Pelajaran dari pembelajaran bagi yang mengambil pelajaran telah dijalani Lukman. Tahapan tak mudah seakan menjadi sahabat sejati dengan perasaan sangat merindukan belahan jiwa. Menjadi separuh dari paru-parunya untuk bernafas. Salah satu alasan yang menjadikan Lukman begitu lembut kepada Sofi. Jangan sampai anak terkasihnya merasakan kepedihan yang pernah dia rasakan.
Akhlak lembut ditampilkannya pada setiap pertunjukkan teater cinta kepada Sofi. Detik menjadi menit, menit menjadi jam. Disadari atau tidak jam itu menjadi hari, dan hari itu menjadi minggu. Minggu itupun menjadi bulan dan puncaknya menjelma menjadi tahun. Rencana yang sudah dibayangkan Lukman jauh sebelum dia terbangun dari tidur dengan mata yang tak terpejam.
Ketika Sofi memasuki pendidikan sekolah dasar, Lukman sudah ingin berhenti lebih cepat dari pekerjaan yang mengantarkannya pada kelebihan atas materi. Namun logika manusia biasa yang muncul pada saat itu, menjadi rayuan gurih renyah untuk tetap tinggal dengan kemewahan. Hingga hari jumat di bulan September pun datang, dengan sinar pagi yang lebih mendung dari biasa.
Lukman merasa ada hal yang berbeda. Kenapa tidak ada senyum sapa dari ibu mertua. Senyum lebih cerah dari matahari pagi yang menjadi semangat. Untuk awal hari yang jadi penentu akhir dari hari yang sama. Muncul rasa ingin tahu, agar dapat melihat apa yang sedang terjadi. Mungkinkah masih beristirahat setelah lelah dari perjuangan sepertiga malam yang menjadi rutinitas sang ibu mertua.
Ingin bertanya kepada Ardan sudah tidak memungkinkan. Kenapa? Karena Ardan sudah berangkat keluar kota untuk melakukan pengecekan rutin terhadap bisnis keluarganya di Garut Jawa Barat. Masih urung Lukman untuk bergerak karena menunggu Sofi bangun. Agar dapat sekaligus dibawa melihat neneknya yang hanya tinggal tunggal itu.
Berpaling sekejap untuk melihat waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding dengan ukuran tak terlalu besar yang ada dikamarnya. Selesai berpaling untuk pertama, maka Lukman ingin melanjutkan untuk berpaling kedua. Belum juga sempat dilakukannya, sudah terdengar suara Sofi memanggil dengan nada yang masih serak sedikit pelan.
“Ayah..”
“Eh, anak ayah udah bangun. Nyenyak tidurnya?”
“Nyenyak ayah”
Lukman langsung membuka lebar tangannya untuk memeluk Sofi dengan rasa masih setengah sadar dari tidurnya. Digendongnya Sofi kecil yang sedang tumbuh itu, untuk beranjak melihat nenek dengan rasa cinta mereka berdua. Tidak hanya cinta itu, melainkan untuk menyaksikan senyum lebih cerah dari cahaya sinar matahari pagi.
“Sofi, ayok ngeliat nenek”
“Iya ayah”
Ayah dan anak itupun melangkahkan kaki kanan untuk turun dari dipannya. Disusul oleh kaki kiri dan mulailah ayah pengemudi delman itu jalan menuju stasiun pemberhentian untuk sang nenek. Dua pasang kaki dari dua sejoli melewati pembatas ruang tengah untuk lima langkah dari pintu kamar sang nenek. Hingga tibalah di depan pintu berwarna putih gading itu.
“Assalamualikum bu”
“Nenek.., Sofi udah bangun nih”
Semangat menuju senyum cerah nenek hingga dua kali panggilan pluit pembangun jiwa yang dianggap masih tidur. Tapi tidak ada tanggapan baik suara benda, maupun suara seorang nenek cucu adam. Melihat situasi itu, Lukman merasa ada yang bebeda dari biasa. Tangan kanannya mengetuk pintu kamar.
“Tok…tok..tok”
“Assalamualikum bu, udah bangun belum?”
Selepas melakukan ketukan itu, Lukman bercanda ria dengan Sofi seakan semua biasa. Walaupun perasaan Lukman semakin keras mengatakan bahwa ini tidak biasa!. Tapi setitik saja tak terlihat di depan Sofi, karena Lukman sangat menjaganya
“Tok…tok…tok…”
“Bu…Assalamualikum”
Belum juga ada tanda-tanda yang diharapkan oleh Lukman dan Sofi. Harus bagaimana ini? Tanya dalam hati yang dirundung rasa gundah dan bingung. Ingin kembali ke kamar, namun kakinya berjalan melangkah ke ruang depan. Mengapa langkah ini menjadi tidak sama dengan fikiran Lukman? Semakin bingung seperti nakhoda dengan kompas yang berputar pada lempengan gepeng tanpa henti.
“Apa harus aku dobrak saja ya pintunya?” Tanya lukman menanti keputusan.
Lukman mengumpulkan tenaga untuk mendorong pintu keras itu dengan bahu kekarnya. Ketika sudah hampir menyentuh kayu itu, dia berhenti. "Alangkah baiknya aku memanggil bu Zizah". Seorang ibu yang berada disebelah kediamannya. Melaju dengan angin dari awan mendung untuk menggapai cawan yang menjadi tujuannya.