Bagi Lukman, kehidupannya selalu menjadi kehidupan yang baru. Setiap langkah adalah maju, bukan untuk mundur. Tidak berarti melupakan apa yang dibelakang, justru dia sangat memahami bahwa hari ini tak akan pernah ada tanpa hari kemarin. Diri ini tak akan pernah ada tanpa dirinya.
Menjadi ayah dan ibu bagi Lukman tidaklah mudah. Apalagi kondisi pekerjaan yang menjadikan Lukman berada di puncak karir. Hemmm, puncak karir. Iya itulah sebutan yang sering diucapkan para pemuja jabatan. Melihat seorang pria sukses dengan pengalaman, jabatan, penghasilan yang mumpuni untuk hidup di ibukota.
Banyak tawaran. Mungkin tepatnya bukan banyak, tetapi sangat banyak. Tawaran ataupun ajakan untuk menikah lagi. Tidak itu saja, tawaran jabatan baik di kantor pusat maupun menjadi pimpinan di anak perusahaan yang berada diluar negeri silih berganti masuk ke laci meja kerja Lukman.
Hasrat selalu ada menghantui Lukman, godaan tidak berhenti. Seperti nyanyian burung merpati di pagi hari yang mengiringi langkah-langkah hamba dunia. Apa Lukman mampu? Memang Lukman tidak sekuat karang yang berdiri tegak, menantang ombak sewaktu tiba di pinggir pantai. Namun dia tetaplah Lukman. Ikatan janji kepada seorang wanita bernama Zawiyyah yang menguatkannya. Bahkan lebih kuat dari awal pertemuan mereka.
Satu hal yang dijaganya adalah titipan paling berharga. Menjadi amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan sekedar basa basi dari kebusukan dunia yang dijalaninya. Syukurnya, Lukman dibantu oleh kedua orang tua dan ibu mertuanya. Membantu untuk merawat dan membesarkan putri yang menjadi buah cinta dari ikatan janji sucinya dengan almarhum Wia.
Sehingga dia masih bisa membagi antara waktu bekerja dan waktu untuk Sofiyyah. Meskipun hati kecilnya menyadari bahwa tidak mungkin akan selamnya seperti itu. Semakin tumbuh besar putrinya maka semakin banyak waktu dan perhatian yang dibutuhkan. Karena bagi Lukman anak tidak hanya tumbuh tapi juga berkembang.
Maka lukman tidak cukup hanya memikirkan hal yang bersifat fisik untuk buah hatinya itu. Bahkan Lukman terlihat lebih fokus pada perkembangan Sofiyyah. Menjaga perhatian, tutur kata, hingga mimik wajah pun sangat dijaga Lukman ketika di depan putrinya Sofiyyah.
Bukan Lukman yang iba pada dirinya, melainkan ibu mertua yang memintanya untuk mencari pengganti Wia.
“Udah la nak, ibu tau kamu sangat cinta dengan Wia. Tapi ibu enggak tega kalau kamu harus jadi ayah juga jadi ibu untuk Sofi. Carilah pengganti Wia, ibu ikhlas”
“Kemanapun Lukman cari bu, enggak akan ketemu dengan pengganti Wia. Karena bagi Lukman Wia enggak akan pernah terganti”
Air mata selalu menghiasi siapapun yang berbicara tentang Wia kepada Lukman. Rasa tanggung jawab dari cintanya kepada Wia begitu besar. Jika ada pengandaian yang mendekati, maka matahari yang terlihat dari bumi layak menjadi perumpamaan walaupun tak bisa dipadankan.
Aktifitasnya berjalan seperti biasa tanpa ada yang berbeda bagi Lukman. Hingga tiba suata masa ketika ayah dan ibunya akan melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Lukman pun mengringi setiap persiapan sampai pada waktu keberangkatan kedua orang tuanya ke tanah suci. Rasa haru bahagia tentu menjadi penghias meja makan tempat keluarga Lukman berbicara dengan hangatnya cinta.
Walaupun dibalik rasa itu muncul sebuah pertanyaan dalam hati Lukman. Bagaimana dengan Sofi? Tetapi pertanyaan itu masih bisa mendapatkan jawaban dari ibu mertuanya yang selalu siap dengan sepenuh hati menjaga dan merawat Sofi apabila Lukman sedang bekerja. Meskipun ada sedikit perasaan takut merepotkan pada diri Lukman.
“Enggak apa-apa nak, Sofi sama ibu aja dulu selama ayah sama bunda Lukman masih di tanah suci. Ibu senenglah bisa main sama Sofi. Apalagi dia udah lima tahun sekarang, jadi bisa ibu bawa jalan-jalan dan ajak ngobrol, hehehe”
“Iya, terima kasih bu. Tapi tetap saja Lukman ada rasa kurang enak, takut merepotkan. Lukman cari asisten rumah tangga ya untuk ibu?”
“Enggak usah nak, ibu lebih seneng kalau ngurusin semuanya sendiri, hitung-hitung olahraga”
“Yaudah kalau ibu maunya gitu, tapi kalau butuh apa-apa langsung beri tahu Lukman ya bu”
“Iya nak, Lukman pulang kerumah ibu saja dulu sementara biar deket sama Sofi”