Suara tawa itu sangat nyata dalam pendengaranku. Aku mengamati mereka dalam ketakutan. Baru kali ini aku menyadari keberadaan mereka yang tak kasat mata memang ada. “April, udah ayo makan! Kamu mikirin apa?” Mamaku menarikku dengan menatap heran. “April, apa kamu menatap sesuatu selain kami?” Aku hanya menggelengkan kepala dengan sedikit senyuman. Saat ini yang akan aku lakukan hanya menahan rasa takutku yang sepertinya tidak bisa aku simpan dalam hatiku. Aku terus menunduk berusaha tidak melihat nenek kembar itu yang masih terus melambaikan tangannya.
“April, makanlah!, keburu dingin makanan itu.” Aku tersadar dari lamunanku saat mama menepuk pundakku. Kali ini aku memberanikan diri mengangkat wajahku. Perasaan ini sangat lega. Aku tidak melihat mereka. Tapi, satu yang masih aku rasakan. Sepertinya ada anak kecil di bawah meja makanku ini.
“Hahaha….” Suara tawa mereka kembali aku dengar. Nafas ini mulai sangat sesak. Kuatur dengan pelan sambil sedikit melirik di pojok ruangan. “Sang seng dulat dulit, yang julit jadi. Hahaha….” Tawa bercampur nyanyian itu sangat menggangguku. Mereka masih saja berkeliaran.
“April, kamu inikan lama tidak sekolah, dan nanti kamu harus ijin lagi. Tapi mama akan usahakan kamu ikut ujian ya. Cuman kamu masuk langsung ikut ujian. Apa kamu bisa langsung masuk, terus mengikuti ujian?” Pertanyaan mamaku yang tidak bisa aku jawab. Pelajaran itu pasti tidak bisa dengan cepat akan aku mengerti. Aku sudah jelas akan mendapat nilai yang sangat jelek.
“Udah, April nanti kakak akan membantumu.” Kakak pertamaku yang bernama Ana Celebes sangatlah pintar. Dia dulu lahir di Sulawesi, saat almarhum ayahku bertugas di sana sebagai pegawai negeri. Tapi hanya beberapa tahun, mereka pindah di kota Bojonegoro dan tinggal di rumahku sekarang ini. Ayahku meninggal saat aku masih sangat kecil, karena sakit darah tinggi yang di deritanya. Mamaku sekarang bekerja sebagai perias pengantin untuk membiayai kami. Mamaku bernama Ernayati dan sangat cantik. Banyak sekali yang menaruh hati padanya. Tetapi mama tetap lebih memilih hidup sendiri, dan merawat kami bertiga sendirian.
“Aku akan mencicil membaca buku kak, kalau kepalaku sudah tidak pusing.” jawabku dengan tersenyum.
“Kamu, kalau pelajaran IPA tanya kakak aja. Nanti kakak ajari juga. Kakak paling jago kalau masalah hitung-hitung dan sains.” Kakak keduaku namanya Mera Cristiana. Dia agak tomboy. Olah raga kesukaannya karate. Pelajaran IPA dan berhitung memang sangat di gemarinya.
“Aku akan selalu minta bantuan kakak, aku paling tidak bisa IPA.” ucapku sambil memelas, karena memang pelajaran IPA dan menghitung tidak bisa bersahabat dengan otakku sama sekali.
“Udah! Sekarang kalian tidur saja! Kamu harus banyak istirahat. Biar mama yang mencuci piringmu itu.” Mama mengelue-elus rambutku dengan lembut. Aku sangat mengerti ke khawatiran mamaku yang sangat tinggi terhadapku. Aku ini anak terakhir yang sangat di manja oleh mama dan ke dua kakakku. Aku berdiri dari dudukku dan berjalan menapaki tangga menuju kamarku di lantai atas. “Hahaha….kakak.”
“Hah.” Aku sangat terkejut, menolehkan pandanganku ke belakang menghentikan langkahku. Aku merasakan mereka seolah-olah mengikutiku. “Siapa kalian?” batinku dengan terus mengatur nafasku yang mulai menderu-deru. Kutolehkan kembali kepalaku ke depan. Aku kembali melangkah menuju kamarku. Dengan perasaan bercampur aduk antara takut dan kesal, aku segera meraih pintu gagang kamarku dan memasukinya.
“Hiiiiii….” Sebuah gundukan dengan gerakan ada di dalam selimut atas ranjangku. Kedua mataku melotot dan kaku. Aku tidak bisa melangkah, hatiku bergetar melihatnya. Ini sangat aneh buatku. “Si-siapa kamu?” ucapku dengan keringat yang mulai muncul dari rambutku mengalir hingga kulit wajahku. Tubuhku terus gemetar tanpa bisa bergerak melangkah. “Tolong….” Suara lirih, pelan, serak, muncul dari dalam selimutku. Aku mulai memaksakan kakiku untuk bergerak. Perlahan aku menghampiri ranjangku. Ku ulurkan tangan kananku. Jari-jariku dengan bergetar ku dekatkan ke arah gundukan yang aku tidak tahu siapa dia. Dalam hitungan beberapa detik, dengan cepat aku membuka selimut itu. “Argh….” Aku terpental kebelakang hingga pucuk meja itu mengenai pinggangku. Anak laki-laki dengan sangat ketakutan berada di atasnya. Tapi dia menghilang begitu saja.
“April, kenapa kamu berteriak?” tanya mamaku yang langsung berlari menaiki tangga menuju lantai atas untuk melihatku. “Ya, Allah. April kenapa kamu jatuh seperti ini?” Mamaku mengangkat tubuhku yang masih aku tahan sakitnya, di bantu ke dua kakakku agar aku bisa berdiri lagi.
“Aku melihat hantu ma, dia, anak itu ada di dalam selimut itu.” Suaraku masih sangat bergetar. Aku merasa mama dan ke dua kakakku tidak akan mempercayaiku dengan apa yang aku alami. Kakak Mera segera membuka selimutku dan melihat hingga di kolongnya. “Aku tidak melihat apapun, April. Kamu pasti berhalusinasi.” jawabnya dengan mengernyit kepadaku.