Tangan kanan lentik Wia tanpa kuku-kuku jari yang panjang, apalagi coretan warna-warni. Bergerak seolah mengadu domba antara sendok logam kecil dengan sisi lengkung gelas kaca. Tidak untuk gaduh, bukan juga karena rasa ingin tahu siapa yang paling keras. Apalagi mencari satu kehebatan dari dua hal yang memang berbeda??? Huhhh, najis!!!. Bukan itu pastinya.
Tidak bijak jika bersembunyi dibalik tangan-tangan lembut namun untuk buat gaduh dari mengadu. Wia dengan hati dan perlahan, menjadikan setiap adukan dari minuman hangat itu seperti ketajaman yang menelanjangi air. Agar lepas dari beningnya dan berganti warna baju karena telah menyatu dengan biji-biji kecil dari kebun kopi.
Ting..ting.., sayup terdengar suara itu. Jika sepasang telinga yang menggantung pada dinding putih lainnya terjaga untuk mendengar. Suara yang menjadi latar belakang tak terlihat dari pertanyaan-pertanyaan pada sebuah pertunjukkan.
Pertunjukkan apa? Drama musikal? Atau opera yang tujuannya untuk menghibur, dan menjadi rasa puas ketika orang lain tertawa terbahak-bahak, gitu???!!! Palsu, bukanlah!!! Tidak ada terbesit, tergores, terfikir atau apapun itu namanya dalam diri Lukman.
Hebat!!! Semua awam tiba-tiba dengan sekejap mengubah dirinya menjadi peramal?? Pembaca mantra?? Dengan bola kaca atau wadah air yang menjadi alat bodoh untuk mengelabui siapapun yang menjadi tamunya. Tamu yang datang membawa bekal kebodohan itu sendiri.
Cintalah yang menjadi kekuatan tidak terukur. Mendorong seorang pria bernama Lukman untuk memastikan kehadiran hati, jiwa dan raganya bukan dengan kepalsuan. Tidak juga dengan kebodohan untuk membodohi. Melainkan rasa tanggung jawab untuk berusaha menuju kesempurnaan agamanya.
Hah.., klise!!! Apa buktinya? Seperlu itukah???!!! Dasar “buta”. Semua itu bukan meja hijau buatan pengadilan dunia, yang menjadikan apa yang terlihat jelas menjadi samar. Tidak jarang juga menjadi seperti tak pernah ada.
Parahnya lagi, ditengah keganjilan yang dianggap lazim itu. Munculah pesulap dengan muslihat recehannya berparade seperti perayaan hari besar bagi anak kecil takjub terperangah melihat rombongan yang sebenarnya lucu menggelitik. Tapi hanya untuk yang mengerti.
Bagi yang tidak? Pastilah mereka diam, seolah menumpahkan semua kosentrasinya pada kertas-kertas dari ribuan kumpulan halaman. Seperti menjadi laboran yang fokus di dalam laboratoriumnya. Padahal sesungguhnya mereka telah “dibutakan” senda gurau dunia.
Tunggu sebentar, tunggu!!! Jika jenderal hebat melihat kehadiran Lukman pada hari itu, tiga belas juli dua ribu empat belas, pastilah tidak akan beranjak. Melihat kesungguhan jika memang ingin melihatnya. Apa boleh rasa itu dilihat? Sementara rasa itu ada di hati, dan pemilik hati itu adalah penciptaNya.
Jangan itu yang ingin dipahamkan. Karena Jenderal, Hakim, atau petinggi manapun sama-sama menyadari bahwa semua makhluk itu luput dari kesanggupan. Bukankah makhluk itu kuat? “goblok” jangan tertipu dengan bisikan yang menjerumuskan. Apalagi dijerumuskan oleh perasaan itu sendiri. Karena semua diberikan kebebasan sebagai tuannya.
Lukman tidak datang!!! Kecuali dengan ayah kandungnya yang sudah memasuki usia pensiun sebagai dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Kampus yang terletak di dekat selatan Jakarta, Cempaka Putih, Ciputat Timur tepatnya.
Usia boleh membawa beliau sampai pada batas akhir dari profesinya. Namun pengabdian menjadikannya tidak berhenti pada batasan waktu buatan manusia untuk terus belajar. Kenapa belajar? Bukankah beliau telah terhenti? Belum, karena mengajar adalah bagian dari belajar baginya.
