Blurb
"Siapa namamu, nak?" tanyanya.
"Hamas..." jawab pemuda.
"Engkau tak boleh berbuat seperti ini." kata pria berseragam rapi itu sambil menyodorkan segelas teh hangat.
"Jika engkau tetap menggali ingatan itu, maka penyakitmu akan semakin parah...". Hamas terdiam. Bagaimana kondektur itu tahu ia sedang sakit hati? pikirnya. Dan bagaimana pula kondektur itu tahu apa yang jadi ingatannya itu yang membuat dirinya tersiksa?. Ia meraba dadanya. Lalu kembali tertunduk. Lantai resto nampak buram oleh sebab suatu genangan di kedua matanya. Ia menyadari, sesuatu yang ditanam Tuhan di dalam rongga jantungnya itu akan menjadi pembantai setiap pemabuk cinta seperti dirinya. Dan sekarang ia berdarah-darah.
"Apakah ia tidak mencintaimu?" tanya pria itu lagi sambil mendorong gelas teh lebih dekat lagi ke tangan pemuda malang. Aroma teh menguar ke hidung pemuda.
"Aku tak tahu, tapi aku selalu berdoa kepada Allah agar ia mencintaiku". Tangannya lemas hendak meraih gelas. Lalu tak mempedulikannya lagi.
"Apakah kau tak menyatakannya?"
"Tidak... Itu tak perlu."
"Wanita butuh kepastian."
"Jodoh itu pasti sudah ditentukan." jawab Hamas singkat. Namun hatinya berkecamuk. Mengapa Tuhan membuatnya tertawan kepada wanita yang sudah menjadi jodoh orang lain?. Apakah yang Tuhan kehendaki atas dirinya?