Jakarta, tiga belas juli dua ribu empat belas tepat pukul sembilan pagi menjadi hari yang berbeda dari hari-hari lain yang rutin dijalani oleh wia.
“Ma..wia mau keluar sebentar boleh?”
“Anak mama cerah banget mukanya, emangnya mau kemana nak?”
“Ke Cengkareng ma.., jemput mas Lukman”
“Lending jam berapa dia?”
“Eemmmmmm..., wia ga tau ma karena mas Lukman ga ada kasih tau wia jamnya”
“Lohhh, kamu ga ada telpon dia nak?”
“Udah ma..tapi engga aktif, makanya Wia mau langsung susulin aja ke bandara”
“Taksi online udah engga ada lagi ya di Soeta? Sampai kamu merasa takut Lukman nyasar gitu?” tanya seorang mama menggoda anak perempuannya yang sedang jatuh cinta.
“Isssss..mama ini pun”, senyum tersipu malu Wia menghiasi make up natural sederhana di wajah sendunya yang berbalut hijab berwarna peach itu.
“Haduhhh...haduhh, jadi karena panik nih? atau engga tahan kangen? Sampai-sampai anak mama jadi engga logis gini. Kalau engga ada kejelasan informasi, kamu mau ngapain di bandara nak?”
“Iya ma..iya, sambil jalan ke bandara Wia coba hubungi terus mas Lukman nya, boleh ya ma..boleh ya..”. Harap Wia.
“Yaudah kalau kamu maksa, emang susah nih anak zaman sekarang, beda sama zaman mama dulu.”
“Alhamdulillahhhh...yeeeaaaaayyyyy, Wia jalan ya ma”
“Ehh...tunggu dulu nak, kamu engga mama bolehin pergi sendiri”
“Ardan..” panggil mama Wia kepada anak sulungnya yang sekarang menjadi satu satunya lelaki dirumah keluarga itu sepeninggal almarhum ayahnya.
“Iya ma..” jawab Ardan.
“Mama minta tolong antarkan adikmu yang lagi kasmaran ini ke bandara”
“Siappp laksanakan komandan mama”.
Suasana pagi itu sontak menjadi semangat bagai riak dari suporter kesebelasan sepak bola yang menatap laga final untuk gelar pertamannya, setelah penantian panjang yang tak terlukiskan. Para pengamat mengutarakan prediksi, siapakah yang akan menjadi juaranya? berapa skor akhirnya? bagaimana formasinya?.
Wia melangkah dari ruang tengah rumahnya dengan gaun bersih berwarna peach salem, senada dengan hijab dan tak sedikitpun memunculkan bentuk tubuh yang dijaganya. Tanpa perhiasan kecuali ransel kecil cokelat bermotif kotak yang manja dalam gendongan belakangnya.
Kenapa??? karena Wia diajarkan almarhum ayahnya bahwa perhiasan dari ukiran permata besar itu adalah dirinya sendiri, kata-kata baik, akhlak mulia cerminan hati yang indah.
Perhiasan itu bukan aksesoris yang tegantung pada sebuah paku dinding toko. Bukan juga yang tergeletak di etalase dengan kaca bening transparan. Agar dapat dipandang bagi yang melintas, dan berharap dilhat untuk singgah.
Perhiasan itu tidak ingin dilihat, menghindar dari pandangan. Pandangan yang belum tentu baik, dan umumnya memang tidak baik. Tidak mencari, melainkan dicari dengan digali, payah, susah tapi tiada putus asa bagi mereka yang memiliki tafsir atas nilainya.
Apakah setelah berhasil ditemui perhiasan itu langsung memancarkan kilaunya? Tak akan!! kecuali sedkit, hanya sebagai tanda. Apa karena kurang nilainya? Bukan! Justru tanda itu menunjukkan kemewahannya. Jangan sesekali terpukau dengan aksesoris. Awas!! Bukan itu perhiasannya.
Sangat sering sang ayah menasehatinya dengan kelembutan, pelan dan suara rendah. Sehingga tertanam dengan akar yang mengebor tajam pada diri wia. Tidak menggurui karena sang ayah lebih memahami. Diskusi, iya diskusi, itulah cara yang menjadikan Wia dan ayahnya seperti dua ilmuwan yang sedang mencari sebuah kesimpulan.
Langkah pertama seakan berat tapi rasa hati mengatakan ini ringan agar semua berjalan cepat. Tanpa menghiraukan, Wia melangkah untuk langkah yang kedua. Namun tangan kiri bergerak berusaha menggapai tas kecil itu, untuk memudahkan jemari tangan kanannya menggapi handphone yang bergetar dan sedikit mengagetkannya.
Belum sempat wia menjawab pangilan masuk itu, handphonenya sudah berhenti bergetar dan tidak mengagetkannya lagi. Hanya misedcall rupanya, dia melanjutkan langkah sambil tangannya membawa kembali handphone itu kepada tempatnya.
Belum juga bersemayam handphone itu di tempat yang dituju. Matanya juga masih menatap tas kecil itu, dengan ruas leher yang tertunduk dua puluh lima derajat. Namun indra pendengarannya merasakan sebuah panggilan dari arah luar pintu.
“Assalamualaikum.......”
“Assalamualaikum.......”
“Assalamualaikum.......”
Samar-samar dirasa Wia, tapi sangat jelas setiap kata yang terbawa udara keruang dalam rumahnya. Setidaknya cukup bagi dia untuk mengetahui bahwa ada orang yang sedang berdiri dibalik pintu, menunggu dibukakannya gerbang untuk tatap wajah, tapi tidak memaksa.
“Duhhh.....apa lagi sih ini???”
“Bukan maksud tidak mengindahkan tamu, apalagi menolaknya. Tapi waktunya seperti kurang pas...”
“Haduhhhhh.....gimana nih? Mudah-mudahan engga nyari aku...Huhhhhh”.
Gusar hati wia dengan geming suara kecil karena takut terdengar seseorang. Tapi tidak satu orang sepertinya. Melainkan lebih dari dua. Karena setelah ucapan salam tadi, ada sayup gelombang suara beberapa orang sedang berbicara yang berhasil ditangkap oleh gendang kecil telinga Wia.
“Waalaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh”
“Iya Sebentar.....”
Sambut Wia, mencoba merespon lembut salam yang entah dari siapa, belum tentu dikenalnya tapi dia berusaha menyambut yang belum tentu ingin disambut. Kenapa bisa? Karena akhlak yang membimbing Wia menjadikan tamu bagai raja yang mendatangkan berkah dari hal yang tak diduga-duga.
Sedikit dipercepat langkahnya oleh Wia ditengah konsentrasi yang masih terpecah. Diantara membuka pintu rumah dengan sesegera mungkin, atau pergi menjemput rindu ke bandara.
“Bismillah, satu persatu dilakukan pasti bisa selesai juga”. Jiwa Wia berkata untuk memotivasi dirinya sendiri yang dilanda dilema.
Satu langkah jarak antara Wia dengan daun pintu berwarna putih itu. Tangan lembutnya mulai menyentuh ranting dari daun pintu tadi, dan satu persatu jemari mulai menggenggamnya erat.
“Ggggeeeerrrrrrkkkkkkkkk.........ggggerrrkkkkkkkkk”