Kamis, 16 Agustus 2007. Tetesan ribuan bulir air hujan yang turun tanpa menimbulkan bunyi di atap tak menghalangi Deka untuk memuntahkan air dalam timba ke ubun-ubunnya. Agar tubuhnya tidak kaget dengan perubahan suhu secara mendadak, ia mengguyur kakinya terlebih dahulu.
Karena hujan membuat suhu air lebih rendah, Deka dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat keluar dari hidungnya saat kepalanya terguyur air. Saat-saat seperti ini, menyantap pisang goreng selepas mandi adalah salah satu opsi yang menarik. Aromanya sudah tercium hingga kamar mandi. Ibunda Deka yang menyebabkan aroma itu menyelimuti seluruh rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.
Sebelas menit lewat pukul lima pagi. Saudara-saudara Deka yang berada didepan TV lebih dulu menyantap pisang goreng. Saat Deka melintas didepan mereka, terhalanglah gambar dalam TV oleh pria berhanduk merah menyala yang tanpa baju.
“Sebelum berangkat makan dulu, nak.” Saran ibunya Deka.
“Iya, ma. Ganti pakaian dulu.”
“Kak Deka tidak doyan pisang goreng, ma. Kelasnya Pizza atau roti bakar.” Interupsi saudara Deka.
“Makanan mahasiswa itu merakyat, dek. Pisang goreng contohnya.” Deka menimpali.
“Naaah, begini seharusnya kalian jadi saudara. Perbanyak kumpul-kumpul. Hubungan harus akur terus sampai tua, biar orang tua kalian senang.” Ujar prof. Andi yang baru keluar dari kamarnya.
Terhitung jari saja interaksi Deka dengan ayahandanya. Prof. Andi orang yang sibuk. Deka orang yang kebanyakan mengurung diri dalam kamarnya. Meskipun bernaung dalam atap yang sama, mereka sangat jarang berinteraksi.
Sembari menunggu hujan reda, Deka yang telah selesai berpakaian mengambil piring kosong. Ia mentransfer beberapa potong pisang goreng buatan ibundanya ke piring kosong yang baru saja diambilnya lantas dibawanya ke kamar. Sembari menyantap, ia membaca lanjutan bacaannya yang malam tadi terpotong pada bagian akhir prolog.
Dibaliknya halaman akhir bacaannya semalam. ‘Bagian I - Zero Mind Process’. Demikian judul bab yang akan ia baca pagi ini. Dari balik jendela yang Deka buka setengah setelah ia menutup pintu kamarnya, masuklah aroma petrichor. Pecinta hujan pasti tahu petrichor - fenomena keluarnya aroma tanah saat hujan pertama meresap kedalam bumi. Ini fenomena alam yang sangat biasa tapi sangat sedikit yang bisa membahasakan keindahannya. Mungkin karena kurang peka, mungkin juga karena terlampau menikmati.
Sudah lumrah diketahui bahwa efek dari petrichor adalah perasaan tenang dan damai yang ia bawa melalui aroma khasnya. Deka memanfaatkan situasi ini dengan membaca. Langit masih gelap. Entah karena sinar terang itu tidak mampu menembus gumpalan awan hitam yang menggelayut ataukah karena memang belum waktunya ia muncul, tidak ada yang peduli hal itu. Saat ini, semua insan sedang terhipnosis suasana tenang dan damai yang dibawa hujan pagi ini.
Tak terasa, enam lembar telah dilumat Deka pagi ini. Selain terhipnosis suasana hujan, Deka juga terhipnosis materi bacaannya. Kali ini Deka menunjukkan satu kemajuan lagi, ia mulai mengerti cara memanfaatkan situasi.
Langit masih gelap. Bola mata Deka masih sibuk menari-nari pada permukaan kertas bermotif huruf-huruf dan simbol-simbol. Terkadang pandangan matanya melompat-lompat pada bagian-bagian diagram dan gambar.
“Iyaaa...” Deka menyahut membalas suara ketukan pintu kamarnya.
“Astaga, nak! Saya kira kamu sudah berangkat ke kampus. Dua puluh menit lagi pukul enam. Kamu tidak ke kampus?” Kata ibunda Deka sedikit kaget melihat anaknya yang sedang duduk agak menunduk.
