Gedung rektorat dipadati mahasiswa senior dari seluruh fakultas. Para mahasiswa menuntut pak Rektor untuk membatalkan rencana pengalihan penerimaan mahasiswa baru ke pesantren. Pak Rektor sangat tertekan oleh teguran bertubi-tubi yang dilayangkan pihak kementerian. Teguran tertulis serta sindiran lisan dalam beberapa forum rektor se-Indonesia sudah sering ia terima. Tema sentralnya hanya berkisar pada kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru, tawuran antar fakultas, serta demonstrasi anarkis. Setelah terjadi dua tawuran anarkis dalam setengah pekan, kali ini ia harus menghadapi demonstrasi mahasiswa senior.
“Pak Rektor, saat ini ratusan mahasiswa BEM Universitas melakukan long march menuju rektorat. Mohon arahannya.” Kata staff bagian intelijen rektor melalui panggilan telepon.
“Apa agenda mereka?”
“Pembatalan rencana pengalihan penerimaan mahasiswa baru ke pesantren, pak.”
“Kerahkan semua personel pengamanan kampus. Jangan lupa buka akses pintu belakang.”
“Baik, pak Rektor”
Salah satu gebrakan rektor dua periode ini adalah pembentukan badan intelijen internal kampus yang tugasnya mengendus setiap pergerakan seluruh organisasi mahasiswa dari tingkat program studi (prodi) hingga universitas. Kali ini, badan intelijen internal kampus berhasil mengendus rencana pergerakan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Universitas - organisasi gabungan seluruh BEM seluruh fakultas.
Pasang mata salah satu staff intelijen fokus pada sebuah mobil pelat hitam yang melaju pelan hendak memotong jalan masuk ke area belakang gedung rektorat. Hanya staff intelijen saja yang mengetahui mobil ini. Penampakannya sangat sederhana - sama sekali tidak nampak seperti mobil pejabat. Hanya digunakan pada saat-saat genting saja - untuk mengelabuhi mahasiswa salah satunya.
Dalam hal solidaritas, kedua fakultas kampus selatan yang kerap kali terlibat perselisihan fisik bisa bersatu. Untuk yang kesekian kalinya, solidaritas berhasil mereka tunjukkan lagi. Mereka melakukan long march bersama menuju kampus pusat meskipun tiga hari terakhir ini terjadi dua ‘pertempuran’ sengit diantara mereka.
Dari sisi barat, terlihat pula rombongan mahasiswa yang melakukan long march menuju rektorat. Kampus barat yang selalu dinaungi kedamaian turut tidak setuju terhadap rencana pengalihan penerimaan mahasiswa baru ke pesantren. Meskipun terpisah jarak, kordinasi kampus barat dengan kampus selatan sangat solid.
‘Monumen Perdamaian’ yang dibangun sekira dua ratus meter dari gedung rektorat disepakati sebagai titik kumpul massa. Monumen dibangun sebagai simbol perdamaian seluruh fakultas. Terbubuh tanda tangan rektor dan presiden BEM seluruh fakultas pada salah satu bagian monumen ini. Dibawahnya, terpahat motto perdamaian yang telah dihapal diluar kepala oleh seluruh mahasiswa senior. Dua tawuran dalam tiga hari terakhir ini hanyalah sedikit bukti bahwa monumen ini hanyalah sebuah simbol semata. Ini adalah tahun kedelapan monumen perdamaian berdiri namun tak terhitung jumlah ‘pelecehan’ terhadap makna monumen yang terjadi sejak monumen ini dibangun.
Massa kampus selatan dan kampus barat kini telah berbaur. Dibawah komando kanda Sul, presiden BEM Universitas, mereka menyempatkan mengucap sumpah mahasiswa menghadap monumen perdamaian.
Akumulasi suara mahasiswa gabungan yang mengucap sumpah mahasiswa dibawah komando kanda Sul terdengar samar-samar oleh satuan pengamanan kampus yang berdiri tegap disekitaran pintu utama rektorat. Berbaur beberapa intelijen kampus dari kalangan mahasiswa dalam massa. Mereka direkrut dan dilantik secara tertutup oleh rektor. Tugas utama mereka adalah ‘menjadi duri dalam selimut’. ‘Terendus’ adalah resiko yang paling mereka takutkan.
“Hidup rakyaaat... Hidup rakyaaat... Hidup mahasiswa!” Teriak kanda Sul dengan tangan kanan menggenggam megafon dan tangan kiri terkepal diudara.
“Kawan-kawanku sekalian... Kakanda-kakanda dan adinda-adindaku yang saya cintai... Aksi ini adalah aksi damai. Jangan membuat almamater yang kita kenakan malu akibat anarkisme. Rapatkan barisan kawan-kawan. Jangan biarkan penyusup masuk merusak aksi damai kita kali ini. Sekarang kita bersama-sama bergerak menuju kantor ayahanda kita tercinta - bapak Rektor universitas yang sama-sama kita cintai ini.” Orasi kanda Sul yang masih mengepalkan tangan kirinya diudara.
“Di sisa perjalanan kita, mari bersama-sama kita nyanyikan bait “Revolusi” untuk membakar semangat kita.”
“Bergerak dan bersatu
Menuju Indonesia baru
Singkirkanlah benalu
Singkirkan semua musuh-musuh
Rakyat pasti menang melawan penindasan
Rakyat kita pasti akan menang
Rakyat pasti menang rebut kedaulatan
Rakyat kita pasti akan menang
Revolusi... revolusi... revolusi sampai mati
Demokrasi... demokrasi... demokrasi atau mati”
Lagu legendaris berjudul “Revolusi” tersebut digaungkan mahasiswa dalam setiap aksi demonstrasi yang dilakoninya. Mendengar dan menyanyikan lagu tersebut, darah juang mereka membara.
Tiba di pelataran gedung rektorat, kanda Sul mulai melancarkan orasinya.
“Hidup mahasiswa... Hidup mahasiswa... Hidup mahasiswa...”
Teriakan itu serentak diikuti oleh para demonstran yang membentuk pagar betis untuk menghindari masuknya penyusup ditengah-tengah mereka. Tanpa mereka tahu, sedari awal penyusup-penyusup itu telah ada ditengah-tengah mereka - berada didalam pagar betis yang mereka bentuk.
“Ayahanda kami yang terhormat dan mulia. Ananda-anandamu datang berkunjung ke istanamu yang megah ini. Mohon bukakan kami pintu untuk menemuimu, wahai ayahanda kami tercinta.” Teriak kanda Sul menghadap ke barisan pengamanan kampus.
“Anak-anakmu ini hanya ingin mengeluh, wahai ayahanda. Jangan biarkan anak-anakmu ini kebingungan disini.” Lanjut kanda Sul.