Selepas maghrib, Deka menyempatkan diri sejenak mengenang pengalamannya sepanjang hari ini. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa ia akan bertemu dengan sosok yang pernah membuat pelipis matanya robek. Luka yang bekasnya tidak akan pernah hilang seumur hidup. Sejak kejadian itu, Deka sudah bisa mengikhlaskan apa yang menimpanya. Ia bahkan tidak pernah lagi mengingat peristiwa itu. Namun hari ini, ia dipaksa untuk mengingat semuanya.
Selepas ibadah malam, Deka duduk didepan TV bersama ibunya. Ia tak bisa berlama-lama disitu karena ia telah terlanjur berjanji untuk menghabiskan malam ini dengan membaca.
“Ayah belum pulang, ma?”
“Ayahmu itu sibuk sekali akhir-akhir ini. Katanya dia ada pertemuan dengan pak dekanmu. Biasa, di warung kopi lagi.”
“Oooh...”
“Kenapa memangnya? Oh iya. Katanya ayahmu ada di kantor polisi sore tadi. Ada kejadian apa lagi di kampus selatan?”
“Saya kurang tahu juga, ma. Sepertinya kecurigaan senior-senior terbukti benar. Tapi saya tidak tahu pastinya bagaimana. Tadi siang, orang yang diduga melempari saya batu tertangkap mahasiswa dan polisi. Mereka sudah diintai sebelumnya. Ada isu kalau kampus selatan sengaja diobrak-abrik oknum yang saya juga tidak tahu orangnya. Mungkin ada kaitannya dengan pemilihan rektor. Tapi tak tahu jugalah pastinya.”
“Mama sudah beberapa kali bahas masalah itu dengan ayahmu, nak. Sewaktu ayahmu sedang sibuk-sibuknya mengurus berkas persyaratan bakal calon rektor dulu, mama sarankan agar ayahmu mengalah, menunda dan bersabar karena prof. Darwis dari Fakultas Teknik juga mencalonkan. Kan prof. Darwis sedikit lebih senior dari ayahmu. Maksud mama, berikan kesempatan dulu ke yang lebih senior.”
“Bagaimana respon ayah?”
“Kamu tahu sendirilah sifat ayahmu. Ayahmu itu agak ambisius. Alasannya karena didorong beberapa senat universitas. Tak tahulah pastinya bagaimana.”
“Seperti biasa. Kali ini susunya tipis saja.” Jawab prof. Andi saat ditanya mau pesan apa oleh pelayan kedai.
“Kalau saya jus apel saja. Lagi butuh asupan vitamin.” Kata prof. Kis tanpa ditanya.
“Ma, saya ke kamar dulu yah. Mau membaca dulu.”
“Dapat tugas membaca dari senior lagi? Bagus yah! Ospek zaman sekarang sudah banyak perubahan. Saya perhatikan tugas-tugasnya kebanyakan membaca.”
“Bukan tugas dari senior, ma. Saya mau rutinkan membaca. Mudah-mudahan bisa jadi kebutuhan. Saya merasa kurang berilmu, ma. Doakan saya bisa bebas dari penyakit malas membaca.”
“Kalau mau mengubah kebiasaan lama, awal-awalnya memang susah. Harus kamu paksakan. Memang tidak nyaman tapi paksakan saja dulu. Lama-lama kamu tidak akan merasa terpaksa lagi. Pasti bisa jadi kebiasaan. Untuk mengubah kebiasaan, butuh konsistensi. Mungkin bulanan, mungkin juga tahunan. Berhasil atau tidaknya tergantung tekad kamu, nak. Tidak ada yang tidak bisa sepanjang kamu berpikir itu bisa.”