Suara itu masih saja aku rasakan. Lirih, pelan, serak, menyakiti gendang telingaku hingga menembus kulit. Gelap, iya gelap. Aku hanya melihat kegelapan dalam diri mereka. Apakah aku buta? Pandangan mataku yang mengarah ke sebuah cahaya, namun terhalang oleh sesuatu yang menutupinya. Suara itu masih saja menyerang telingaku. Sakit, sakit sekali. Inilah kisahku saat aku berumur empat belas tahun duduk di kelas tiga SMP dengan terbaring lemas di kamar lantai atas rumahku.
Selama empat puluh lima hari aku terbaring lemas. Suatu penyakit yang bernama Typus menyerang tubuhku hingga kurus kering. Saat itu tanggal 5 April 1998 hari Minggu Kliwon tepatnya di saat matahari mulai menghilang dari permukaan bumi karena tugasnya untuk menerangi bumi sudah hampir selesai, dan akan di gantikan oleh sang bulan bersama bintang yang berpasangan menghiasi gelapnya malam. Kedua mataku dengan berat untuk terbuka, terus menatap atap kamarku yang catnya sudah agak berwarna putih usang karena hujan yang bisa menembus kayu, hingga kamarku basah lembab.
Aku menahan panas tubuhku yang masih menyerangku. Sudah sering beberapa dokter memeriksaku dan memberikan cairan infus. Tapi tetap saja aku tidak kunjung sembuh hingga aku memutuskan untuk melakukan perawatan jalan di rumahku saja, yang sebelumnya aku di rawat di rumah sakit umum terdekat. Pandangan mataku sudah mulai sayup-sayup setelah aku menelan ke tiga pil yang harus dengan rutin aku minum.
Udara sedingin es kutub yang menyelimuti leherku semakin aku rasakan. Aku merasakan semua bayangan itu. Mereka berkeliaran dengan berjalan lurus tanpa berbelok. “Siapa kalian?” batinku sambil menahan rasa kantukku yang sudah tidak bisa aku tahan lagi. Nafasku mulai sulit aku rasakan. Kuhembuskan dengan sangat pelan udara ini, agar nafasku yang sudah mulai sesak mereda. Bulu-bulu yang ada di semua kulitku sudah mulai berdiri dengan sendirinya. Angin semriwing yang seolah-olah membuat leherku seperti terhembus dengan tertusuk sesuatu mulai kurasakan. Aku sangat bergetar.
“Aku sangat lelah.” ucapku lemah. Dan akhirnya aku benar-benar menutup kedua mataku. Angin yang sepoi itu berasal dari luar jendela kamarku, perlahan mulai menghilang. Aku tidak mendengar adanya tanda kehidupan. Bahkan benda mati yang berada di dalam kamarku tidak bisa aku rasakan keberadaannya.
“Perutku sakit sekali, rasanya sangat kaku. Aku harus menuju ke kamar mandi.” Tubuh yang semula lemas tiba-tiba kembali tidak merasakan apapun. Aku perlahan membuka kedua mataku, bangkit dari tidurku. Aku bergeser menuruni ranjangku. Sesuatu sangat aneh kurasakan. Aku tidak merasakan adanya udara yang biasa menembus kulitku. “Apa ini, kenapa semua tampak aneh?” batinku dan perlahan keluar dari kamar menuruni tanggaku.
“Mbah Pi, kenapa ada di tengah tangga? Jangan duduk sembarangan, nanti aku bisa tersandung.” ucapku dengan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi. “Ah, sangat lega, akhirnya aku bisa mengeluarkannya.” gumamku sambil bergegas memakai kembali pakaianku.
Kubasuh wajahku yang sangat kucel ini dengan air. Berkali-kali aku membasuhnya, tidak juga bisa membuatku segar. Wajahku tetap saja merasa kering. “Kenapa sih kok airnya aneh?” Sejenak aku memejam berusaha menahan ke dua mataku yang sangat perih untuk terbuka. Nafas yang tiba-tiba sesak semakin kurasakan. “Huf….” Kuhembuskan perlahan udara yang aku hirup, untuk melonggarkan dadaku yang rasanya bergetar sangat kencang. “Brak….” Suara mencekam berasal dari luar membuatku merasa terkejut.
“Kak, apakah itu kamu?” Tentu saja tidak mungkin kakakku, jika posisinya ada di kamarnya mendengar suaraku dari kamar mandi ini. Aku meletakkan gayung yang berisi air itu, kuraih handuk putih dan ku keringkan wajahku yang sama sekali tidak merasakan basah. Aku dengan cepat segera keluar dari kamar mandi menuju ruang tamuku. Ku rebahkan tubuhku di sandaran kursi. Kurentangkan kedua tanganku lurus dan kembali bernafas panjang. “Nenek, kenapa kau berada di bawah tangga?” tanyaku heran.