“Matilah saya...” Gumam Deka dalam hati setelah melihat jam. Sejak tadi, Deka memperkirakan waktu dengan berpatokan pada langit yang masih gelap. Jika ini dibahas dalam mata kuliah ‘metodologi penelitian’, maka langit gelap sebagai instrumen yang digunakan Deka untuk menentukan waktu akan dinyatakan tidak valid dan reliabel. Ibarat mengukur derajat cinta dan kasih sayang seorang suami melalui seberapa sering sang suami memegang tangan istrinya saat berjalan di pusat perbelanjaan. Sepuluh kali sang suami memegang tangan istrinya dari total sepuluh kali keduanya mengunjungi pusat perbelanjaan tidak mengerucut pada kesimpulan ‘sang suami sangat sayang kepada istrinya’.
Benar bahwa memegang tangan istri saat berjalan di pusat perbelanjaan adalah salah satu bentuk kasih sayang suami kepada istrinya. Tapi hal itu juga bisa jadi dilakukan suami supaya sang istri tidak singgah ke stand-stand yang tidak direncanakan, bisa jadi juga karena sang suami sedang oleng, dan masih banyak ‘bisa jadi’ lainnya. Demikian penjelasan Prof. Sugiyono dalam buku bertema penelitiannya.
Wajarlah. Deka kan belum pernah belajar tentang metode penelitian. Tidak lama lagi ia juga akan paham masalah ini.
“Kamu ini ketua angkatan! Kenapa terlambat???”
“Maaf, senior. Hujan.”
“Saya juga tahu ini hujan! Kalau gara-gara hujan orang-orang tidak bisa keluar rumah, maka sudah pasti saya tidak bisa berada disini tepat waktu.” Ujar sang senior yang lebih pintar bersilat lidah dari Deka.
“Saya siap dihukum, senior!”
“Kamu push-up di semak-semak dibalik tembok sana. Jangan sampai terlihat orang.”
“Berapa kali, senior?”
“Kamu terlambat dua menit empat detik. Satu menit sama dengan enam puluh detik. Enam puluh kali dua sama dengan seratus dua puluh. Seratus dua puluh tambah empat sama dengan seratus dua puluh empat. Push-up seratus dua puluh empat kali dibalik semak-semak sana. Kalau kamu sampai terlihat seseorang, itu akan jadi masalah baru lagi.” Perintah sang senior bercampur emosi.
Lagi-lagi, praktek seperti ini terjadi di Fakultas Bahasa dan Sastra. Tidak akan pernah hilang jika tidak ada kesadaran masing-masing pihak. Aturan bisa dilanggar. Hanya kesadaran individu yang bisa melenyapkan praktek kotor seperti ini.
“Delapan belas, sembilan belas, dua puluh... Baru dua puluh sudah berhenti. Bernafas sepuluh detik terus lanjut lagi.” Perintah sang senior.
“Sembilan puluh, sembilan puluh satu, sembilan puluh dua, sembilan puluh tiga, sembilan puluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan... Kamu ini jadi laki-laki loyo sekali. Tidak bertenaga.”
“Seratus dua puluh tiga, seratus dua puluh empat. Sudah! Cepat masuk barisan sana!”
Deka berlari terbirit-birit menuju lapangan. Ia merasakan lengannya seperti makin berotot. Kontraksi pada bahu, punggung, sayap dan dadanya juga dapat ia rasakan. Inilah harga yang harus dibayar atas ketidak-disiplinan Deka pagi ini. Salah sendiri, tanggung resiko sendiri.
“Kamu yang baru datang! Kemari!” Perintah kanda Farid dengan mata sedikit melotot.
“Siap, senior!”
“Alasan hujan, macet, bangun kesiangan, tidak saya terima. Apa alasanmu?” Tanya kanda Farid.
“Tidak ada alasan! Saya mengaku salah, senior!”
“Besok, Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-62. Kamu rayakan itu dengan mengucap sumpah mahasiswa enam puluh dua kali didepan teman-temanmu!”
“Sumpah Mahasiswa!”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan!”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan!” “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”
“Enam puluh satu...” Hitung seluruh mahasiswa baru dalam barisan dengan pakaian basah karena hujan.
“Sumpah Mahasiswa!”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan!”
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan!” “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan!”
“Enam puluh dua...”