Mahasiswa Abadi: OSPEK

Muhaimin
Chapter #3

Penerimaan Mahasiswa Baru: Hari Ketiga

Sepulang dari kampus, Deka langsung masuk kamar - seperti biasanya. Ia duduk termenung dan berbaring. Pikirannya melayang liar. Ia sendiri bingung dengan apa yang ia pikirkan.

Sekira pukul 19.40, setelah menunaikan ibadah malam, Deka keluar untuk makan. Tugas dari seniornya dihari ketiga penerimaan mahasiswa baru tidak seaneh yang seharusnya. Meski demikian, tugas-tugas tersebut tetap terasa berat untuk ukuran orang yang baru lulus sekolah menengah atas.

Deka mengeluarkan seragam SMA-nya dari lemari. Waktu lulus SMA, ia tidak ikut ritual corat-coret seragam seperti teman-temannya yang lain. Seragamnya yang masih terlihat putih bersih dibawanya ke teras belakang rumah dan digantung di jemuran. Deka kembali masuk kamarnya dan mengeluarkan tiga kaleng pilox yang ia beli dalam perjalanan pulang dari kampus.

Di teras belakang rumah, ia mulai mengocok kaleng pilox dan menyemprotkannya ke seragamnya yang sebenarnya masih bisa dipakai adiknya yang masih SMA. Ibu Deka kemudian muncul dari balik pintu belakang rumah. Ia membawa dua cangkir teh hangat. Deka bisa melihat asap tipis yang keluar dari cangkir teh tersebut.

“Bagaimana lukamu, nak? Sudah baikan?”

“Iya, bu. Sudah lumayan sekarang. Tidak separah kemarin.”

“Seragammu kenapa dicoret?”

“Ini perlengkapan yang harus saya bawa besok, bu. Kami disuruh pakai seragam SMA yang dicoret pilox. Ayah sudah pulang, bu?”

“Ayahmu sedang rapat sama pak rektor. Kasus kemarin itu sudah sampai ditelinga pak rektor.”

“Mudah-mudahan pilox-nya bisa kering sebelum pagi. Tiga warna saja cukup.” Kata Deka sebelum menyeruput teh hangat yang dihidangkan ibunya.

“Kenapa ada gula disini, nak? ”

“Tugas dari senior, bu. Kami diminta membawa tiga ratus tiga puluh tiga butir gula pasir. Jumlahnya harus pas. Kata senior, kalau jumlah gulanya kurang atau lebih, kami dihukum seangkatan.”

“Jumlahnya sudah pas? Atau mau dibantu menghitung ulang?” 

“Tidak perlu, bu. Sudah dua kali saya cek ulang. Bu, saya masuk kamar yah. Terima kasih teh hangatnya. Saya masih ada tugas membaca dari senior. Materinya banyak dan berat. Besok pemahaman kami akan diuji senior.”

“Biar ibu hitung ulang lagi, nak. Siapatau kamu kelelahan.”

“Wajah saya kelihatan lelah?” Sahut Deka dengan nada sedikit tinggi. 

Para senior sengaja menyibukkan junior-junior baru mereka dengan menghitung tiga ratus tiga puluh tiga butir gula pasir. Jumlahnya harus pas - tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih sebutirpun. Dihari yang sama, junior juga harus membaca dan memahami isi buku dengan minimal ketebalan 300 halaman. Tugas ini sudah diberikan sebelumnya namun tidak sempat diungkit senior karena insiden berdarah kemarin. Dua tugas tersebut sengaja diberikan untuk melatih ketelitian dan kejujuran junior - sesuai dengan sumpah mahasiswa yang telah diajarkan kepada mereka; berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan. Bagaimana dengan tugas membaca? Tugas itu untuk melatih konsentrasi junior untuk memahami materi bacaan meski dalam tekanan kesibukan - sesuai dengan definisi mahasiswa; yang paling banyak belajarnya. Skema ini disepakati dalam rapat senior kemarin sore.

