"Meja Kerja Ayah"

Ade Zul Affandi
Chapter #8

Petarung Sejati

Tujuh hari berlalu dari kepulangan sang bunda kepada pemiliknya. Lukman pun harus berbenah untuk Sofi. Apa yang harus dilakukannya bersama putri semata wayang untuk menghadapi hari-hari berat yang akan datang. Mungkin Lukman memang sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk dari apa yang harus dihadapi oleh seorang ayah. Bukan ayah biasa, tetapi ayah yang merangkap sebagai ibu.

Lukman mengambil keputusan berani. Dia mengundurkan diri dari perusahaan yang telah membesarkan namanya sebagi seorang pekerja sosial yang sangat ahli dalam pemberdayaan masyarakat. Hingga mengantarkannya sebagai Kepala Divisi Humas termuda dan dianggap paling sukses di perusahaan milik Negara itu.

Semua itu hanya cuilan kecil dari buah manis dengan bentuk bulat yang tak sempurna yaitu dunia. Tentu bukan apa-apa cuilan kecil itu bagi Lukman jika boleh dibandingkan dengan amanah yang dibawanya bukan hanya pada kehidupan dunia busuk saat ini. Tetapi juga pada dunia yang tak lagi ada mati. Dunia yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Dunia yang tak disebut lagi dengan nama dunia.

Lalu apa yang besar? apa yang disebut Lukman sebagai amanah?. Sofiyyah binti Lukman! iya Sofi yang besar bagi Lukman, dia yang disebutnya sebagai amanah. Sofi yang ada jiwa Wia pada dirinya. Itulah janji yang harus ditepati bukan hanya lisan tapi juga perbuatan.

Tanpa berfikir dengan logika. Apa?? Jadi apa yang menjadikan Lukman mampu berfikir untuk sebuah keputusan. Perasaan yang mengalahkan akal dan logikanya. Keyakinan yang membunuh keraguan. Karena yakin akan janji atas pembalasan.

“Kenapa berhenti pak Lukman? Kan sayang dilepas pekerjaannya, apalagi posisi bapak bagus dan karir masih panjang”

“Saya lebih sayang dengan Sofi, ketimbang dengan diri saya sendiri. Rasa tanggung jawab yang menjadi generatornya”

Jawaban singkat namun cukup untuk menjelaskan kepada dunia ayah seperti apa seorang Lukman. Lepas dari tugas rutinnya, Lukman berusaha menjalankan bisnis dengan sebuah harapan dapat memanjakan Sofi dengan waktu dan perhatian. Karena kedua hal itu merupakan hak untuk anak menurut Lukman.

Kuliner menjadi pilihan pertamanya dalam berbisnis. Mendirikan restoran dengan konsep makanan khas Indonesia menjadi senjata Lukman untuk terjun di arena pertarungan barunya. Mulai dari rekrut pegawai hingga standar pelayanan diraciknya sendiri. Hingga akhirnya Ardan ingin bergabung dengan bisnis Lukman.

Lukman merasa lebih nyaman sebenarnya dengan manajemen yang dibangunnya. Tetapi tidak mungkin dia menolak Ardan. Berjalan waktu, Lukman memberikan kepercayaan kepada Ardan. Apalagi Sofi yang tengah bersiap untuk menghadapi Ujian Nasional kelulusan tingkat Sekolah Dasar. Pastilah seorang ayah spesial seperti Lukman lebih mementingkan untuk memberikan dukungan kepada cintanya yang tersisa di dunia.

“Ayah.., doain Sofi ya”

“Siappp…!!! Pastilah ayah doain anak ayah yang paling pinter ini”

Lukman tidak hanya mengantarkan Sofi ke sekolahnya yang memilki konsep boarding scholl itu. Menemani dan menunggu di depan ruangan menjadi hal yang rutin dilakukan Lukman untuk Sofi. Terlebih pada saat-saat genting seperti ini bagi Sofi. Hari pertama, hari kedua, hingga hari akhir dilewati dengan manis oleh ayah dan anak itu.

Masa libur untuk menunggu hasil kelulusan tiba. Waktu yang berharga itu digunakan Lukman dan Sofi untuk berjalan diatas dunia untuk menikmati kenikmatan dan kebesaran Tuhannya dari langit Eropa. Lukman ingin menunjukkan kepada Sofi Lund University. Kampus yang manjadi tempat dia menyelesaikan pendidikan pascasarjananya pada bidang Ilmu Kebijakan dan Manajemen Kesejahteraan Sosial.

