BEL istirahat yang ditunggu-tunggu Ratu akhirnya berdering nyaring.
Ratu, Agung, Leoni, dan Leon bergegas keluar dari kelas. Sebelumnya mereka mencium punggung tangan guru yang mengajar, demi Agung yang sangat membutuhkan pencitraan. Lalu mereka berempat menuju area gedung olahraga indoor. Agung yang memimpin jalan ke kolong tribun penonton, tempat mereka biasa nongkrong.
“Lucu nggak, sih?” tanya Ratu, bersamaan dengan itu, tangannya membuka tutup bekal makanan buatan Reon. “Dari kelas sepuluh kita makan siang di sini tanpa ketahuan. Gue jadi merasa ini singgasana kita.”
Agung menunjuk Ratu dengan pematik di tangannya. “Ini memang singgasana kita.”
“Gung, lo mau mati, ya?” ketus Leoni, matanya mengarah pada pematik api di tangan Agung yang biasa dipakai laki-laki itu untuk menyalakan rokok.
Jangan salahkan Leoni bersikap sangat anti-rokok, kakeknya meninggal karena itu. Jangan salahkan Agung yang kecanduan rokok, orangtuanya bercerai dan meninggalkan Agung bersama neneknya. Membuat Agung menjadikan rokok sebagai pelariannya.
Agung memutar matanya. “Semua orang bakal mati, Nini.”
Nini adalah panggilan sayang Agung untuk Leoni. Artinya nini atau nenek, karena Leoni cerewet seperti nenek-nenek menurut Agung.
“Ada perbedaan antara mati karena alasan dan mati karena takdir,” desis Leoni.
Wow, perdebatan konstan antara Agung-Leoni tentang rokok sepertinya memanas dibanding sebelumnya.
Bersikap seperti Agung yang biasanya, laki-laki itu tersenyum kecil. “Gue ngerokok di luar gedung, gimana?”
Nah, ini hal baru.
Leon mencegah Agung yang hendak berdiri. “Bro, gue oke kalo mati bareng karena asap rokok lo.”
Ratu tergelak. Leoni melotot pada kembarannya sementara Agung lagi-lagi tersenyum tipis.
“Nanti gue balik lagi,” kata Agung, lalu berdiri dan pergi.
“Dia itu,” Leoni menggeram dan membuka tutup bekalnya, “Bedebah payah.”
“Orang macam mana yang masih pake kata bedebah?” ledek Ratu.
Leoni mendengus.
Mereka akhirnya melanjutkan makan siang mereka yang tertunda. Seperti biasa, banyak sekali cerita yang tertuang ketika mereka bersama. Ratu dengan cerita insiden kulit pisang Reon, Leon dan Leoni dengan cerita adik mereka yang kembar tiga.
“Jadi, meski Nyokap cuma hamil dua kali, anaknya sekarang lima,” simpul Leoni.
Ratu tersenyum tipis. “Kayak kucing melahirkan.”
Leoni melotot sementara Leon terbahak.
Agung bergabung tak lama kemudian. Dia mengambil duduk di samping Leoni dan Ratu. Bau rokok Agung tersamarkan oleh wangi cologne, jadi Ratu tak ambil pusing dan melanjutkan acara makan siang mereka.
“Abis ngomongin siapa? Gue, ya?” tanya Agung percaya diri.
Leoni langsung menimpuknya dengan sendok, “Iya, kita ngomongin lo. Puas?”
“Wah, puas banget, Nini.”
Leon dan Ratu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Leoni dan Agung. Seperti biasa, keduanya seringkali bertingkah seperti anjing dan kucing yang bermusuhan. Kadang Leon dan Ratu membuat berondong jagung untuk menjadi kudapan saat Leoni dan Agung menunjukkan taring masing-masing.
Selesai makan, mereka bergegas kembali ke kelas. Sepanjang perjalanan selalu terisi percakapan riang antara mereka. Sejak kelas satu, mereka memang seperti ini. Ratu yang ceria, Agung si usil, Leoni mulut cerewet, dan Leon sebagai “bapak” mengingat dia yang paling dewasa di antara mereka.
Begitu Ratu berbelok ke kiri, seorang laki-laki datang dari arah berlawanan dengan langkah berderap. Sontak Ratu menabraknya sehingga selebaran di tangan laki-laki bermasker itu berhamburan.
“Sori, sori!” seru Ratu seraya mengambil selebaran yang berterbangan di sana-sini.
Teman-temannya ikut membantu. Untungnya koridor tersebut sepi sehingga tidak ada yang menginjak selebaran itu. Begitu seluruhnya terkumpul, Ratu hendak memberikan pada laki-laki itu. Namun, sesuatu menghentikan gerakan Ratu saat membaca isinya.
Komplotan Rahasia
Komplotan Rahasia merupakan tradisi turun temurun
SMA Adhi Wijaya, tempatmu melepas letih dan
kesibukan sekolah. Di sini, kau mendapat pengalaman
SMA yang tidak akan pernah kau lupakan!
Gabung sek arang.
Mengenai tempat dan waktu
dapat ditanyakan di nomor di bawah ini:
08127734xxxx
Kamu adalah orang-orang terpilih...
