Bersandar Lukman, terperangah, mengadah kearah langit yang terhalang oleh atap rumah sederhananya. Mengingat garis awal dari lari panjang tanpa perlombaan atas lintasan hidup yang tak pernah ada kepastian didalamnya. Kecuali mati dari hidup itu sendiri. Kecuali arah barat yang menjadi lantai licin yang menggelindingkan matahari ke tempat tenggelamnya. Tak terkecuali juga untuk waktu yang tidak bisa dibeli apalagi kembali.
“Sofi..Sofi.., buka pintu kamarnya nak. Kalau ada yang Sofi rasa mengganjal dihati kan bisa diobrolin sama ayah nak”.
Beegitu harap, begitu pula tiada jawab yang didapat Lukman. Kembali merenung setelah tiga kali mengetuk pintu kamar itu. Pintu yang tak kunjung mendapat udara dari ruangan lainnya karena rapat tertutup, terkunci karena rasa yang sama sekali tidak diperlukan bagi racikan mangkuk sup antara anak dan ayah.
Lemas terduduk Lukman mendapati panggilan yang tanpa jawaban. Kembali matanya berkaca tanpa bingkai. Kaca yang dibentuk oleh air mata. Namun air mata itu seolah menjadi pelepas dahaga yang menglir ke tenggoronkan kering seorang musafir tua di tengah gurun tanpa kemah apalagi kuda.
Karena ingatan Lukman yang menjadi pemutar rasa sedihnya menjadi senyum. Karena membawa dirinya pada masa awal rumah tangganya dengan Wia. Mengingat masa-masa ketika dia mendapatkan handphonenya berdering.
“Hallo, Assalamualaikum”
“Lukman, kamu bisa pulang sekarang?
“Sekarang??? Lukman lagi presentasi ma”
“Mana yang lebih penting, presentasi atau kelahiran anakmu???”
“iya ma iya…”
Sangat melekat ingatan Lukman pada kejadian itu. Disaat dia sedang melakukan presentasinya atas program pemberdayaan yang pertama digagasnya. Maklum saja, ketika itu Lukman baru saja diangkat menjadi Manajer di bagian Humas pada Perusahaan Tambang Minyak Milik Negara.
Ketika dia baru memulai bagian ke lima pada paparannya tentang pemberdayaan masyarakat prasejahtera, di dekat tambang yang sedang dikelola oleh perusahaan itu. Perubahan konsep dari program Corporate Social Responsibility (CSR) yang biasanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat fisik, bangunan atau infrastruktur. Kali ini Lukman mengubahnya dengan pemberian modal usaha dan pendidikan bagi masyarakat.
Karena bagi Lukman, membangun manusia itu harus berorientasi pada manusia itu sendiri. Seperti pembangunan dibidang pendidikan. Dalam hal ini Lukman berfokus pada minat belajar bukan hanya bangunan untuk belajar. Lukman juga tidak ingin memberikan bantuan CSR yang dapat memunculkan rasa ketergantungan masyarakat atas sebuah bantuan, melainkan bantuan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan produktivitas. Melalui program yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat prasejahtera itu sendiri, dengan bantuan modal usaha yang disertai dengan edukasi untuk berwirausaha.
Setelah mendapat panggilan dari ibundanya, Lukman pun langsung pamit kepada semua yang hadir di dalam ruangan itu. Tentu saja ruangan itu disesaki penuh oleh orang-orang yang menjadi pemangku kepentingan dengan posisi strategis. Namun bagi Lukman, keluarga tetaplah menjadi prioritas. Tidak ada hal yang mampu mengubahnya kecuali takdir dari sang pencipta.
Tanpa ragu dia pun langsung menuruni anak tangga yang berjumlah tujuh puluh lima pada setiap lantainya. Tidak satu atau dua lantai. Lukman menuruni delapan lantai dengan setengah berlari untuk bergegas menuju pintu utama kantornya. Agar mendapatkan kendaraan yang bisa ditumpangi untuk mengantarkannya ke Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun.
Sedikit kebingungan! lalu muncul rasa penyesalan pada dirinya. Karena pada hari itu, dia meningglkan mobilnya di bengkel resmi untuk melakukan service rutin setiap bulannya. Kepanikan tentu saja menjadikan Lukman susah berfikir jernih. Melihat ke kanan, melihat ke kiri tidak ada satupun yang dikenalnya untuk menjadi pemecah kebuntuannya.
