Terdesak gelombang lingkungan yang semua buihnya berorientasi akademik, serabut-serabut tipis dalam otak Deka saling memantik aliran listrik. Neuron, saintis menyebutnya demikian, yang saling terkoneksi ini menghidupkan hari-hari Deka. Ia yang seharian ini bermandi cahaya motivasi semakin menyadari betapa kurangnya modal pengetahuan yang ia miliki untuk mengarungi masa depan. Ini bukan kali pertamanya tersadar seperti ini. Pengalamannya yang lalu-lalu sebenarnya kurang lebih sama - meskipun yang ini sedikit lebih dahsyat. Namun jiwa hedonnya selalu berhasil menariknya kembali dalam kemalasan.
Kali ini ia bertekad untuk tidak lagi terbuai dan ternina-bobo oleh kemalasan. Deka sadar pentingnya peran lingkungan dalam membentuk karakter baru. Mengubah lingkungan berarti mengubah frekuensi diri kita sesuai dengan rentang frekuensi dimana kita berada. Didunia ini, tidak akan ada satu orang malas yang betah diantara kerumunan orang rajin; begitu pula sebaliknya. Demikian halnya para penjahat yang tidak akan bisa betah bergerilya dalam rotasi para alim. Deka menyadari hal ini seperti ia menyadari hela nafasnya yang hangat.
Kembali ia meraih buku yang kemarin ia genggam dan hanya ia baca sekilas. Kali ini ia tak mau kalah seperti hari sebelumnya. Buku ini akan menjadi medan latihan untuknya bertempur dan berperang melawan kebiasaan lamanya - ‘hedon bin malas’.
Sebelumnya, ia menggores tinta spidol pada secari kertas kecil berwarna kuning menyala - nyaris orange. Ditulisnya kalimat ‘Read, read, read, and write!!!’ pada kumpulan serat-serat halus yang membentuk kertas tersebut lalu ditempelkannya persis di tembok tempat mejanya bersandar - lurus searah pandangan matanya ketika ia duduk. Dipilihnya kertas kuning menyala, alih-alih kertas putih bersih, dengan tujuan agar pandangan matanya selalu tertarik untuk mendarat disitu.
“Baca, baca, baca, dan tulis!!!” Deka berbicara pada dirinya sendiri.
Pikiran Deka kini berubah menjadi sedikit filosofis. Entah karena bakat tertidur ataukah hanya karena emosi sesaat, ia tidak mau pedulikan itu. Frekuensi membaca dibanding frekuensi menulis adalah tiga banding satu. Secara kualitas dan kuantitas, membaca harus tiga kali lebih intens dibanding menulis. Pesan terakhir sang dosen yang mengutip kalimat bermuatan magis Pramoedya Ananta Toer ‘Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah, Menulis adalah bekerja untuk keabadian’ memaksa Deka untuk menambah aktivitas menulis setelah banyak aktivitas membaca.
Pada prosesi penerimaan mahasiswa baru hari berikutnya, 15 Agustus 2007 esok, Deka bertekad untuk datang dengan ingatan bahwa semalam ia lelah karena banyak membaca. Malam ini adalah malam pembuktiannya. Malam penting yang menentukan gejolak perasaannya esok. Kegiatannya malam ini menentukan apakah malam ini akan dikenang sebagai sejarah yang baik ataukah sebagai sejarah yang tidak pantas diulangi dan ditiru.
Sebelum memulai proses pembuktiannya, Deka harus melakukan ibadah malam terlebih dahulu.
“Tumben pesan cappuccino? Biasanya kopi hitam atau kopi susu.” Tanya prof. Andi.
“Lagi mau saja. Sekali-kali ganti menu.”
“Ada apa dengan cappuccino? Maksud saya, apa yang membuat ia pantas dipesan?”
“Sore tadi saya membaca novel karya Dee Lestari. Katanya cappuccino itu untuk orang yang menyukai kelembutan dan keindahan. Tertulis di halaman empat. Saya bahkan masih ingat halamannya.” Jawab prof. Andi sedikit berkelakar.
“Sejak kapan suka novel?”
“Bacaan istri saya. Saat menggoreng pisang sore tadi, novel istri saya ia tinggal diatas meja teras belakang. Saya baca saja sambil menunggu pisang gorengnya matang. Ternyata seru juga! Sekali-kali keluar dari kebiasaan baca koran pagi disore hari. Sore ini baca novel.”
“Judul novelnya apa? Kenapa sampai bahas kopi?”
“Kalau saya tidak salah ingat judulnya ‘Filosofi Kopi’. Ceritanya memang tentang kopi-kopian. Kebetulan saya penikmat kopi, semua yang ada kopi-kopinya saya baca.”
