"Meja Kerja Ayah"

Ade Zul Affandi
Chapter #1

Melihat Itu Menjadi Awalnya?

“Saya nikahkan, anak kandung saya, Sofiyyah Binti Lukman Hakim dengan mas kawin tersebut tunai!”. Mungkin itulah kalimat yang ada dalam khayal para ayah dalam setiap langkah yang membedakannya dengan gerak benda hidup lain di panggung dunia ini.

Tidak berbeda tapi tak serupa, karena bentangan angan itu hadir pada saat Lukman terperosok jauh pada jurang kesedihan. Jatuh tertelungkup di lembah yang mengalirkan air mata dari mata air, tanpa awalan terlihat, karena sungguh! melihat itu menjadi awalnya.

“Ayah pembohong!!!”

“Aku marah sama ayah!!!”

“Aku kecewa sekali sama ayah!!!”

“Aku gak mau punya ayah kayak gitu!!!”

“Aku nyesel punya ayah!!!”

Teriak Sofiyyah yang berdiri tegak diatas kuda-kuda kokoh sepasang kaki panjangnya. Dengan kelopak mata terbuka lebar seperti kawah yang ingin menerjunkan laharnya dari puncak tinggi menuju dua dataran landai lembut mata Lukman. Tak berjarak, kecuali satu telunjuk diantara mereka berdua.

“Ppprrraaakkkkkkkkkkk....!!!”

Retak, hancur tak terhitung perasaan itu. Seperti cermin memeluk bongkahan karang tajam yang terlepas melaju dari kepalan tangan, bukan satu, bukan! Tapi keduanya. Namun, apa kemudian? Tiada bergeming apalagi teriak, melainkan senyum paling luas bagi beratnya pikulan beban tanpa wujud di pundak Lukman.

Dia mencoba tenang menghadapi anak semata wayangya Sofiyyah. Bidadari kecil yang dirawat, dibesarkan dan dijaga sendiri oleh Lukman dengan penuh tanggung jawab. Semua bait kehidupan yang dijalaninya setelah Zawiyyah istri tercinta sepanjang masa, kembali kepada sang Pencipta.

Dia menarik nafas, terengah-engah, karena baru saja meletakkan sepeda tua yang berhiaskan lelunturan warna terkelupas seperti kain dengan robekan lebih dari biasa. Tanpa diminta, tiada janji setia, dan tak disadari, bahwa sepeda tua itu kini telah menjadi sahabat sejati Lukman, teman membelah jalan hidup.

Belum juga sempurna sandaran sahabatnya itu. Sandaran pada pancangan sebatang tiang dipertigaan, antara dua lorong minim cahaya yang tengah menjemput senja. Namun, Lukman berusaha menjadi biasa...,

“Huhhffffffh....”

Lihat selengkapnya