Terdengar samar-samar sebelas dentuman bel dari jam dinding di ruang tamu dari kamar Deka. Ayah Deka belum juga pulang. Deka masih membaca dan berusaha memahami isi buku yang ia baca dengan posisi tengkurap. Tak terhitung sudah berapa gaya membaca yang dipakai Deka. Keletihan Deka membaca mengantarkannya pada kesadaran akan makna kata ‘maha’ didepan kata ‘siswa’. “Benar-benar ‘yang paling banyak belajarnya’! Apakah semua mahasiswa seperti ini?!” Gumam Deka dalam hati.

‘Bila kamu tidak tahan penatnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.’ Kalimat yang pastinya tidak ditulis oleh penulis buku itu menarik pandangan Deka. Tertulis tangan dibagian atas halaman 48 dari buku yang dibaca Deka. Buku tersebut adalah buku yang dipinjam dan di-copy Deka dari perpustakaan sekolahnya. Sudah lebih setahun buku itu bersamanya, baru kali ini ia benar-benar berniat membacanya. Tulisan tangan tadi ditulis oleh siswa yang tidak bertanggung-jawab - siswa yang meminjam buku perpustakaan dan dicoret seenaknya. Padahal pada sampul bagian dalam buku tersebut terdapat stempel berbentuk persegi panjang bertuliskan ‘BUKU INI MILIK PERPUSTAKAAN SMA LABORATORIUM. DILARANG MENCORET, MEROBEK, DAN MELIPAT HALAMAN BUKU INI.” Di buku aslinya, peringatan cap basah tersebut bahkan ada disetiap awal dan akhir bab - tertulis dengan huruf kapital.

Kalimat tertulis tangan yang dibaca Deka tadi lazimnya dijadikan para mahasiswa sebagai senjata untuk melawan kemalasan dalam belajar dan membaca - biasanya ditulis seukuran poster dan ditempel pada bagian yang mudah terlihat di dinding kamar. Kadang pula ditulis pada kertas seukuran note dan ditempel di meja belajar. Jelas, penulis kalimat tersebut salah menempatkan kalimat motivasi - sebuah vandalisme pustaka.

“Sudah larut malam, saya baru menghabiskan 50 halaman - itupun belum saya pahami semua.” Gumam Deka dalam hati sembari mengambil posisi telentang dari posisi tengkurap. Jelas, Deka belum menguasai teknik membaca. Ini adalah kemampuan teknis yang harus dikuasai pelajar selevel mahasiswa. Teknik ini sangat penting tapi tidak pernah diajarkan didalam kurikulum pendidikan. Guru dan orang tua pada umumnya sering menyuruh anak mereka untuk belajar tapi tidak pernah mengajarkan cara belajar yang efektif. Di kampus Deka kuliah, ilmu inipun tidak ada dalam kurikulum namun para senior mereka menguasai ilmunya - khususnya kanda Wahyu dan kanda Astrid.

“Haah, sudah pukul 4 subuh!” Deka terperanjak dari tempat tidurnya. Bukunya tergeletak di lantai disamping tempat tidurnya. Entah pukul berapa Deka tertidur.

Setelah menunaikan rutinitas wajib, seperti dua hari sebelumnya, Deka bersiap-siap. Yang berbeda pagi ini hanyalah tempatnya mengenakan pakaian yang biasanya di kamar, hari ini di teras belakang. Seragam sekolahnya yang telah dipilox dijemur semalaman di teras belakang.

Dua puluh lima menit menjelang pukul 6, Deka telah melintasi gerbang fakultasnya. Rekor datang tercepat pertamanya selama tiga hari menjadi mahasiswa. “Wooy, mahasiswa teladan!” Teriak salah satu senior gondrong dari balik kerumunan mahasiswa gondrong lainnya yang sedang melaksanakan ritual menenggak kopi pagi. Suara itu memang terdengar samar-samar, namun Deka mampu mendengarnya dengan sangat jelas. Ia sengaja tidak menoleh - pura-pura tidak mendengar - karena ia ingin memanfaatkan siswa waktunya untuk membaca.

Deka sengaja memilih tempat yang tenang untuk membaca - dibawah pohon beringin yang rindang dibelakang gedung fakultas. Di tempat itu, ia duduk bersama buku dipangkuannya. Kepalanya menunduk. Pandangan matanya menyisir kalimat demi kalimat dari halaman yang terbuka. Gaya yang dijamin akan membuatnya menyerah kurang dari sepuluh menit.