“Mantaaaap...”
Malam ini, prof. Andi dan prof. Kis ‘bertengger’ bersama di kedai kopi waduk, tempat mereka biasanya menyeruput kopi pagi mereka. Kedai kopi waduk sendiri adalah istilah yang hanya diketahui oleh prof. Andi dan Prof. Kis. Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan nama itu. Hanya karena letaknya yang berhadapan dengan waduk, makanya disebut kedai kopi waduk. Padahal pemilik kedai menamainya dengan Kedai Kopi Rakyat - demikian yang tertera pada surat izin usaha kedai itu. Kali ini, dua profesor yang menjadi rival dalam pemilihan rektor periode berikutnya ini mampir saat langit telah gelap sempurna - sepulang rapat yang baru bisa dimulai selepas maghrib tadi. Sesibuk apapun, keduanya tak pernah absen ngopi.
Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari persahabatan keduanya. Mereka sengit bersaing dalam medan pertempuran mereka. Diluar medan tempur, mereka akrab bak saudara kandung. Berkelakar bersama, berdiskusi bersama, dan selalu duduk semeja. Semua pengunjung rutin kedai kopi waduk akan kaget jika mengetahui keduanya adalah rival dalam pemilihan rektor. Rival tidak mungkin duduk semeja. Kalaupun terjadi, pasti ada agenda dibaliknya. Pada kenyataannya, keduanya bersih dari agenda-agenda terselubung. Pelajaran untuk semua yang sedang dalam rivalitas, pelajari dan dalamilah karakter prof. Andi dan prof. Kis!
Rabu, 15 Agustus 2007, lima menit menjelang tiga jam sebelum jam masuk kampus, Deka masih terlarut dalam aktivitas membacanya. Ia melihatnya dirinya sedang duduk di kursi dengan kedua kaki yang terselip didalam kolong meja. Posturnya sedikit tertunduk. Ia mampu melihat dirinya sendiri dengan sangat jelas - terlihat sangat serius bak mahasiswa yang akan menghadapi ujian skripsi. Beberapa detik kemudian, ia meregangkan badannya yang sudah lama kaku. Deka kaget bercampur heran karena raganya berpindah posisi dengan sangat cepat - secepat kedipan mata. Bukan! Ini bukan cerita magis. Semalam Deka tertidur. Ia tidak pernah membaca. Hanya mimpi sedang membaca saja.
Di kamar mandi, saat mencuci wajahnya yang sedikit lembap nyaris kering pada bagian pipi - lembap yang menempel karena bantal basah - tempelan air liur orang-orang menyebutnya - pikiran Deka dipenuhi kata tanya ‘kenapa’. Kenapa saya tertidur? Kenapa saya tidak membaca? Kenapa bisa saya kecolongan lagi? Kenapa semalam saya pindah ke tempat tidur? Dan banyak kenapa-kenapa lainnya berhilir-mudik dalam pikiran Deka bak laju mobil di jalan tol yang direkam drone dari ketinggian tiga puluh meter - cepat dan hanya sesaat. Belum sempat menjawab satu kenapa, kenapa lainnya sudah muncul. Lalu lintas pertanyaan yang sangat masif itu membuatnya tidak ingat sudah berapa timba yang ia gunakan. Ia selalu kehilangan fokusnya. Bukan karena usia, tapi karena kurang dilatih saja.
Deka yang sudah cukup tidur kini duduk bertopang dagu dipinggiran tempat tidurnya. Terheran-heran, masih! Bertanya-tanya, masih! Menyesal, pasti! Ia tidak menyangka kenapa dirinya yang telah termotivasi maksimal masih bisa kecolongan. Waktu tidak bisa diulang, tapi semuanya bisa diperbaiki. Malam nanti, ia tidak mau kecolongan lagi!
Untuk tipikal orang seperti Deka, membaca diarea tempat tidur sangat tidak disarankan. Ketahuilah bahwa sinergi sprei, bantal, dan selimut mampu menghipnosis pikiran. Tanpa terlihat, mereka dapat melambai-lambai bak daun pohon kelapa yang tertiup angin laut, memanggil-manggil dan menina-bobokan siapapun yang ada dalam radius mereka. Pengaruhnya dapat menjadi semakin kuat saat hujan sedang turun. Jika berencana untuk membaca, jangan sekali-kali mendekati mereka; memandangpun jangan.
