Suara itu masih menyerang telingaku. Rumahku di penuhi dengan kabut putih. “Ma, kak, dimana kalian?” teriakan yang sepertinya akan sia-sia aku lakukan. Aku masih diam terpaku di depan meja yang sudah tidak ada kue tart yang lezat di atasnya. “Tolong, jangan lakukan ini terhadapku. Aku tidak mau!” Air mata mulai keluar. Aku hanya duduk diam dan menunggu mereka mengembalikanku ke dalam duniaku yang sesungguhnya. “Ma, kak, kalian, tolonglah aku!” Kakiku gemeteran, badanku terpaku, tak kuasa bergerak. Mereka, tiga anak kembar dengan masih tertawa melambaikan tangannya agar aku mau mengikuti mereka.
"Untuk apa aku mengikuti kalian?" tanyaku sambil menangis. Aku masih duduk ketakutan.
"Sang seng dulat dulit yang julit jadi. Hahaha, ikuti kami!" Mereka melambaikan tangannya ke arahku dengan terus tertawa.
“Baiklah aku akan mengikuti kalian.” Tidak perlu menunggu waktu yang lama lagi, aku segera berdiri dari dudukku. Perlahan kaki ini berjalan mengikuti suara tawa yang menuju rumahku halaman belakang. Pembatas rumahku dengan rumah sebelah yang terbuat dari seng besar, tiba-tiba terjatuh. Semakin aku menahan detakan jantungku yang sangat berlari kencang ini. “Hahaha, lihatlah!” Suara si kembar yang menginginkanku untuk melihat apa yang mereka ingin tunjukkan. Aku semakin bergetar mencium bau air busuk yang menyerang hidungku.
“Sang seng dulat dulit yang julit jadi. Hahaha, kakak.” Mereka bertiga bernyanyi di bawah pohon kresen yang berbuah sangat banyak. Pohon yang sangat tinggi menyerupai buah ceri berwarna merah dan sangat manis, dengan cepat salah satu dari mereka menaikinya, mengincar salah satu buah yang sangat merah dan paling besar di dahan paling atas.
“Dora, jangan naik nanti kamu jatuh!” Salah satu kembar yang ternyata bernama Dora, sepertinya kakak pertama dari kembar, memanjat ke atas sampai sangat tinggi ingin mengambil buah kresen yang sangat merah di ujung ranting itu. Dia semakin memanjat dengan sangat tinggi. “Jangan kalian lakukan itu! Kamu, Dora nanti bisa jatuh.” Aku spontan berteriak dengan menangis melihat salah satu dari mereka yang terus memanjat.
“Dera, tunggulah di bawah!, aku akan menyusul Dora.” Menyusul kembar satu lagi untuk naik ke atas. Aku sejak itu mengetahui nama dari kembar, Dora, Dera. “Sang seng dulat dulit yang julit jadi. Hahahah, kembar Dora.” Aku mengamati ketiga hantu kembar itu yang mengatakan kepadaku nama mereka adalah kembar Dora. Tapi tinggal satu nama anak yang menyusul Dora, tidak aku ketahui.
"Jangan kau susul kakak Dora! Deri, turunlah!" Dera terus berteriak dari bawah dan tidak di hiraukan ke dua saudara kembar mereka. "Dora, Deri, Dera, itulah nama kalian." batinku sambil menatap mereka.
“Dora, jangan ke atas lagi nanti kamu bisa jatuh!” Deri mencegah kakak pertamanya untuk naik, sementara dirinya berusaha untuk menyusulnya. Aku hanya menatap mereka yang sepertinya akan terjatuh dari pohon itu. “Tolong, jangan!” Suaraku yang sudah mulai lirih berusaha aku keluarkan, tapi sangat sia-sia. Aku saat itu sangat lemas. Detik-detik mereka memperlihatkan jejak kematian sangat membuatku merasakan ketakutan dan aku bisa menjadi gila.
“Dera, nanti tangkaplah buah kresen ini. Sangat besar dan pasti akan sangat manis.” Dora masih berusaha meraih buah merah kecil itu di ujung ranting yang sangat tinggi dan kecil. Jika dia maju sedikit saja pasti akan patah, bisa membuatnya terjatuh. “Jangan kau lakukan itu! Tolonglah, jangan perlihatkan kepadaku!” Aku sudah tidak kuasa melihat dia yang pastinya akan terjatuh.