“Halo... Mahasiswa baru juga?” 

“Iya. Kelihatan dari pakaianku, kan?” Jawab Deka dengan raut wajah yang selah menjelaskan ia tidak suka basa-basi.

“Salam kenal. Saya Juni. Mahasiswa baru juga.”

“Saya Deka. Salam kenal.” Deka kembali menundukkan pandangannya, menatap kalimat dalam buku yang ia genggam diatas pangkuannya.

Terdengar samar suara lantang dari sebuah megafon - alat yang wajib dibawa mahasiswa saat demonstrasi. Deka bangkit dari posisi duduknya. Benar saja, tengkuknya lelah terlalu lama menunduk. Setelah ia berdiri stabil, ia mengintip kedalam gedung fakultas melalui sela-sela jendela yang masih tertutup gorden. Ia bermaksud melihat jam - siapa tahu terlihat.

Bukannya jam yang ia lihat, ia justru melihat kumis dosennya yang tiba-tiba melotot dari balik gorden. Oleh Prof. Sam - dosen spesialis metode penelitian kuantitatif, filsafat pendidikan, dan psycholinguistics - Deka diberi isyarat tangan untuk berputar dan masuk ke ruang dosen yang ia intip.

“Siapa yang ajari kamu mengintip-mengintip begitu?”

“Maaf, prof. Saya cuma bermaksud lihat jam.”

“Kamu itu mahasiswa. Jangan pakai cara-cara yang tidak beretika seperti itu. Gunakan cara yang benar dan tepat. Kamu yang cuma berusaha melihat jam, itu benar - bukan tindakan kriminal. Tapi caramu melihat jam itu tidak tepat - itu cara-cara kriminal.”

Mendengar kemarahan bermuatan nasehat tersebut, Deka tersadar akan betapa kurangnya pengetahuan yang ia miliki. Pertama, jangankan memahami keseluruhan isi buku yang masih dipegangnya. Ia bahkan tak mampu memahami bagian yang semalam berulang kali ia baca - yang hanya 17% dari total keseluruhan halaman. Kedua, ia ditegur oleh dosen yang baru pertama kali ia lihat karena melakukan hal yang benar tapi tidak tepat.

“Kamu sejak tadi bikin apa di bawah pohon?”

“Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, prof. Saya tidak bermaksud apa-apa selain untuk melihat jam. Sejak tadi saya membaca prof. Saya berusaha memahami isi buku yang saya ini.” Jawab Deka sembari memperlihatkan buku yang ia pegang. Jari telunjuknya terselip diantara dua halaman buku itu.

“Kamu yakin tadi kamu membaca?”

“Siap, yakin prof.”

“Membaca itu berbeda dengan mengeja. Membaca itu butuh pemahaman - bukan sekadar mengeja huruf demi huruf. Dari postur membacamu, saya prediksi sangat sedikit yang bisa kamu pahami. Tenagamu terpusat di leher. Tenagamu terkuras karena menahan beban kepalamu.”

“Terima kasih banyak atas nasehat dan ilmunya, prof. Saya berjanji akan terus memperbaiki diri.”

“Kepalamu kenapa?”

“Kena lemparan batu prof.”

“Oooh, kamu mahasiswa korban pelemparan kemarin?”

“Siap, betul prof.”

“Namamu siapa?”

“Deka, prof. Nama lengkap saya Deka Hidayat, prof.”

Usaha Deka menutupi identitasnya tertolong karena ayahnya tidak meletakkan namanya sebagai nama belakang Deka. Prinsip penamaan yang sama digunakan ayahnya kepada ketiga saudara Deka.

“Ya sudah. Kamu kesana sekarang. Jangan sampai kena hukuman karena terlambat masuk barisan.” Ucap prof. Sam sembari menunjuk kearah lapangan dengan telunjuk kanannya.

“Sekali lagi, mohon maaf yang sebesar-besarnya prof. Pagi ini saya belajar banyak hal dari nasehat prof. Mohon maaf, bisakah saya mengenal Anda prof?”