Insan dengan tipikal seperti ini harus pandai-pandai mendeteksi kecenderungan-kecenderungan diri sendiri. Benarlah bahwa ketika seseorang mampu mengenal dirinya, tidak akan ada yang mustahil dilakukan, kecuali menjadi tuhan.
Menyadari tarik-hembus nafas dan detak jantung sendiri adalah latihan dasar yang patut dicoba untuk mengenal diri sendiri. Setelah mahir, lanjutkan dengan terapi menatap nyala api pada ujung atas sumbu lilin. Setelah melewati latihan yang intens dan konsisten, mulailah melihat kedalam diri. Mengapa banyak orang yang mampu berkomentar begitu mendetail terhadap orang lain? Karena mereka sering melihat keluar dari diri mereka. Mereka intens dan konsisten melakukan itu. Mereka mengamati secara mendetail - mengamati yang tidak diamati orang lain. Ala bisa karena biasa.
“Semua orang cerdas! Kecerdasan bukan bawaan lahir, bisa dilatih! Kecerdasan itu dinamis - tidak statis! Dengan modal kecerdasan yang diberikan kepada saya, saya pasti mampu menemukan cara untuk keluar dari belenggu kemalasan!” Deka mencoba meyakinkan dirinya dalam hati dengan teknik afirmasi.
Seperti hari-hari yang lalu, Deka meninggalkan rumah saat cakrawala baru akan menampakkan nyala jingganya. Ia berangkat saat para penjual ikan dan sayur bermotor berada dalam perjalanan mereka; mungkin hendak menuju pasar.
H-2 menjelang hari peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-62, kobar semangat nasionalisme Deka dan kawan-kawan akan dibakar oleh kanda Wahyu - tersurat dalam kalimat sebelum salam penutup dari kanda Farid kemarin. Sebelum membakar bara nasionalisme mahasiswa baru, kalori Deka dan para mahasiswa baru lainnya terlebih dahulu akan dibakar melalui gerak fisik.
Gerbang Fakultas Bahasa dan Sastra telah tertutup sempurna, namun siapapun tetap masih bisa dengan leluasa keluar-masuk area fakultas - kecuali mahasiswa baru. Sangat mudah membedakan mahasiswa baru dengan non-mahasiswa baru. Ciri-ciri umumnya dapat dilihat dari pakaian hitam-putih dan atribut pita dilengan mereka. Mahasiswa baru juga dapat dibedakan dari gerak-gerik mereka. Secara psikologis, mereka cenderung terlihat kaku, gugup, dan sering tertunduk ketika berjalan. Sehebat apapun mereka menutupi semua itu, tetap akan ketahuan.
“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!” Deka lagi-lagi memimpin sumpah yang telah fasih ia lantangkan. Teman-teman seangkatan Deka mengikuti kalimat-per-kalimat. Mereka juga telah fasih diluar kepala.
“Adik-adik mahasiswa baru sekalian! Saat ini kalian telah memasuki permulaan hari ketiga penerimaan mahasiswa baru. Minus dua hari lagi kalian akan resmi menjadi mahasiswa. Kalian akan memulai prosesi hari ini dengan berolahraga. Ditengah-tengah kita semua telah hadir dua mahasiswa teladan dari fakultas tetangga kita, Fakultas Olahraga.”
“Mereka adalah petinggi BEM Fakultas Olahraga yang rela kami ‘culik’ untuk memimpin acara bakar-bakar kalori kita semua pagi ini. Berikan tepuk tangan yang paling meriah sebagai bentuk sambutan dan terima kasih kita semua kepada kanda Haikal dan kanda Reni yang telah bersedia menjadi tamu kehormatan kita semua pagi ini.”
Sejak adanya insiden pekan lalu, para petinggi dua BEM diarea kampus selatan menjadi semakin akrab. Kedua BEM fakultas sektor kampus selatan ini bahkan telah tiga kali terlibat dalam acara kumpul-kumpul. Pertama saat konsolidasi, kedua saat demonstrasi, dan terakhir saat rapat evaluasi aksi pada Sabtu, 11 Agustus 2007. Ini adalah kali keempat kedua kubu berkolaborasi.
Sebagai bentuk simbiosis mutualisme, kanda Astrid dan kanda Ical diutus ke Fakultas Olahraga untuk mengajar kursus singkat tentang dasar-dasar bahasa Inggris kepada mahasiswa baru. Pada rapat evaluasi akhir pekan lalu, mereka sepakat untuk bersama-sama berkolaborasi dalam sebuah misi bawah tanah. Itu sebabnya cerita tentang gerombolan mahasiswa gondrong tidak lagi tersurat dalam cerita. Merekalah prajurit yang diutus oleh kanda Erik dalam misi rahasia ini. Sampai detik ini, mereka masih bekerja dibalik layar.