Sebenarnya Lukman tidak murni ingin memperlihatkan kampus itu pada Sofi. Dia hanya ingin mengenang perjalanannya dengan Wia melalui Sofi. Karena tidak mudah memang melihat apa yang dijalani Lukman dengan pendiriannya. Tanpa terasa satu minggu dihabiskan Lukman dan Sofi di Swedia dan Denmark hingga mereka akhirnya kembali ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, Lukman dan Sofi beristirahat dirumah sebelum besoknya bergegas untuk melihat perkembangan restorannya. Pagi itu pun tiba, Lukman menelpon Ardan terlebih dahulu sebelum tiba di Restoran. Ada yang aneh rasanya, Ardan tidak isa dihubungi. “Mungkin sedang sibuk di restoran nih si Ardan” fikir Lukman.

Ketika sampai di restoran miliknya Lukman dan Sofi turun dari mobil dan merasa kaget. Kenapa suasana berbeda yang dirasa. Tidak ada Ardan, bahkan nama restorannya juga berubah. Apa Lukman salah alamat? Ternyata tidak! Lukman yang salah karena terlalu percaya kepada Ardan. Restoran itu sudah diambil orang lain karena Ardan tidak membayar hutang kepada lintah darat. Sekilas penjelasan yang diterima Lukman dari petugas parkir yang biasa berjaga di samping mantan restorannya.

Demi menjaga psikologis Sofi, Lukman tetap tenang dan berusaha menjadi biasa. Tanpa berpanjang lebar melihat situasi yang sama sekali merugikannya itu. Lukman berlalu dari tempat yang sudah dibuang karena kebiadaban Ardan. Dalam perjalanan yang belum ditentukan arahnya itu, Lukman berfikri keras apa yang harus aku lakukan???.

Sofi diajaknya berjalan di Sarinah untuk mencari jajanan makan siang bagi mereka. Walaupun sebenarnya belum waktunya. Langkah kaki yang seakan tak menapak karena sangkin rapuhnya dirasakan Lukman dengan perasaan pahit dan getir. Rasa muak, jijik ingin dimuntahkan Lukman karena ditipu oleh saudara sendiri.

Bukan Lukman jika tidak bisa bijak menjinakkan situasi sulit itu. Jiwa yang sudah tertempa dengan berbagai cobaan, haruslah kuat untuk ujian kenaikan kelas yang dihadapinya kali ini. Tak lama Lukman duduk dengan Sofi di sebuah sudut restoran cepat saji, teleponnya bersuara. Bukan untuk sebuah panggilan melainkan hanya pesan singkat yang berkata “mohon maafkan aku, rumah ibu juga akan disita oleh bank. Bisnisku ditipu orang dan aku kalah di meja judi. Sekali lagi mohon maaf, Ardan”.

Pesan singkat yang membuat Lukman berfikii panjang. Musnah sudah sel-sel otaknya berfikir untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Karena situasinya sudah jelas bahwa sumber masalah ada di perilaku Ardan. Ingin berlari, tapi tidak ada lintasan untuk pergi. Ingin menjerit sekuatnya, tapi bukan suara mulut yang berisik melainkan suara hati. Hanya memohon ampunan yang bisa dilakukan oleh Lukman. Karena dia menggangap semua yang dihadapi merupakan cara terbaik yang dipilih penciptaNya untuk memuliakan dia.

Buyar, hancur, membusuk ikan yang awalnya segar, namun bukan berarti berakhir. Tidak akan berhenti mengayuh kapal yang sedang berlayar bagi Lukman. Jika layar terkoyak berarti harus diperbaiki layarnya. Jika terjadi kebocoran pada dek nya, maka harus ditutupi apa yang bocor itu. Bukan menenggelamkan kapalnya melainkan melenyapkan masalahnya. Prinsip yang selalu dipegang Lukman dalam panggung kehidupan.

Lukman mulai menghitung, apa yang mungkin masih tersisa. Apa yang bisa dijadikan peluru bagi senjata di medan pertempuran yang baru ini. Itulah yang ada di dalam kepala Lukman ketika Sofi sedang asik menyantap makanan cepat saji kesukaannya. Kopi hitam tanpa gula menjadi asupan bagi Lukman untuk berfikir. Hingga satu ide muncul ditengah benang-benang kusut yang sedang melilit kepala hitam Lukman.

