Prof. Andi pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Beberapa pekan terakhir ini ia dan seluruh dosen tidak terbebani jam mengajar karena seluruh mahasiswa sedang libur panjang. Hanya beban jabatan sebagai dekan yang menjadi alasannya untuk keluar rumah setiap hari. Dosen-dosen lainnya yang memiliki jabatan struktural memang sering terlihat di kampus. Sementara pengisi jabatan fungsional hanya datang sekali-sekali saja.
“Mana Deka?”
“Sejak pagi tadi tidak kelihatan. Mungkin sejak kemarin dia tidak menginap di rumah. Mungkin juga dia sedang keluar. Kamarnya terkunci.” Jawab ibunda Deka - istri prof. Andi.
“Tadi pagi dia ikut demonstrasi di gedung rektorat.”
Ibunda Deka terlihat sedikit kaget mendengar anaknya ikut demonstrasi. Ia tidak menyangka karakter anaknya yang cenderung tertutup bisa berubah haluan hanya dalam tiga hari masa penerimaan mahasiswa baru saja.
“Deka sudah terpengaruh mahasiswa senior, pa?”
“Tidak. Saya tahu jelas posisi Deka saat ini. Sebagai mahasiswa baru, ia tidak bisa berbuat banyak - apalagi ini masih masa pelonco.”
“Bukannya istilahnya penerimaan mahasiswa baru?”
“Pelonco, ospek, dan penerimaan mahasiswa baru itu hanya ganti judul saja, ma. Prakteknya kurang lebih sama. Tetap ada kekerasan fisik dan psikologis. Bedanya, dulu dilakukan terang-terangan. Sekarang sedikit agak rapi.”
“Pa, mama khawatir sama masa depan Deka. Mama takut dia ikut-ikutan nakal seperti mahasiswa kebanyakan dikampus selatan.”
“Papa juga dulu seperti itu. Ikut kata senior sajalah. Disuruh demo ya demo, disuruh push-up, ya push-up. Kalo masa pelonco sudah selesai, Deka bebas memilih jalannya sendiri. Saat perkuliahan sudah mulai, senior-senior sudah tidak bisa bersikap otoriter lagi.”
“Penerimaan mahasiswa baru, pa. Bukan pelonco.”
“Sama saja itu. Cuma ganti nama. Tanya saja Deka. Tiga hari ikut masa penerimaan mahasiswa baru, pasti dia pernah dipukul.”
“Mudah-mudahan Deka tidak apa-apa.”
“Tenang saja, ma. Mama tahu karakter Deka, kan? Dia itu introvert yang susah terpengaruh.”
Setelah melakukan ritual ibadah malam bersama seluruh anggota keluarga minus Deka, ibunda Deka duduk di sofa ruang keluarga. Ia meraih gawainya yang ‘terbaring’ di meja depan sofa disamping vas bunga lalu menyalakan layarnya. Terbaca tulisan ‘Kamis, 9 Agustus 2007 - 20.02’ diantara foto keluarganya yang disetel sebagai ‘layar kunci’ (wallpaper) gawainya. Sebelum masuk ke menu utama pada gawainya, ia menyempatkan melihat wajah Deka sebelum layar kembali meredup. Ditempat lain, prof. Andi sudah terbaring di tempat tidur. Ia sengaja tidur cepat karena besok pagi ia harus ke rektorat menemui mahasiswa yang akan menyampaikan aspirasi. Prof. Andi telah sangat familiar dengan situasi seperti ini. Di fakultas yang ia pimpin, kebijakan internal kerap kali mengundang demonstran ke gedung fakultas.
“Pa, mama tidak bisa tidur. Sejak tadi Deka sama sekali tidak mau menjawab telepon.”
“Santai saja, ma. Deka itu laki-laki. Biarkan dia mencari pengalaman hidupnya sendiri. Dia kan kurang pengalaman.”
“Tapi mama tetap khawatir, pa. Bagaimana kalau kita cari dia?”
Prof. Andi mengerti kekhawatiran seorang ibu kepada anaknya. Sebagai seorang suami sekaligus ayah yang pengertian dan terdidik, ia berinisiatif untuk menelepon seseorang.
“Halo, maaf mengganggu tengah malam, prof.”
“Sekali lagi mohon maaf. Saya hanya ingin bertanya, prof.”
“Apa malam ini ada kegiatan mahasiswa di fakultas Bahasa dan Sastra?”
“Bukan apa-apa. Saya hanya ingin bertanya saja.”
Prof. Andi seketika tersadar jika manuvernya ini bisa membongkar sesuatu yang ingin dirahasiakan Deka. Beberapa kali ia mencoba mengganti topik kemudian kembali ke topik utama - berharap orang diujung telepon tidak curiga.
“Ooh, begitu ya, prof?!”
“Iya, prof.”
“Kalau di Fakultas Bahasa dan Sastra malam ini diawasi ketat, saya juga ingin menerapkan hal yang sama. Saya hanya khawatir jika para demonstran tadi menggunakan area Fakultas Olahraga untuk konsolidasi demo besok.”
“Siap. He he he...”