“Ini… apa?” tanya Ratu.
Ratu mendongak kepada laki-laki bermasker itu. Setelah Ratu lihat lebih jelas, ternyata laki-laki itu adalah kakak kelasnya, Bimo. Dengan santai, Bimo mengambil selebaran yang disodorkan Ratu itu, lalu memberikan empat lembar kepada Ratu, Leon, Leoni, dan Agung.
“Ini ekstrakulikuler rahasia,” ucap Bimo, “Cuma orang- orang terpilih yang bisa masuk. Lo termasuk orang itu, Rat.”
“Hah?” mata Ratu mengedip, dia mendongak dari selebaran itu, “Kenapa?”
“Abang lo, Reon, dulunya jadi ketua. Lo nggak tau?” tanya Bimo balik.
“Abang gue nggak cerita apa-apa,” balas Ratu sementara ketiga temannya mendengarkan dengan takjub.
Ratu tahu sejak pertama kali membaca kalimat dalam selebaran itu, dia sangat tertarik. Mungkin itu sudah alamiah karena abangnya ternyata pernah menjadi ketua Komplotan Rahasia. Rahasia apalagi yang menakjubkan selain itu?
“Kak, boleh nanya?” celetuk Leoni tiba-tiba.
Bimo lantas mendongak, “Oh, boleh, Le.”
“Kenapa Kak Bimo harus pake masker?”
Terjadi hening untuk sesaat, hingga semua orang tertawa canggung. Bimo menggaruk tengkuknya salah tingkah, lalu menjawab dengan percaya diri.
“Masker ini pencitraan, Le. Biar terlihat misterius,” kekeh Bimo, ia teringat sesuatu, lalu memasang wajah seriusnya. “Jangan sampe orang lain tau tentang ini, ya.”
Leon, Leoni, Agung, dan Ratu saling tatap dan membagi tawa canggung lagi.
***
SUDAH berkali-kali Raja melirik murung jam dinding. Suasana kelas yang membosankan tanpa satupun yang nyaman diajak bicara. Mereka semua hanya terpaku pada materi yang guru berikan. Tidak ada obrolan selingan yang berhasil membuat Raja keluar dari lingkar stres pembelajaran ini.
Teman di kelas baru Raja semuanya ambisius dan itu sangat menyebalkan. Buat apa begitu ambisius seolah semua ini segalanya? Ayolah, lihat, cuaca sedang bagus-bagusnya untuk bermain.
Begitu bel istirahat berbunyi, Raja lantas berlari meninggalkan kelas dan menuju kelas XII-IPA-2. Lama-lama di kelasnya membuat Raja sesak napas. Mungkin Bunda memang menginginkan anak sematawayangnya mati karena kehabisan oksigen.
“Resta! Edo!” panggil Raja tanpa mengecek kondisi kelas terlebih dahulu, “Mi ayam, kantin, SEKARANG!”
Suasana kelas yang hening perlahan membawa Raja menuju kesadarannya. Raja melirik meja guru, lalu ia menyeringai. Seorang guru terganas sedang berkacak pinggang di ujung sana.
“Eh, Ibu…,” panggil Raja, “Salahkan perut saya, Bu.”
“Untung kamu Raja,” gerutu guru tersebut, namun kemudian, “Belikan saya satu porsi mi ayam.”
Gelak tawa terdengar di seantero kelas.
Raja cemberut, sementara di kejauhan, Resta dan Edo memasang wajah puas. Kalau bukan karena kedua laki-laki itu adalah temannya sejak kelas satu, Raja pasti akan memiting leher mereka.
“Dan juga satu es tehnya Pak Denden,” tambah guru tersebut.
Matilah kantong gue. Tolong Raja, Ya Tuhan.
“Dibawa ke kantor guru, Bu?” tanya Raja.
“Ya iyalah, emang mau dibawa ke mana?”
“Kali aja mau digantung, Bu. Seperti hubungan kita yang nggak tau mau dibawa ke mana,” Raja nyengir.
Seantero kelas kembali tertawa melihat kebanyolan Raja. Guru tersebut dengan wajah merah padam menyuruh seluruh siswa untuk keluar kelas karena telah jam istirahat. Beberapa orang menepuk pundak Raja berterima kasih karena memang biasanya guru yang itu suka mengambil jam istirahat siswanya.
Resta dan Edo muncul dan sejurus kemudian, mereka melesat ke kantin. Semua siswa sudah berbondong-bondong menyambangi sumber makanan penahan rasa lapar itu. Terutama Raja yang harus membeli dua mangkuk mi ayam, satu untuknya dan satu untuk guru tersebut.
“Eh, gue beli mi ayam, ya,” cetus Raja kepada dua karibnya. “Ambil tempat kita yang biasa. Jangan sampe keduluan orang lain lagi.”
Resta dan Edo hanya mengangguk-angguk malas.
“Pak, dua mi ayam!” seru Raja setelah sampai di warung mi ayam.
“Bayar, ya,” peringat Pak Safiudin, penjual mi ayam yang terkenal di kantin.
“Iya, iya.”
Tak berapa lama dua mi ayam tersebut sudah tersedia.