Prinsip yang dipegang teguh hingga mengakar dalam jiwa Burhanuddin Wahyudi. Ketika ditanya apa komentar pertama dari muridnya? Maka jawaban pertama adalah keras!!! Sepertinya tidak sama dengan apa yang disampaikan oleh orang-orang yang merenunginya. Apa karena mereka mengasihinya?
Kenapa mereka bertanya, apa karena tidak pernah mengambil pelajaran! Tapi itu tidak salah dan bukan untuk menyalahkan. Bukankah banyak tikus dikejar, dipukul, bahkan diracun karena dianggap salah? Atau mata itu pernah melihat seekor nyamuk kecil dengan belang putih di bagian buntutnya diusir, disalahkan?
Menjadi penyebab utama dari masalah kesehatannya!!! Parasit yang menjelma menjadi kreator perusak pertahanan dari sitem kebersihan. Sebuah sistem terbaik seolah tak akan ada yang sanggup menyusup kedalam apabila benteng itu kuat.
Hanya anggapan yang ingin merubah kutub negatif menjadi positif. Iya, hanya anggapan dan tak lebih! Cobalah untuk melihat apa yang ada di balik layar panggung besar dan megah itu. Sehingga mata polos bening yang putih dominan, tidak terbius oleh anastesi dari judul ceritanya saja.
Setelah mencoba, sekarang lihatlah apa yang bisa didapat. Bisakah menerkanya sebelum ini? Ya tidaklah pasti! Buka jendela fikiran agar dapat menerima kenyataan bahwa tikus mendatangi tempat yang jorok, kotor dengan sampah yang diciptakan sendiri dengan pernak-pernik.
Apa yang mereka sukai, setelah dirasa tidak butuh lagi. Dicampakkan dari jarak dua kaki, kadang tak berjarak dan itu lebih sering, karena pekat sudah rasa benci setelah puas dipakai. Padahal rasa benci yang menjadi kertas undangan dengan motif ukiran tinta emas yang mendatangkan tikus-tikus itu. Tanpa rasa bersalah, semua menyalahkannya padahal mereka yang mengundang dengan hormat.
Belum diberitahu atau tidak mau tahu? Tidak mendapat pelajaran atau tidak mau belajar? Ketika ada rasa sakit, lalu mencari pelampiasan atas ketidakpekaan. Bukankah sudah diajarkan bahwa wadah itu sangat dianjurkan untuk ditutup? Ketika tangan bergerak menutupnya maka mulut diminta memohon pertolongan. Dari siapa? Dari Tuhannya dengan cara menyebut namaNya.
Kesimpulan demi kesimpulan hadir tanpa terkonfirmasi kebenarannya. Ya begitulah, padahal rasa tanggung jawab pada diri ayah Lukman yang menjadikannya begitu menginginkan kebaikan pada setiap orang yang mendengarkannya. Karena pemahaman runtut dan berurut yang menjadikannya takut akan pertanggung jawaban bagi setiap lisan yang diucapkannya dalam pengajaran.
Pada lisan saja begitu besar ketakutannya, apalagi ketika sudah memasuki ranah dari ruang lingkup perbuatan. Tentunya lebih besar lagi setiap rasa takut itu hadir membayangi, mengikutinya seperti menjadi buntut ketika sepasang mata melihat tulang belakang berjalan dengan empat kakinya. Tetapi bagi yang tidak memahami, maka kata keraslah yang menjadi jawabannya.
Siang itu, ayah Lukman menjadi paragraf pertama dari rangkaian kata-kata dalam sebuah dialog yang tersusun panjang, rapih.
“Gimana kabarnya ibu sekeluarga? Mudah-mudahan sehat semua ya”
“Alhamdulillah sehat pak, semoga bapak sekeluarga juga dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan Allah. Aamiin”
“Aamiin ya Rabb” timpal Lukman sekeluarga menyambut pernyataan mama Wia.
Tidak lama kemudian, Ardan yang merupakan abang kandung Wia terdengar melangkah dari arah luar rumah. Lebih tepatnya garasi mobil menjadi hulu tempatnya beranjak. Melangkah seperti derasnya air yang mengalir dari hulu ke hilir.
