Semua berjalan seperti apa yang direncanakan Lukman. Mudah tanpa halangan yang berarti. Dia juga mulai membangun jaringan bisnis di kota itu. Mencari tempat, rekan dan peluang yang berpotensi tumbuh untuk maju. Berbagai penjajakan telah dijalinnya, mulai dari perusahaan, perorangan hingga peluang untuk bekerja kembali diperusahaan yang berbasis sumber daya alam.
Kesepakatan yang ditungu hadir didepan matanya. Bekerja sama untuk bisnis ekspor impor kopi telah disepakati, kecuali hanya menyisakan tanda tangan yang harus dibubuhkan. Tapi tak sulit, karena pertemuan yang diinginkan telah direncanakan besok lusa setelah Lukman menjenguk ibu dari Abdullah.
“Bagaimana kondisi ibu duh?”
“Alhamduillah sudah ada perkembangan”
“Sejauh mana perkembangannya?”
“Belum begitu signifikan man, karena ibu harus di operasi untuk pengangkatan kankernya. Bukan Cuma itu, jantungnya juga harus di operasi man. Biayanya sangat besar man. Bahkan pihak rumah sakit menyarankan agar dioperasi di Medan atau Jakarta karena alatnya lebih lengkap”
Hanya diam, Lukman tidak menjawab. Dua pilihan yang sangat sulit. Pada satu sisi Lukman baru akan mengembangkan bisnis untuk menyambung hidupnya. Akan tetapi disisi yang lain, ada kehidupan yang harus diselamatkan segera.
“Ya Allah apa yang harus aku lakukan??? Aku butuh usaha untuk kehidupanku dan anakku yang masih sangat butuh biaya. Tapi jika diriku mengabaikan karena hanya mementingkan kemauan sendiri dan sebenarnya aku mampu menolong, begitu biadabnya hambamu ini ya Rabb”.
Pandangan kosong Lukman menatap ke arah langit untuk memohon petunjuk. Dia merasa seperti melihat wajah ibunya, dan hatinya sangat paham bagaimana batin Abdullah jika kehilangan ibu. Jangan! Jangan sampai terjadi apa yang dialami oleh Lukman.
Bait dari keraguan sekejap sirna karena tidak ada instrument biola yang mengiringinya. Hanya ada harap atas pembalasan dari sang pemilik rezeki yang sesungguhnya hinggap dihati Lukman.
“Udah duh, enggak usah difikirkan. Serahkan saja semuanya sama pihak Rumah sakit. Kita berdoa semoga ibu bisa sembuh, untuk duitnya biar aku semua yang tanggung. Mudah-mudahan ada rezekinya.”
Abdullah terjatuh, langsung berusaha menggapai kaki Lukman untuk menciumnya. Namun Lukman bergeser karena dia merasa tak layak mendapatkan penghormatan seperti itu. Lukman tetaplah Luman, merasa dirinya hina dan hanya ingin memperbaiki diri dari waktu ke waktu.