"Meja Kerja Ayah"

Ade Zul Affandi
Chapter #11

Awal Dari Akhir

Sabtu ini menjadi berbeda dari biasanya. Karena Lukman menjemput Sofi sekaligus membawanya pulang kerumah untuk menjalani libur yang telah datang, demi sebuah kebahagiaan hari raya. Hanya menyisakan beberapa waktu saja dari hari besar itu. Sangat senang tentunya jika seorang anak perempuan yang tinggal di asrama dan lama menghabiskan waktu untuk tidak bersama orang tua hebatnya, kini akan menjalani hari-hari penuh berkah bersama pengantar keberkahan itu sendiri.

Begitu mengasyikkan perjalanan mereka menuju rumah hingga sampai pada tujuannya. Seakan biasa, karena Lukman berusaha menjadi biasa dan tak menampilkan apa yang ada dalam benaknya. Apa rupanya yang ada dalam benak Lukman? Tentu saja dia sedang berfikir keras. Berfikir keras payah untuk menutupi Sofi dari kenyataan bahwa ayahnya bukan seorang manajer hebat di perusahaan milik Negara, melainkan penjahit sepatu robek di pasar kota.

Setelah berberes dari makan malam romantis berdua antara ayah dan anak perempuannya, Lukman pergi mengantarkan Sofi untuk tidur di dipan kecil berwarna merah muda. Sederhana memang, dengan selimut yang menjadi teman setianya ketika bermalam dirumah tua itu.

“Kalau mau tidur jangan lupa apa nak?”

“Jangan lupa baca doa ayah!”

“Pinter anak ayah”

Kalimat yang selalu diingatkan Lukman kepada Sofi tepat hanya satu atau dua menit saja sebelum putrinya itu terlelap. Kalimat yang selalu dibalas dengan rasa antusias ikan arwana ketika menyapu umpan. Umpan yang sudah ditunggu sejak kemarin, bisa jadi lebih lama.

“Huh, akhirnya tidur juga anak gadis”

Tidurnya Sofi yang memaksa Lukman untuk mengatur siasat dalam menyikapi hari esok. Bisa jadi hari lusa, atau bahkan lebih lama lagi peperangan ini. Peperangan antara manajer sukses dengan penjahit sepatu robek. Bagaimana dia bersikap? Untuk mendustai semut saja Lukman belum mampu. Apalagi anak yang sangat dicintainya. Tapi yang menjadi penguat Lukman adalah kekuatan untuk menjaga kepercayaan akan diri anak itu sendiri .

“Bagaimana ini???”

Sangat keras, lebih keras dari tiang-tiang besar yang terpancang dibawah jembatan panjang penghubung dua daratan jika boleh mengandai. Aliran darah itupun mengalir dari jantung menuju partikel-partikel kecil di dalam kepalanya. Sepertinya Lukman membutuhkan kopi hitam pahit untuk menemaninya berfikir. Karena tinggi sekali pohon akal itu tumbuh menjulang ke langit khayal. Tak akan terjangkau oleh sentuhan nyata.

Lampu pijar tiba-tiba bersinar di puncak pohon akal Lukman. Berfikir untuk berperan sebagai manajer sukses itu di setiap pagi dan petang. Setiap berangkat dan kembali ke rumah. Mengapa harus menjadi begitu? Karena di saat itu Sofi dapat menyaksikan ayahnya dengan kemeja rapih, putih dan sesekali dengan dasi. Hemm, brilian! Hati lukman berucap.

Tapi dia menyadari bahwa tak cukup hanya itu. Karena tidak ada drama dengan satu pemeran tunggal. Tidak mungkin tanpa pemeran pembantu, tidak mungkin tanpa penulis naskah. Iya..iya, Lukman paham itu. Aha, langsung saja Lukman menyapa Abdullah untuk memintanya datang kerumah dimalam itu juga.

Tanpa persiapan yang terkesan banyak, Abduh menuju rumah Lukman dengan sedikit terburu-buru. Setibanya disitu, Lukman sungkan untuk menyampaikan rencana matangnya kepada Abduh. Mungkin karena tak terbiasa, atau juga merasa takut. Tidak pasti semua itu, karena hanya ketakutan atas batin Sofi yang pasti dijaga Lukman.

“Abduh saudaraku, aku ingin meminta bantuanmu. Boleh?”

“Pasti boleh man, apa itu?”

“Aku ingin selama Sofi disini, dia melihat aku sebagai manajer sukses bukan penjahit sepatu di pasar. Bisa kau bantu aku?”

“Apa???”

Abduh merasa heran, kenapa dia diminta datang hanya untuk mendengarkan ide gila Lukman. Bahkan bukan hanya mendengar, tetapi membantunya melaksanakan misi yang mustahil itu. Huh, drama musikal atau pantomim yang akan tampil pada carnaval untuk Sofi nanti ya?. Abduh mulai menebak-nebak, mendapat peran apa dia.

“Aku minta tolong dibantu ya saudaraku, untuk mempersiapkan apa pun yang aku butuhkan dan jangan pernah menolak!”

“Baik man, aku bersamamu saudaraku”

Lukman menyampaikan bahwa dia ingin pergi kerja pagi selayaknya orang-orang pergi ke kantor. Dia ingin gagah dengan setelan pakaian ala eksekutif muda. Apa-apaan sih ini??? Abduh ingin menolaknya, tapi tak mungkin. Dia hanya mampu bertanya apa lagi yang dibutuhkan Lukman.

Mobil, iya mobil. Lukman menginginkan itu agar lebih meyakinkan Sofi. Kemauan yang disampaikannya kepada Abduh, dengan harapan saudaranya itu dapat membantu minimal mencari kemana harus dipinjam. Namun untuk permintaan Lukman yang satu ini dia tidak bisa membantu.

“Siapalah aku man? Orang-orang tidak akan percaya jika seorang penjahit sepatu yang sudah puluhan tahun hanya bergaul dipasar, tiba-tiba meminjam atau bahkan menyewa mobil”

Renyuh hati Lukman mendengarnya. Semoga kerenyuhan itu menjadi pertanda bagi Lukman untuk menghentikan rencana gila dari ahli strategi itu.

“Yaudah tidak apa-apa, nanti biar aku yang memikirkannya. Tapi kau harus terus membantuku ya duh”

Semakin menemukan semangat sepertinya bapak ahli strategi dengan formasi menyerang ini. Abduh hanya pasrah mengikuti perintah, karena dia tidak akan berani menasehati Lukman yang telah sangat banyak membantunya. Hanya berdoa “ya Allah semoga Lukman cepet sadar”. Karena Dialah yang bisa membolak-balik kan hati manusia.

Lihat selengkapnya