“Kamu akan mengenal saya. Tidak lama lagi!”

Deka berlari kecil mendatangi lapangan tempat berkumpulnya mahasiswa. Terlambat-tidaknya ia perkirakan dari sudah terbentuknya barisan atau belum. Ia berhasil menjangkau titik kumpul dua menit sebelum prosesi penerimaan mahasiswa baru hari ketiga dimulai. Sesuai perintah senior sehari sebelumnya, ia harus berada didepan mikrofon diatas panggung sekurang-kurangnya semenit sebelum prosesi dimulai. Hari ini, Deka dua puluh detik lebih awal dari perintah senior. 

“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”

“Hidup rakyat! Hidup rakyat! Hidup mahasiswa!” Teriak kanda Farid yang berdiri mendampingi Deka mengucap sumpah mahasiswa. Kanda Farid sendiri adalah ketua panitia penerimaan mahasiswa baru. Nama sapaannya berubah menjadi ‘ketua panitia’ sejak ia terpilih sekitar tiga bulan sebelum penerimaan mahasiswa baru dimulai.

Deka turun dari panggung dan mengisi barisan depan yang sengaja dikosongkan oleh teman-temannya atas arahan senior.

“Terima kasih karena semuanya masih terlihat bersemangat untuk berjemur dari pagi hingga siang nanti. Mohon maaf karena kami semua senior kalian tidak ikut berjemur karena kulit kami sudah terbakar di jalan. Nantinya, kalian semua mahasiswa angkatan 2007 juga wajib merasakan sengatan api matahari saat turun aksi untuk rakyat. Yang telah kalian alami di hari pertama dan yang akan kalian alami hari ini, kalian anggap sebagai ajang latihan. Akrabkan kulit kalian dengan terik matahari karena tanpanya, tidak akan ada kehidupan...”

“Saat ini hingga dua jam kedepan, kulit kalian akan menyerap vitamin E alami. Kata dokter, itu baik untuk kulit. Selebihnya, kulit kalian akan menyerap vitamin G - vitamin yang khusus diciptakan untuk para pejuang jalanan - vitamin Gosong!”

Gelak tawa dari para junior menggema mengikuti kelakar ketua panitia penerimaan mahasiswa baru yang nama sapaan pemberian orang tuanya sudah tiga bulan terakhir ini tidak pernah lagi disebut.

“Mumpung masih ada jatah vitamin E, mohon kanda-kanda senior panitia penerimaan mahasiswa baru tahun 2007 agar mengambil posisi didepan barisan mahasiswa. Dua senior untuk satu barisan - satu dibarisan depan, satu lagi tepat ditengah barisan. Mohon kanda senior agar bisa siap dalam dua menit.”

“Untuk semua mahasiswa baru. Ulangi kalimat saya!!!”

“Sumpah mahasiswa...”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah...”

“Berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan...”

“Sekali lagi!!!”

“Sumpah mahasiswa...”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah...”

“Berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan...”

“Saya lihat dari ketinggian, kanda senior sudah diposisi yang tepat. Bagaimana rasanya berada ditengah-tengah anak muda, kanda? Semua aman?”

Riuh tawa lagi-lagi menggema. Kali ini tawa mahasiswa baru terdengar sedikit agak tegang dari sebelumnya.

“Teman-teman panitia, ini tidak akan lama. Mahasiswa-mahasiswi disekeliling kalian adalah mahasiswa tersumpah.”

“Sekarang, mahasiswa baru sekalian agar mengeluarkan gula pasir yang kalian bawa. Pasti kalian telah menghitung butir demi butirnya berulang kali. Nama kalian semua telah tercatat sebagai mahasiswa di kampus ini. Tolong jangan permalukan almamater kalian. Jangan paksa kami menghukum kalian karena jumlah butir gula yang kalian bawa kurang atau lebih.”

“Untuk sedikit mempersingkat waktu, saya persilahkan mahasiswa yang tidak yakin dengan jumlah butir gulanya agar memisahkan diri dari barisan dan berdiri disebelah kiri panggung. Saya beri waktu dua menit untuk berpikir dan bergerak.”

