Sofi diantarkan Lukman kembali kepada temen-temannya untuk melanjutkan kegiatan sebagai orang yang dimohonkan ampun atas dosa-dosanya, dimintakan keberkahan untuk dirinya. Begitulah malaikat berkata untuk para penuntut ilmu yang mulia.
Tinggallah Lukman sendiri dan hanya sendiri, seakan tanpa suara penolong karena memang begitu cirinya. Tapi tak diduga, pertolongan itu pun datang melalui Abdullah yang mengajaknya untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Setidaknya itu pilihan yang paling masuk akal ketimbang menunggu persetujuan dari lamaran pekerjaan yang tak juga pasti.
“Boleh nanya man?”
“Ya boleh lah duh, kayak sama siapa saja kau ini”
“Tanpa dibilangpun aku paham man, kalau tabungan untuk modalmu udah habis karena kemarin bantu ibuku berobat kan?”
“Enggaklah, masih cukup untuk hidup kok”
“Alhamdulillah kalau masih cukup, aku selalu doakan agar kau mendapat balasan yang jauh berlipat-lipat dari apa yang telah kau berikan untuk membantu orang-orang”
“Aamiin ya Rabb”
“Apa yang jadi masalah ya man, kenapa perusahaan yang kau lamar belum ada yang menerima”
“Mungkin masalah di gaji duh, setelah mereka melihat semua pengalaman dan kemampuan aku, rata-rata menjawab “mohon maaf pak, kami tidak sanggup menggaji bapak”. Padahal aku sudah menjawab disamakan saja gajinya dengan karyawan yang lain. Tapi tetap saja nihil”
“Aku minta maaf man, karena enggak bisa bantu apa-apa. Tapi kalau kau mau ikut denganku untuk menjahit sepatu di pasar dekat masjid raya, aku bisa usahakan satu lapak buatmu”
Hahhhh!!! Apa mungkin bisa? Seorang Lukman yang menyelesaikan sarjananya di Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Belum juga sempat mencicipi pekerjaan dengan ijazahnya itu, dia sudah terbang ke Swedia untuk menyelesaikan magister di bidang kebijakan dan manajemen kesejahteraan. Belum lagi pengalamannya sebagai kepala divisi Humas di Pertamina tentu bukan hal yang mudah. Bahkan itu adalah pekerjaan yang mustahil dan kotor baginya!
“Alhamdulillah, pasti bakal menyenangkan itu duh, kapan bisa kita mulai?”
Jawaban yang begitu santun, tanpa nada tinggi atau merasa tinggi atas apa yang dimilikinya. Karena Lukman merasa di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung. Hanya hatinya yang mampu menjawab soal-soal ujian ini karena akal pasti tak mampu.
“ Hari ini juga bis dimulai man, mumpung masih pagi”
Mereka langsung berangkat menuju pasar yang berada tepat dibelakang masjid raya kota Banda Aceh itu. Abdullah yang sehari-hari memang berprofesi sebagai penjahit sepatu tentu sudah sangat akrab dengan suasana pasar dan orang-orang yang melakukan kegiatan dagang di situ. Walaupun hatinya merasa tidak nyaman karena hanya bisa membantu Lukman dengan cara sederhana.