“Adik-adik sekalian. Kami ‘diculik’ ke kampus ini untuk memimpin senam pagi. Bisik senior-senior kalian kemarin malam, katanya kalian sudah mulai kelihatan loyo dan tidak berenergi. Itu sebabnya kami diundang kesini. Mudah-mudahan momen ini bisa menjadi titik balik bagi kedua fakultas untuk menuju kehidupan yang lebih layak dimasa mendatang. Sebuah kehormatan bagi kami berdua bisa hadir ditengah-tengah kalian semua.” Buka kanda Haikal didampingi kanda Reni.
Mobil dinas berpelat merah prof. Kis dan prof. Andi terlihat jalan pelan beriringan melintasi gerbang kampus. Gerombolan mahasiswa gondrong Fakultas Bahasa dan Sastra didampingi gerombolan mahasiswa gondrong dari Fakultas Olahraga yang sedang ‘nongkrong’ di warung depan kampus melihat petinggi kedua fakultas tersebut melintas bak sedang berkonvoi menuju kearah barat. Sekira tiga puluh menit berselang, kedua mobil tampak kembali dari arah barat ke timur. Mereka hanya melintas - seperti sedang mengukur jalan.
Di warung kopi sebelah, kerumunan orang dewasa berkostum olahraga juga sedang dalam interaksi verbal sambil menikmati kopi pagi mereka - seperti layaknya kerumunan mahasiswa gondrong. Sesekali terdengar samar-samar suara orang berbicara dari radio handy talky milik salah satu dari mereka. Dari kostumnya, bisa dipastikan bahwa sepeda MTB (mountain bike) yang terjejer rapi didepan warung adalah tunggangan mereka.
“Semua ambil jarak, bentangkan kedua tangan kalian. Pastikan ujung jari kalian tidak bersentuhan.” Aba-aba dari kanda Reni.
“Bagus. Sekarang, hadap kanan. Ayo, semua hadap kanan. Bentangkan tangan kalian. Jangan sampai ujung jari kalian menyentuh ujung jari teman kalian. Bagus.” Instruksi kanda Reni yang keluar dari pengeras suara bergema hingga ke warung tempat mahasiswa gondrong bertengger.
“Bagaimana bro?” Tanya kanda Erik melalui sambungan telepon.
“Masih aman kanda! Aman terkendali. Kopinya saja yang hampir tidak aman. Sisa sepertiga cangkir.”
“Lanjutkan!” Kata kanda Erik serius.
Prof. Andi dan Prof. Kis yang berada didalam mobil dinas masing-masing sedang berkomunikasi lewat sambungan telepon. Hanya supir yang tahu apa yang bos mereka bilang tanpa tahu apa yang mereka bicarakan. Intinya ini pembicaraan yang serius.
“Baiklah adik-adikku sekalian. Setelah membakar kalori, saya ingin sekali lagi mendengar gemuruh sumpah mahasiswa. Ketua angkatan, silahkan pimpin teman-temanmu.” Teriak kanda Haikal melalui pengeras suara.
“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”
“Sekali lagi! Saya ingin sumpah yang jauh lebih sungguh-sungguh dan jauh lebih lantang!” Minta kanda Haikal lagi.
“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”
“Apa perlu sekali lagi, kanda?” Tanya kanda Haikal kepada kanda Farid dengan mikrofon yang dalam posisi ‘off’.
“Sepertinya belum ada tanda-tanda kanda. Asap belum terlihat.” Jawab kanda Farid.
Tidak seperti biasanya, para panitia yang lain tidak terlihat berada ditengah-tengah mahasiswa baru. Mereka berpencar entah kemana. Hanya keberadaan kanda Astrid dan kanda Ical saja yang jelas.
“Bagaimana kalau masuk materi dulu, kanda? Waktu terus berjalan. Lima menit lagi setengah sembilan.” Usul kanda Haikal.
“Kita tahan lima menit lagi!” Jawab kanda Farid.
Terdengar gema pembacaan sumpah mahasiswa yang dikirim angin dari arah Fakultas Olahraga. Mahasiswa baru disebelah seolah tak ingin kalah dari mahasiswa baru Fakultas Bahasa dan Sastra.
“Adik-adikku sekalian. Untuk lebih memanaskan suasana di kampus ini, saya ingin kalian mengeluarkan suara terlantang yang kalian miliki dalam mengucap sumpah mahasiswa. Keluarkan teriakan kalian yang paling lantang. Sekali lagi!”
“Sumpah Mahasiswa! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan! Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”