“Haduhhh.., gimana ya?? naik apa nih?? Dari sini ke Rumah Sakit Persahabatan lumayan juga jaraknya. Belum lagi ini hari senin, pasti macetnya minta ampun.
Tiba-tiba ide itu muncul seketika. Setelah Lukman melihat bajai lewat di depannya dengan tanpa penumpang. Seperti lampu pijar yang mendapat pasokan listrik dari sumber yang tak diduga. Kontan Lukman berteriak memanggil bajai..bajai. Namun karena kebisingan suasana kota, sepertinya supir bajai itu tidak mendengar teriakan Lukman.
Sampai Lukman harus sedikit menaikkan volume suaranya namun tetap sama hasilnya tanpa perubahan. Bajai nakalnya masih lancar berjalan seperti tanpa tanda-tanda akan berhenti. Melihat kondisi itu, Lukman tidak tinggal diam karena tak ingin melewatkan momentum yang mungkin hanya akan terjadi satu kali. Karena tidak ada lagi kendaraan yang dapat mengantarnya dengan cepat pada saat itu.
Tanpa merisaukan sepatu kulit hitam mengkilapnya, Lukman pun berlari sambil berteriak bajai..bajai..bajai!!! barulah supir bajai itu mengehentikan lajunya dan menoleh ke arah Lukman, sambil menatap dengan tatapan heran.
“Nyantai aja kali bang, engga usah teriak-teriak”
Lukman pun memasang wajah tidak kalah heran dari supir Bajai itu. Namun dia tidak ingin menghabiskan waktu dengan saling menatap antara dia dan supir bajai.
“Kerumah Sakit Persahabatan ya pak, harus cepat terserah mau jalan dari mana”
“Siappppp”
Mengarungi kemacetan Jakarta pada hari senin, merupakan sesuatu yang banyak orang hindari. Tapi Lukman berbeda dari kebanyakan, karena situasi yang seakan ingin menguji perjuangannya. Namun ujian itu bukan apa-apa bagi Lukman, dan memang hanya bagian kecil dari ujian besar yang sudah menunggunya.
Tidak tau bagaimana caranya, tanpa dirasa lama atau karena kegusarannya. Lukman tiba di depan rumah sakit. Dia langsung berlari menuju pintu utama agar bisa segera sampai di ruang persalinan. Tiga langkah hampir berlalu, supir bajai pun meneriaki Lukman.
“Bang…ongkosnya belum!!!”
“Astagfirullah…, iya..iya maaf pak”
Lukman bergegas kembali dengan merogoh saku celana dan dipatinya dua lembar uang kertas disitu. Tanpa melihat angka pasti yang berada di sisi kiri dan kanan uang kertasnya, Lukman pun langsung memberikan pada supir bajai.
“Kebanyakan nih bang”
“Udah ambil aja pak, maaf ya saya buru-buru bukan niat engga bayar kok pak”
Tanpa menunggu jawaban dari supir bajai itu, Lukman kembali memacu langkah dari sepasang kakinya. Seperti kuda liar yang dipaksa mencari kandang dengan jerami kering. Lukman bertanya kepada siapapun yang dilihatnya, dimana ruang persalinan. Sambil matanya menatap ke berbagai penjuru untuk menentukan arah.
Dalam dasar arus dari kebingungan itu, Ardan datang menepuk pundak Lukman.
“ Man, ayo disebelah situ ruangannya”
“Alhamdulillah..”
Mereka pun menuju ruangan itu dengan rasa yang menjadikan Lukman sedikit lebih tenang namun belum lepas. Karena setibanya dia didepan pintu ruangan, terdengar jeritan Wia yang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hatinya. Bukan lagi keringat, darah pun menjadi pemandangan yang biasa di ruangan hebat itu.
Lukman langsung memaksakan dirinya untuk masuk. Agar dapat mendampingi pahlawan sejati yang tiada tandingan perjuangannya. Setiap tetes darah atas perjuangannya menjadi jalan bagi kehidupan baru yang sebelumnya hanya terkurung menunggu. Rasa tanggung jawab menjadikan Lukman kuat untuk menjadi navigator bagi pengemudi kuda troya besar itu.