Menuju ruang tamu untuk melihat pemandangan yang tidak ada dalam majalah destinasi wisata maupun agen perjalanan. Pemandangan dari sebuah keharominisan nada-nada irama kehidupan. Setelah dia mengetahui atas pembatalan keberangkatannya menuju bandara bersama Wia. Ardan pun langsung meleburkan dirinya dalam adukan semen yang harmonis itu.
“Assalamualikum”
“Waalakumussalam warahmatullah wabarakatuh”. Serentak jawaban siapapun yang ada di sisi dalam rumah bagai paduan suara tanpa komando.
Ardan pun langsung menunjukkan senyum lebar bersahabat. Khas dari masyarakat dengan tata krama santun sebagai bentuk budi pekerti. Tak tunggu lama, apalagi tiupan dari terompet untuk aba-aba. Ardan langsung mengarahkan keningnya untuk mendarat pada bagian luar tangan ayah Lukman.
Sedikit membungkukkan badan sebagai isyarat tak ada ketinggian hati yang terpancang di jiwa Ardan. Sejengkal demi sejengkal telapak kakinya bergeser dari perhentian pada Ayah Lukman untuk menuju pada ibunda Lukman. Masih sama, Ardan mengarahkan keningnya dengan menukik tajam ke bagian luar dari tangan ibunda Lukman.
Seperti sepasang capung cantik yang hinggap di ujung batang daun hijau dengan ujungnya yang sedikit menguning. Ardan langsung menempati sofa yang kosong. Kosongnya bertepatan di sebelah mama Wia, yang tak lain dan bukan adalah mama kandung Ardan juga.
“Ini nih, anak lajang paling ganteng dirumah kami.” Mama Wia membuka perkenalan yang menjadi prolog dari bagian cerita selanjutnya.
“Mama bisa aja, mentang-mentang Ardan belum ada wanita yang mau di taarufin”
“Hahahahahahaha”.
“Mungkin Ardan banyak milih bu, ya kan Ardan?”
Ayah Lukman menjadi pembela di tengah suasana canggung yang dirasakan Ardan. Suasana seperti pidato pertama ketua organisasi remaja yang kehabisan kata tanpa tersisa, kecuali senyum.
“Hahaha, bapak bisa saja. Gimana mau milih pak? Yang dipilih juga engga ada”
“Hahaha, memang Ardan ini anak muda yang rendah hati”. Tutup kalimat ayah lukman yang menjadi pembuka dari kalimat-kalimat selanjutnya.
“Jadi begini bu Nuri dan Ardan. Mungkin ada pertanyaan dari ibu sekeluarga, kenapa tiba-tiba kami sekeluarga datang. Padahal Lukman juga baru saja lending dari Lund, Swedia”.
“ Ehh, ada yang bertanya-engga ya Yah? Takutnya kita aja yang terlalu percaya diri”. Sambung ibunda Lukman.
“ Hahahaha....”
Suasana yang sangat nyaman, sejuk dan menenangkan. Seperti pagi yang datang setelah malam dengan membawa suara kicau burung. Kicauan yang seolah menjadi alaram dari jam dinding tua dengan suaranya yang jelas tapi tidak memekakkan telinga. Padahal tanpa ada tambahan suara apa pun kecuali hembusan angin.
“Apa pun alasannya, kami sekeluarga insyaAllah percaya niat bapak sekeluarga baik”
“Aamiin, insyaAllah”
“Jadi begini ibu dan Ardan. Saya selaku ayah Lukman, dan tentunya mewakili keluarga besar kami. Ingin menyampaikan bahwa Lukman punya niat yang insyaAllah baik yaitu ingin melamar Zawiyyah putri ibu untuk dijadikan istrinya”
“ Alhamdulillah”
Terdengar semua yang hadir di saat “penodongan” itu mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhannya. “Penodongan” yang mengagetkan dan sangat mengejutkan itu. Bagaimana tidak? Rasanya baru saja ingin menyambut tamu yang sudah lama tidak bertemu, ingin merajut tali persaudaraan secara langsung karena biasanya hanya lewat udara dan momen berbeda.
Namun kali ini, terasa lebih bermakna. Makna yang hadir karena kesungguhan hati seorang pemuda sederhana karena ingin membuktikan sesuatu yang mulia tanpa perjanjian. Justru kebanyakan perjanjian palsu dunia tanpa ada pembuktian. Indah memang tapi palsu, cantik, harum, tapi buatan bukan ketulusan dan itu bukan Lukman.