Jumat pagi tertanggal 17 Agustus 2007, Deka masih berada di kediaman dekan Fakultas Olahraga - sosok yang rela nama Deka tertera dalam kartu keluarganya. Deka baru saja keluar dari kamar mandi. Masih mengenakan handuk berwarna terang yang kemarin pagi ia gunakan.
Perjalanannya dari kamar mandi ke kamarnya dilakoni dengan kepala tertunduk karena lelah memikirkan ‘hutang-hutangnya’. Sampai detik ini, Deka selalu merasa berhutang pada dirinya sendiri jika dalam sehari-semalam ia tidak membaca.
Setidaknya Deka telah berhasil memberi kesan berbeda dalam dua hari terakhir ini. Meskipun belum selesai satu buku yang berhasil ia tamatkan seumur hidupnya, setidaknya ia telah memulai apa yang seharusnya menjadi tugasnya. Bacaannya terhenti diakhir ‘Bagian 2’ dari buku yang ia gunakan untuk memicu dan memacu konsistensi membacanya. Masih buku yang tempo hari ia baca. Sayang sekali, hingga detik ini Deka belum menyadari bahwa penyesalannya ini sesungguhnya merupakan sebuah progres yang patut diapresiasi.
Deka telah berada pada level ‘tahu bahwa dia tidak tahu’. Ia telah menyadari ketidak-tahuannya. Berdasarkan diagram level pengetahuan, level ini berada diatas ‘tidak tahu kalau dia tidak tahu’ - level yang mengisi kasta terbawah; level para pemalas yang besar potensi berubah menjadi ‘sok tahu’; level para malas belajar tapi paling banyak bicaranya.
Sejauh ini, Deka kurang adil terhadap dirinya sendiri. Ia belum mampu melihat fenomena dari perspektif garis tengah yang netral. Jika pertanyaan retoris dan filosofis ‘apakah gelasnya setengah terisi ataukah setengah kosong?’ dicecarkan pada Deka, hampir pasti ia akan menjawab ‘gelas tersebut setengah kosong’. Para alim bijaksana akan mendiagnosa jawaban itu sebagai bentuk pesimisme karena jawaban itu fokus pada bagian gelas yang tidak berisi air - kosong. Padahal ada bagian yang berisi air yang takarannya sama dengan takaran yang tanpa air.
Diluar sana, para bijaksana biasanya mendiagnosa kecenderungan seseorang - apakah orang tersebut cenderung optimis ataukah cenderung pesimis - dengan memperlihatkan orang tersebut gelas kaca yang setengahnya berisi air dan setengah lainnya kosong. Selanjutnya, orang tersebut akan diminta untuk mendeskripsikan isi gelas kaca terisi setengah tersebut. Jika jawabannya ‘setengah berisi’, maka kesimpulan yang paling logis adalah orang tersebut fokus pada apa yang ada - bukan pada apa yang tidak ada. Ia akan memanfaatkan apa yang ada dan tidak menghiraukan apa yang tidak ia miliki. Sebaliknya, jika jawabannya ‘setengah kosong’, maka orang tersebut cenderung fokus pada apa yang tidak ada - padahal ada yang ada.
Air tentu saja hanyalah satu dari sekian banyak instrumen. Mungkin karena mudah didapat dan ada dimana-mana. Jika prof. Kis atau prof. Andi yang mendiagnosa, mungkin mereka akan menyodorkan gelas kaca setengah kosong dan setengahnya lagi berisi adukan bubuk kopi, air, dan susu.
Sosok yang namanya terpajang pada urutan teratas dalam kartu keluarga sejak tadi sudah meninggalkan kediamannya. Untuk kelas seorang profesor, salah satu harga dirinya terletak pada kedisiplinannya. Jelaslah prof. Andi harus sudah berada di lokasi tiga puluh menit sebelum seluruh mahasiswa baru tiba. Kharisma seorang profesor sangat mudah terserap oleh orang-orang awam, dalam hal ini mahasiswa baru, sehingga ia harus selalu tampil sempurna dalam segala kondisi - termasuk dalam hal-hal yang dianggap sepele oleh sebagian besar orang.
“Halo...”
“Iya, prof.”
“Tolong sampaikan kepada ketua penerimaan mahasiswa baru, kumpul mahasiswa baru disekitaran monumen pedamaian. Kita lakukan pembubaran panitia disana agar tidak terlalu dekat dengan mahasiswa dari fakultas lain.”
“Siap, prof.”
“Ooh iya, mengenai kelanjutan agenda kita, prof. Darwis meminta kita mengubah rencana. Eksekusi plan B.”
