Aku pikir aku cukup kuat karena aku masih baik-baik saja. Sepanjang langkahku menuju keluar area sekolah hingga aku sampai di sebuah minimarket dekat tempat tinggalku, tidak ada air mata walau hanya setetes.
Bahkan aku saat ini tampak tenang-tenang saja menyusuri rak demi rak mencari kemudian memasukkan berbagai produk pesanan tanteku dalam keranjang belanjaku. Selesai belanja pesanan tanteku, aku langsung ke bagian es krim. Mengambil es krim rasa kopi untuk diriku. Rasanya paling sesuai dengan lidahku.
Lalu, aku ke bagian kasir. Meletakkan keranjang belanjaanku ke meja kasir untuk di hitung harganya oleh petugas bagian kasir. Sembari petugas bagian kasir menjalankan tugasnya, aku mengeluarkan dompetku dari ranselku. Aku mengecek isi dompetku. Hanya ada dua lembar uang seratus ribu. Sontak aku langsung melihat ke keranjang belanjaanku. Banyak banget, seketika aku tidak yakin uang aku cukup.
“Semuanya tiga ratus ribu rupiah.” benar ‘kan uang aku tidak cukup.
Aku baru saja akan membatalkan beberapa belanjaanku tapi sebuah tangan lebih dulu terulur menyodorkan sebuah kartu kreditnya kepada petugas kasir. Bukan itu poinnya tapi apa yang pemilik kartu kredit itu katakanlah poinnya. Dia membayar belanjaanku. Siapa dia?
“Tidak, saya kurangi saja beberapa belanjaan saya.” kataku menolak bantuan.
“Tidak baik menolak kebaikan seseorang.” kata pemilik kartu kredit.
“Siapa kamu? Saya tidak menerima kebaikan orang asing.” kataku berbalik menatapnya.
“Kamu lihat seragamku? Seragam ini sama dengan yang kamu kenakan sekarang.” katanya seraya menunjuk seragamnya sendiri. Iya, memang sama sih. “Kita satu sekolah bahkan satu kelas. Jadi, aku tidak bisa di sebut orang asing. Tolong terima kebaikan aku.” lanjut dia.