“Hanya ini yang yang mengaku?” Teriak ketua panitia sembari menunjuk kearah kumpulan mahasiswa yang memisahkan diri.

“Saya beri tambahan waktu satu menit untuk yang masih dalam barisan untuk mengaku.”

“Kalian tahu... Selain balon kalian yang ada lima, ‘dosa’ kalian juga ada lima. Pertama, kalian gagal atau sama sekali tidak meresapi makna sumpah mahasiswa yang telah tiga hari terakhir ini kalian teriakkan kepada diri kalian sendiri. Kedua, kemalasan kalian berarti penghianatan terhadap diri kalian sendiri. Ketiga, kalian tidak menghargai tugas dari senior. Keempat, kalian tidak takut hukuman dari senior. Kelima, kalian jenis manusia yang malas. Di kampus ini, tidak ada tempat untuk orang-orang malas.”

“Kalian yang berkerumun disana, akan kami ‘eksekusi’ tanpa proses peradilan.”

“Kalian harus dijatuhi hukuman maksimal!!! Tapi, hari ini kalian semua beruntung karena ketua panitia penerimaan mahasiswa baru tahun ini adalah salah satu dari sedikit sekali mahasiswa yang lulus dengan nilai ‘A’ mata kuliah ‘kebijaksanaan’.”

“Tapi jangan manfaatkan kebijaksanaan saya! Perlu kalian tahu, saya juga lulus dengan nilai ‘A’ mata kuliah ‘kekejaman’.” 

“Dari lima dosa yang kalian lakukan, ada satu kebaikan yang saya lihat pada diri kalian. Harganya mahal. Melakukannya sangatlah mudah, tapi hanya manusia-manusia berani yang mampu melakukannya - ‘kejujuran’.”

“Kanda-kanda senior, tolong dampingi satu-per-satu gerombolan mahasiswa yang yakin dan percaya diri ini. Dampingi mereka menghitung butiran gula mereka. Pastikan jumlahnya pas - tidak kurang dan tidak lebih. Hukuman maksimal menanti kalian mahasiswa yang tidak jujur. Jika kalian kedapatan curang, dosa kalian bertambah dua - membohongi senior dan tidak jujur.”

Dari banyak mahasiswa yang yakin, percaya diri, dan mengaku jujur, terjaring tujuh mahasiswa yang ketahuan butiran gula pasirnya tidak pas. Mereka memisahkan diri dari barisan dan membentuk barisan baru disamping kanan panggung.

“Panitia seksi ‘eksekusi’, saya titipkan tujuh mahasiswa ini. Mohon agar mereka dibina... dibinasakan.”

Ketujuh mahasiswa ‘berdosa’ tersebut kemudian digiring kesebuah lokasi tersembunyi oleh gerombolan mahasiswa gondrong yang jumlahnya sebelas orang - lebih banyak empat orang dari jumlah total mahasiswa ‘berdosa’. Mereka akan dieksekusi disebuah tempat rahasia dibagian kampus. Nasib mereka kini ada ditangan kumpulan mahasiswa gondrong yang tidak satupun menunjukkan wajah akademisi.

“Brak... bruk...” Kira-kira seperti itulah suara yang dibawa angin dari dalam ruangan ke telinga kanda Reva. Ia duduk diluar sekira setengah meter dari pintu sekretariat mahasiswa pecinta alam. Ia adalah mahasiswa gondrong termuda. Kali ini, ia ditugaskan sebagai ‘intel’ - mengawasi jika ada dosen yang lewat. Beberapa kali terdengar teriakan ‘kunci perut’ dari dalam ruangan yang didahului atau diikuti kata-kata kotor.

Prof. Kis, dari balik tirai ruangannya, mengintip pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru. Sejak pagi ia menyempatkan diri untuk sesekali mengintip jalannya kegiatan yang terpusat di lapangan. Ia tak mau lagi kecolongan. Pikirannya disibukkan dengan pengumpulan suara senat untuk pemilihan rektor. Insiden yang melibatkan fakultas yang dipimpinnya, yang kabarnya telah sampai di telinga orang nomor satu di universitas yang menaunginya, benar-benar menjadi pukulan telak untuknya.