“Siap, prof.”
Upacara hari kemerdekaan Republik Indonesia akan dilangsungkan di pelataran depan gedung rektorat. Seluruh mahasiswa baru dari seluruh fakultas diwajibkan datang - terkecuali mereka yang punya uzur sakit atau sedang dalam kedukaan. Hanya dua alasan itu saja yang diterima pihak kampus. Demikian informasi yang tertera pada laman resmi kampus.
Jika sesuai agenda, upacara bendera akan dilangsungkan pukul 07.00. Meskipun demikian, para mahasiswa baru harus berada di lokasi pada pukul 06.00. Demikian halnya karena universitas tidak pernah mengagendakan geladi untuk mahasiswa baru. Nyaris sepekan ini mahasiswa baru sibuk berguru kepada senior-senior mereka.
“Ma, saya pamit ke kampus. Kemarin saya terlambat datang dan semua teman seangkatan dihukum senior gara-gara saya.”
“Hati-hati di jalan, nak. Tidak usah tergesa-gesa.”
Awan gelap tipis-tipis terlihat menggelantung di langit. Formasi mereka tidak kompak. Mereka nampak seolah membentuk kelompok dalam kelompok. Pagi yang tidak konsisten - karena menampakkan nyala bintang pada pasang mata telanjang di bumi - ini akan menjadi pembeda mereka yang berjiwa nasionalis dari mereka yang tidak. Detik ini, para nasionalis tentu sudah siap dengan atribut penghormatan mereka kepada Sang Saka Merah Putih; meskipun didalamnya terdapat sedikit, atau mungkin hanya beberapa, kaum munafik yang ikut upacara bersama keterpaksaan mereka. Mereka yang tidak peduli dengan nilai historis hari ini sebagian masih terlelap; sebagian lainnya yang telah terjaga banyak menunjukkan senyum karena mereka mendefinisikan 17 Agustus sebagai hari libur - tanggal merah orang-orang menyebutnya.
“Cek, satu, dua. Cek, cek, satu, dua. Baik. Disampaikan kepada seluruh peserta upacara bendera bahwa lima belas menit lagi upacara dimulai. Terima kasih atas perhatiannya.” Suara yang pasti milik seorang perempuan ini menggema keseluruh area upacara bendera.
Signifikansi ketenangan pagi ini cukup ekstrem. Tidak banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang - hanya terhitung jari saja. Karenanya, kehadiran polisi nampak mubazir. Mereka sama sekali tidak sibuk mengatur lalu lintas. Mereka juga tidak sedang menjaga kendaraan para peserta upacara yang terparkir rapi karena jarak mereka lumayan jauh dari akses keluar-masuk area parkir. Mereka hanya berdiri saja didekat para peserta upacara bendera. Sesekali mereka terlihat berkomunikasi menggunakan radio yang terselip di dada mereka.
Jiwa-jiwa pemilik raga yang berbaris di lapangan upacara larut dalam khikmad suasana pagi ini. Mereka terlihat sesekali gelap dan sesekali terang karena terselimuti bayangan awan yang silih berganti memayungi mereka. Awan pagi ini memang curang. Mereka menghalangi cahaya matahari untuk menjalankan kodratnya menerangi bumi. Cuaca seperti inilah yang kadang meresahkan ibu rumah tangga dan anak kost. Kalangan ini sering menjadi korban kekhawatiran akan jemuran yang mungkin lambat kering karena gangguan barikade awan yang curang.
Pagi ini, masing-masing dari mahasiswa baru terlihat canggung dan kaku - tidak terkecuali Deka yang sudah kapok datang terlambat. Mungkin efek dari lingkungan baru; mungkin karena melihat sosok-sosok yang tidak familiar dimata mereka; mungkin karena malu melihat kembaran mereka sendiri - berkepala plontos bagi laki-laki, model dan motif kerudung yang serupa bagi muslimah, dan rambut berkepang pita bagi yang tidak berkerudung; mungkin karena tak sanggup terlalu lama tersorot pancaran kharisma para profesor dan doktor yang berkerumun disekitar mereka; mungkin karena larut dalam sakralnya upacara bendera; mungkin karena kehadiran beberapa personel polisi; mungkin juga karena kombinasi dari yang mungkin-mungkin tadi.
Fenomena ini jelas hanya dirasakan oleh para mahasiswa baru saja. Berbanding seratus delapan puluh derajat, para senior terlihat sangat santai dan berbahagia. Mereka menunjukkan gaya interaksi seperti kerabat yang baru berjumpa setelah terpisah selama bertahun-tahun. Para dosen dan pegawai juga terlihat hanya berkumpul dengan yang sekasta dengan mereka. Tidak jauh dari lapangan upacara, pihak keamanan dari kepolisian berjaga meski tanpa undangan. Peserta upacara bendera pagi ini membentuk kelompok dalam kelompok - sketsa yang sama persis dengan gumpalan-gumpalan awan diatas sana.