Ingatannya memunculkan kota Banda Aceh. Kenapa bisa? Apa tidak ada tempat lain baginya. Banyak! Tentu banyak. Namun Lukman teringat pada masa kecil yang pernah dijalaninya di Banda Aceh. Karena kota indah itu merupakan kampung halaman almarhum ayahnya yang menjadikan Lukman memiliki ikatan emosional kuat terhadap kota itu.

Mulai terasa sedikit manis kopi pahit tanpa gula itu bagi Lukman.

“Sofi udah selesai makannya nak?”

“Iya, dikit lagi Ayah”

“Suapin dong yah”

“Iya..iya ayah suapin”

Lukman tetaplah Lukman, seperti apapun kondisi batinnya tetap saja dia berusaha menjadi yang terbaik untuk Sofi. Tidak boleh ada pahlawan lain untuk Sofi selain dirinya. Tidak boleh ada yang lebih memperhatikan Sofi kecuali dirinya. Karena Lukman berusaha sebagai peniru terbaik dari apa yang dipelajari dari junjungannya.

Tiga suapan kecil untuk Sofi menjadi penutup dari seremonial makan siang ayah dan anak itu. Tanpa tergesa dan merasa selalu ada jalan dari setiap tembok kebuntuannya, Lukman menggenggam tangan Sofi untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya semata-mata untuk putri yang sangat dicintainya itu.

Mereka berjalan dengan kasih sayang untuk beranjak pulang kerumah dengan tujuan melakukan persiapan perang. Bisa jadi untuk peperangan yang lebih melelahkan. Berkisar dua puluh lima menit perjalanan Lukman dan Sofi hingga akhirnya sampai di rumah. Tempat tinggal yang harus dikosongkan segera, karena memang Lukman tidak ingin mencederai apapun yang kecil bagi yang maha besar.

Sangat banyak persiapan yang mulai dilakukan Lukman. Satu persatu dibereskannya dengan hati dan hati-hati. Awas lupa! ada Sofi yang sangat perlu dipersiapkan hati dan mentalnya jika Lukman memang mengambil keputusan untuk pindah ke kota lain.

“Sofi anak ayah”

“Iya ayah”

“Sofi seneng engga sekolah di Jakarta?”

“Seneng yah”

“Oh begitu, pengen lebih seneng lagi engga?”

“Pengen dong ayah”

“Gimana kalau Sofi lanjutin sekolahnya di Banda Aceh aja?”

“Kenapa gitu ayah?”

“Karena disana seru, bisa tiap hari kita main ke pantai. Apalagi disana banyak makanan enak. Hemmm sedappp”

“Terus apa lagi yah?”

“Sofi tau engga kalau ayah dan kakek lahirnya disana loh”

“Wihhh seru dong, Sofi mau yah. Mau banget”

Lukman merasa diberikan kekuatan baru ditengah keterpurukan yang sedang dihadapinya. Jawaban tulus dari ucapan polos seorang anak kepada ayahnya. Memberikan nafas baru untuk paru-paru yang telah hilang separuh bagiannya. Hampir tak berfungsi lagi jika dibolehkan sebuah ungkapan untuk keluhan seorang Lukman.

Mencari kembali siapa saja yang bisa dihubungi, untuk mengetahui bagaimana kondisi di tanah kelahiran dia dan ayahnya itu. Hingga akhirnya Lukman menemukan seorang saudara sepupu yang masih tinggal di kota itu. Tanpa berpanjang lebar mencari-cari lagi, Lukman langsung menjalin silaturahmi untuk menyampaikan tujuan mulianya.

Satu tahapan anak tangga persiapan sudah di tapakinya. Sekarang tiba saatnya untuk memikirkan apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di serambi Mekkah itu. Lukman berfikir untuk mulai menghitung berapa peluru yang dia miliki untuk dijadikannya senjata dalam pertempuran nanti.

Mobil yang menjadi kendaraannya sehari-hari termasuk dalam golongan benda yang harus dirubah menjadi uang tunai. Karena Lukman berfikir untuk lebih mengutamakan uang tunai ketimbang harta benda agar lebih mudah dalam membantu hijrahnya ke tanah rencong. Detail Lukman menghitung itu semua, dan dia juga sudah mulai melakukan persiapan agresi itu.

Lihat selengkapnya