Mahasiswa Abadi: OSPEK

Muhaimin
Chapter #9

Iluminasi Motivasi

Selepas ibadah maghrib bersama pada Senin, 13 Agustus 2007, tidak seperti biasanya, kali ini Deka bersujud mencium kaki ibundanya dan melontarkan kalimat-kalimat maaf dan ampun kepada ibunya. Senyum Ibunda Deka kepada suaminya yang tak terlihat oleh Deka yang sedang bersujud mengisyaratkan perasaan syukur yang teramat dalam. Hingga Deka selesai mengekspresikan rasa bersalahnya, ibunda serta ayahnya tidak tahu sebab kalimat maaf dan ampun itu dilontarkan Deka. Intinya, Deka sudah sadar. Entah apa yang telah Deka sadari. Orang tuanya tidak menghiraukan itu. Satu yang pasti, ini sebuah pertanda baik.

Deka kembali ke kamarnya. Ia meraih sebuah buku yang bertahun-tahun lalu dibelinya tapi tidak pernah sempat ia baca habis hingga detik ini. Satu-satunya alasan ia meraih buku tersebut adalah untuk membaca. Tidak peduli ia akan paham atau tidak, yang penting membaca.

Sebelum mulai membaca, Deka merenung. Dalam renungannya, ia menyadari satu alasan mengapa selama ini ia malas membaca - karena ujung-ujungnya akan lupa juga. Ya! Lupa adalah alasan utama Deka malas membaca.

Tanpa berlarut-larut dalam renungan, ia mulai membuka lembar pertama dari buku yang ada dalam genggamannya. Duduk dipinggiran tempat tidur membuatnya tidak nyaman. Ia menarik mundur kursi kayu yang terselip dikolong meja belajarnya. Entah kapan terakhir kali ia duduk disitu. Yang ia ingat, pada malam terakhir ujian nasional SMA. Itu sudah berbulan-bulan yang lalu.

Dilihatnya sampul bagian dalam dari buku tersebut. Pandangannya tertuju pada goresan tinta disudut kanan atas lembaran kertas berlatar putih itu. Tersurat bahwa buku yang sedang ia genggam terbeli pada 5 Agustus 2006 silam.

Dua tahun delapan hari sudah usia buku itu bersama Deka. Di Jepang, orang yang senang membeli buku namun tidak membacanya dikenal dengan istilah ‘Tsundoku’. Melihat sejarah buku yang berada ditangannya saat ini, Deka hampir pantas mendapat gelar ‘Tsundoku’.

Deka bersyukur penerimaan mahasiswa baru besok dan seterusnya tidak lagi seaneh yang seharusnya. Kalau kata senior-seniornya, tidak ospek tidak seru. Namun setidaknya Deka sudah pernah merasakan gelisah mencari telur asin berstempel lurah dan tulang kaki kambing yang disaat bersamaan ia juga harus membaca dan menguasai buku setebal ratusan halaman. Selain itu, dibuat kalang kabut menghitung butir gula pasir yang harus berjumlah tiga ratus tiga puluh tiga juga telah ia rasakan. Paling tidak Deka sudah punya pengalaman yang bisa ia ceritakan kepada anak-cucunya kelak - cerita tentang penerimaan mahasiswa baru berbau OSPEK dan sedikit aroma pelonco - meskipun hanya sedikit.

Waktunya membaca! Deka membuka daftar isi dari buku yang digenggamnya. Buku pengembangan diri bernuansa islami karya Ary Ginanjar Agustian. Benar!!! ‘Emotional Spiritual Quotient’.

Tak sulit bagi Deka memahami arti dan makna judul buku tersebut. Beberapa hari kedepan, setelah melewati prosesi penerimaan mahasiswa baru, status sebagai mahasiwa jurusan Sastra Inggris akan resmi ia sandang - jurusan yang bukan untuk kaum malas membaca.

“Kecerdasan emosi dan spiritual.” Deka mengeja judul buku tersebut dalam hati.

Sebelum mulai membaca, Deka menyempatkan mengeja baris demi baris isi daftar isi buku terbitan tahun 2001 silam itu. Mengeja yang dimaksud disini adalah membaca kombinasi huruf vokal-konsonan secara literal tanpa interpretasi.

‘PROLOG’

‘IQ vs EQ’

‘Kecerdasan Emosi - EQ’

‘EQ vs SQ’

‘Kecerdasan Spiritual - SQ’

‘Teori vs Pelatihan’

‘Berita Gembira’

‘Langkah Pembangunan The ESQ Way 165’

‘ESQ Model’

Deka langsung melompat ke bagian ketujuh - ‘Langkah Pembangunan The ESQ Way 165’. Deka berpandangan bahwa dengan langsung membaca poin ini, ia dapat mempraktekkan inti dari isi buku tanpa harus menghabiskan waktu membaca kerangka teori yang digunakan penulis dalam membangun buku ini. Jalan pintas menuju inti masalah - model berpikir instan khas anak SMA.

Deka membuka lembaran demi lembaran menuju halaman dua puluh lima - halaman dimana judul yang menarik perhatiannya dimuat. Dibacanya tiga paragraf pertama. Karena menurutnya kurang menarik, ia menambah dua paragraf lagi. Ia tetap belum bisa menyimpulkan apa-apa.

Dibukanya secara acak beberapa halaman dari buku tersebut. Kali ini, Deka hanya membaca potongan-potongan tulisan yang berbeda secara visual dibandingkan dengan tulisan-tulisan lainnya - hanya yang tercetak miring dan tebal saja. Pada halaman 144 tertera ‘Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka’. Pada halaman 146 tercetak tebal kalimat ‘Seseorang yang memiliki integritas tinggi adalah orang yang dengan penuh keberanian serta berusaha tanpa kena putus asa untuk mencapai yang ia cita-citakan’. Pada halaman 170 tertulis sebuah hadis yang berbunyi ‘Barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin dialah tergolong orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka’. Pada halaman 197 termuat ‘... setiap menugaskan suatu pekerjaan, sentuhlah kesadarannya terlebih dahulu. Berikan pemaknaan pada hatinya dengan menjelaskan tujuan akhir apa yang sesungguhnya harus dicapai’.

Malam ini Deka hanya membuang-buang waktunya saja. Lelah membolak-balik halaman, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya yang empuk.

“Setidaknya malam ini saya tidak melakukan hal yang negatif.” Begitu gumamnya dalam hati menjelang memejamkan mata.

Subuh menjelang. Sekira dua jam sebelum nyala mentari menyentuh bumi. Deka meninggalkan tidur lelapnya dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersuci. Lampu ruang tengah sudah menyala - pertanda anggota keluarganya sudah ada yang bangun.

“Maghrib kemarin kenapa, nak?” Tanya ibunda Deka.

“Saya menyesal dulu sering membantah saat disuruh belajar, ma.” Jawab Deka malu-malu.

“Apa saja kegiatan di kampus kemarin?” Tanya ibunda Deka mengalihkan pembicaraan agar perasaan malu anaknya tidak berlarut.

“Cuma didalam kelas dan mendengarkan materi saja. Materi tentang kemahasiswaan.”

“Aman-aman saja, kan?”

“Iya. Sudah sangat aman.”

“Syukurlah! Agenda hari ini apa saja?”

“Sama seperti kemarin. Mendengarkan materi dari senior. Temanya saya belum tahu.”

“Belajar yang rajin, nak. Sekarang kamu bukan anak remaja lagi. Harus tekun belajar biar kamu bisa jadi seperti ayahmu. Jadi profesor dan membanggakan keluarga.”

Lihat selengkapnya