“Lima menit menjelang pelaksanaan upacara bendera. Semua peserta harap masuk dalam barisan.” Suara perempuan tadi kembali menggema. Peringatan ini berhasil melebur kasta-kasta yang sebelumnya terbentuk secara alami kedalam satu kasta. Peserta upacara seolah menangkap kalimat itu sebagai perintah untuk mengamalkan sila ‘Persatuan Indonesia’. Mereka kini kompak menghadapkan wajah pada tiang putih yang sebentar lagi akan ‘dipanjat’ perlahan oleh sang saka Merah Putih.
“Persiapan pengibaran sang Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya.”
“Lapor! Pengibaran sang Merah Putih siap dilaksanakan!”
“Lanjutkan!”
“Lanjutkan!”
Semua jiwa tanpa terkecuali berada pada titik fokus tertinggi mereka saat mendengar sang saka Merah Putih akan segera dikibarkan.
“Kepada sang Merah Putih. Hormaaat grak!” Teriakan tegas ini mengakhiri penantian para peserta upacara.
Melihat sang Merah Putih bersiap untuk ditempatkan pada puncak tiang tertinggi, mata Deka terlihat sedikit basah. Ini bukan kali pertama ia merasakan fenomena ini. Cengeng? Sama sekali tidak! Sensasi haru ini memang selalu menghampiri saat ia mendengarkan lagu sakral berjudul ‘Indonesia Raya’. Saat lagu karya Truno Prawit dilantunkan, Deka menumpahkan beberapa bulir air matanya.
Dalam pembacaan amanat pembina upacara, pak Rektor berupaya menanamkan semangat membaca kepada para mahasiswanya. Pak Rektor menginginkan seluruh mahasiswa baru agar bisa menyerupai jejaknya saat ia mahasiswa dulu. Pak Rektor adalah mantan lulusan terbaik universitas. Tapi itu cerita puluhan tahun silam.
“Mencintai kamu memang menyakitkan, tapi mencoba melupakanmu seperti menciptakan penderitaan yang lebih menyayatkan.” Pak Rektor mengutip kalimat seorang penulis kaliber saat mencoba menggambarkan sakit dan perihnya menjalani hidup tanpa belajar. Tak perlu menyebut dari mana kalimat bijak tersebut dikutip pak Rektor. Orang-orang sudah punya Google yang katanya tahu banyak hal.
“Mencintai ilmu dan pengetahuan memang sakit dan menyakitkan. Butuh usaha dan upaya yang serius, butuh konsistensi, dan terkadang butuh pengorbanan yang tidak main-main. Namun mencoba melupakan ilmu dan pengetahuan perihnya jauh lebih menyayat. Seirama dengan pendapat Aristoteles bahwa ‘pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis’. Berpendidikanlah bagaimanapun modelnya.” Lanjut pak Rektor.
Terhitung jari saja yang bisa mengendus jiwa puitis pak Rektor. Dalam kesempatan ini, ia akan melantunkan bait-bait yang ia rangkai dalam pesawat diatas kursi nomor 14 saat perjalanan pulang dari ibu kota tempo hari.
Kalau kata seorang pramugari yang bertugas dalam penerbangan itu, unit yang ditumpangi pak Rektor memiliki nomor kursi ‘4’, ‘14’, dan ‘24’. Pramugari itu juga mengungkap bahwa bos maskapai yang ditumpangi pak Rektor tidak percaya pada interpretasi pada angka atau pada kombinasi angka. Tapi pak Rektor heran. Jika benar demikian, nomor kursi ‘13’ seharusnya tidak diganti dengan ‘12A’.
Keberuntungan atau kesialan yang diidentikkan pada angka atau kombinasi angka tertentu adalah contoh kesalahan berpikir yang disepakati. Kesalahan yang disepakati akan nampak sebagai kebenaran. Mengenai masalah ini, ‘kesalahan berpikir yang masif dan terstruktur’ pak Rektor menyebutnya.
Fenomena ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk keanehan yang nyata sekaligus kenyataan yang aneh. Tidak bisa dipungkiri bahwa takhayul ditengah modernitas memang nyata adanya. Kabarnya, praktek seperti ini juga diyakini orang-orang Eropa dan Amerika yang tingkat modernitas mereka jamak diketahui jauh diatas orang-orang Asia.