Demikian halnya dengan Prof. Andi - pimpinan fakultas tetangga. Selain harus menanggung dampak dari insiden tersebut, ia juga harus menanggung serangan psikologis karena yang menjadi korban adalah anaknya - putra kebanggaannya.

Mobil hitam berpelat merah milik rektor dua periode yang saat ini masih menjabat - sosok potensial yang bisa mempengaruhi 35% suara menteri dalam pemilihan rektor - terlihat mendekati gerbang Fakultas Bahasa dan Sastra. Satuan pengamanan fakultas dengan buru-buru keluar dari posnya. Ia berlari sambil mengenakan topinya menuju pagar.

“Selamat siang, pak rektor.” Sahut seorang satuan pengamanan berperawakan tinggi besar dan tegap yang membuka pagar dengan hormat gaya militer.

“Kamu berjaga sendiri? Anggotamu mana?” Kata pak rektor dari balik kaca mobilnya yang turun hanya sebatas mata. Seperti kebanyakan pejabat, ia duduk dibelakang supir. Disebelah supir duduk seorang ajudan berjas hitam dan berkacamata gelap yang terlihat seperti mencari-cari sesuatu dari balik kaca dengan rayban 80% berwarna gelap.

“Satpam berkerumun disana, pak!” Kata salah satu ajudan rektor.

“Anggota-anggotamu itu panggil kesini semua. Bagaimana disini tidak jadi arena tawuran kalau pengamanannya longgar seperti ini.” Kata pak rektor dengan kedua alis mata turun dan dahi sedikit mengkerut.

Melalui handy talky, satpam yang jadi pelampiasan kemarahan pak rektor memanggil anggota-anggotanya yang meninggalkan pos jaga.

Orang nomor satu di universitas ternama tersebut terlihat sangat marah. Ia turun dari mobil yang mampu membuat siapapun menunjukkan membusungkan dada dan mengangkat hormat ketika mobil itu melintas tanpa tahu siapa yang berada didalam. Padahal, itu hanya sebuah kumpulan baja, kaca, karet, dan plastik dengan serat karbon. Satu karakter umum manusia di bangsa ini adalah terlalu terpaku pada simbol - bukan pada esensinya.

“Kalian semua bikin apa disana? Hah? Pantas saja disini sering terjadi tawuran. Kalian semua itu digaji bukan untuk nongkrong disini.” 

“Siap! Mohon maaf, pak prof. Rektor. Kami patroli, prof.” Jawab salah satu dari mereka.

“Patroli apa rame-rame begitu? Posmu hanya dijaga satu orang. Kalo ada apa-apa bagaimana? Jon, kamu urus orang-orang tidak becus ini!” Kata pak rektor dengan nada sedikit tinggi.

Jon, panggilan akrab ajudan pak Rektor yang berpostur lebih tinggi, besar, dan tegap dari semua personil satuan pengamanan mengambil alih barisan dengan gaya militer. Ia tak mengeluarkan sepatah katapun. Isyarat tangan dan jari yang ia keluarkan mampu membuat semua personil satuan pengamanan yang ada dihadapannya mengambil posisi push-up.

Pak Rektor yang tidak tahan udara panas duduk di mobilnya. Ia meraih gawai yang berada di saku jasnya. Dengan lihai kedua jempol tangannya menari dalam harmoni dengan tempo yang cepat dipermukaan layar gawainya. Pandangannya tertuju pada gawai yang nyala layarnya terlihat samar-samar dari luar mobil yang ditumpanginya.

“Prof. Kis, sekarang saya berada di depan pos pengamanan fakultas. Bisa kesini sekarang?”

“Ooh... segera, prof.”

Didalam kelas yang pintunya tertutup rapat, beberapa mahasiswa gondrong terlihat sedang membina adik-adiknya. Beberapa diantara juniornya telah dibinasakan. Sisanya menunggu giliran untuk dibinasakan.

“Kamu kenapa menghitung saja tidak bisa? Kamu sadar kalau kamu sudah mahasiswa?”

“Siap, senior! Saya sudah hitung sampai tiga kali. Jumlahnya pas! Mohon maaf senior.”

“Keningmu luka?”

Lihat selengkapnya