lupakan kejadian kemarin. Jangan dibesar-besarkan dan jangan dibahas lagi.” Kata Deka kepada ayahnya sebelum meninggalkan rumah menuju kampus. “Beberapa tahun terakhir ini kampus kita disoroti oleh pusat karena tawuran dan kekerasan. Insiden kemarin harus diusut tuntas. Ayah telah melaporkan insiden itu kepada pak Rektor untuk ditindaklanjuti. Pak Rektor geram dan menugaskan tim untuk menginvestigasi.” Balas sang ayah.
Deka keluar dari rumah dan menunggu angkutan umum menuju kampus. Denyut luka di pelipisnya masih terasa. Pandangannya sedikit terganggu akibat luka tersebut. Namun denyut semangatnya yang jauh lebih besar membuatnya tetap berangkat ke kampus hari itu. Pukul 5.35, angkutan umum menepi. Deka naik kedalam angkutan tersebut dan duduk disampik pak supir.
10 menit menjelang pukul 6, deka telah tiba didepan kampus. Dilihatnya pemandangan yang berbeda. Belasan aparat bersenjata dengan motor trail yang terparkir rapi menghadap ke gerbang kampus berjaga diseberang jalan. Nampaknya berita insiden kemarin telah sampai di pihak kepolisian. Mereka ditugaskan untuk mengawasi prosesi penerimaan mahasiswa baru dari seberang jalan. Aparat tidak diperbolehkan masuk kampus kecuali jika keadaan sangat kacau. Insiden kemarin belum bisa menjadi alasan aparat untuk masuk kampus. Insiden itu masih masuk kategori ‘masalah internal kampus’. Aparat berjaga atas permintaan pimpinan tertinggi universitas. Rektor meminta bantuan aparat kepolisian untuk mencegah terjadinya insiden susulan. Jika terjadi insiden lagi, universitas yang ia pimpin terancam tidak mendapatkan akreditasi ‘A’.
Pukul 5.59, pak Rektor tiba dibarisan pihak kepolisian yang memantau dari seberang jalan. Ia memarkir mobilnya sejajar dengan motor-motor polisi - menghadap ke gerbang kampus. Pak Rektor memilih untuk tetap berada didalam mobil. Ia duduk dikursi penumpang depan samping supir. Dari situ, ia memantau. Semenit kemudian, saat gerbang kampus ditutup, titik fokus pandangannya bergeser 50 meter kearah selatan. Disitu adalah gerbang kampus Fakultas Olahraga. Diseberang jalan depan gerbang tersebut turut berjaga belasan pihak kepolisian. Setelah memastikan semuanya terkendali, pak rektor menghubungi dekan Fakultas Bahasa dan Sastra dan dikonferensi dekan Fakultas Olahraga melalui sambungan telepon. Melalui panggilan telepon tersebut, pak Rektor memberi arahan kepada kedua dekan. Setelah itu, pak Rektor menginstruksikan supirnya untuk menuju rektorat yang letaknya sekitar 1 kilometer dari Fakultas Bahasa dan Sastra dan Fakultas Olahraga. Lokasi kampus yang dipimpinnya memang terpecah menjadi 3 lokasi. Fakultas Bahasa dan Sastra dan Fakultas Olahraga dikenal sebagai kampus selatan, rektorat dikenal dengan sebutan kampus pusat, dan Fakultas Teknik serta Fakultas Matematika dan IPA disebut dengan kampus barat.
Deka dan seluruh mahasiswa baru angkatan 2007 telah berbaris di lapangan tempat mereka berbaris sehari sebelumnya. “Saya sebagai ketua panitia penerimaan mahasiswa baru tahun 2007, mewakili segenap panitia, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas insiden kemarin. Kami telah melakukan rapat evaluasi. Satu dari beberapa keputusan rapat kemarin adalah seluruh mahasiswa baru melakukan sholat berjamaah di lapangan untuk menghindari insiden susulan.” Kata ketua panitia penerimaan mahasiswa baru melalui mikrofon. “Mahasiswa baru yang kemarin terkena lemparan batu dimohon untuk maju mendampingi saya disini.” Lanjutnya.
Deka yang menyimak sambutan ketua panitia penerimaan mahasiswa baru tersebut segera meninggalkan barisannya dan bergegas naik ke panggung. “Izin lapor, kanda. Saya Deka, mahasiswa yang menjadi korban pelemparan dalam insiden kemarin.” Kata Deka dengan jemari tangan kanan yang diangkat sejajar dengan luka di pelipisnya. “Itu hormat militer! Turunkan tanganmu!” Tegur ketua panitia penerimaan mahasiswa baru melihat Deka memberi hormat. “Kami memohon maaf atas insiden kemarin. Insiden tersebut murni diluar perkiraan kami semua panitia penerimaan mahasiswa baru.” Tandasnya. “Izin bicara, kanda. Saya tidak mempermasalahkan insiden itu.” Balas Deka. “Sekarang kamu pimpin teman-temanmu menyatakan sumpah mahasiswa dengan tangan kiri terkepal keatas!”
“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan!” Teriak Deka dengan lantang diikuti riuh seluruh mahasiswa baru yang berbaris di lapangan. “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan!” Lanjut Deka dengan semangat membara. “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!” Lanjut Deka dengan tatapan mata yang tajam mengarah ke barisan teman-temannya. Dari tempat ia berpijak, ia bisa melihat ratusan mahasiswa dan mahasiswi baru yang berbaris rapi ala militer. Dadanya terbakar api semangat saat memimpin sumpah mahasiswa. Dalam benaknya, ia teringat foto hitam-putih presiden pertama Republik Indonesia yang membacakan proklamasi yang pernah ia lihat pada salah satu halaman sebuah buku sejarah kemerdekaan Indonesia.