Hidupku semula berjalan abu-abu di atas putih. Aku hanya tahu diriku adalah remaja yang punya mimpi menjadi seorang pembaca berita. Kehadiran Alres memberikan warna baru dalam hidupku. Sebuah titik berwarna merah muda yang awalnya kecil perlahan-lahan membesar. Aku berharap kalau aku dan Alres itu akan lama. Tidak pernah terpikirkan kalau hubungan yang dimulai dengan pendekatan selama enam bulan akan berakhir di hari ke enam pacaran. Harapanku tentang Alres bukan hak aku lagi.
Sudah dua pekan berlalu semenjak putusnya aku dan Alres. Berita putusnya kami menjadi topik paling sering di bicarakan di group angkatan. Dua sahabatku mengunjungi aku sehari setelah berita itu tersebar. Mereka bertanya banyak padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi dan hanya aku jawab dengan senyuman tipis.
Aku tahu tentang kebebasan beropini tapi bukan berarti kebebasan itu membuat mereka menjadi kurang ajar. Aku tidak tahu siapa yang memulai, aku selalu di sebutkan sebagai pihak yang salah atas berakhirnya hubungan aku dan Alres sore hari itu.
Mereka menuduh aku berselingkuh. Mereka sudah seperti kumpulan penguntit. Memotret diriku tanpa izin dan menggunggahnya di group juga tanpa izin. Aku tahu, bagi mereka fakta Alres menjadi pihak yang memutuskan aku sore itu sudah menjadi bukti kalau aku bersalah. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Satu hal lagi, setiap interaksi aku dengan Kim Ri-An juga selalu mereka jadikan bukti. Padahal Kim Ri-An itu buatku hanyalah sebatas teman sekelas yang pernah menolong aku dua kali, pertama pas kejadian uang aku kurang dan kedua saat aku bertemu dengan rekan kerja tanteku. Dia menemaniku waktu itu sehingga aku enggak harus makan bersama dengan rekan kerja tanteku.
Interaksi antara aku dan Kim Ri-An juga biasa-biasa saja. Normal untuk teman sekelas makan siang bersama di kantin sekolah. Normal juga untuk belajar bareng di perpustakaan.
Meski aku kesal mereka menuduh aku berselingkuh, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu seperti menjauhi Kim Ri-An untuk menenangkan mereka. Pendapat mereka bukan apa-apa selama aku tidak menganggap itu berarti. Terserah mereka saja lah.
“Reina.” lamunanku buyar seketika.
Aku mengangkat pandangan menatap Kim Ri-An. Kami saat ini sedang berada di pojokan kantin gedung D. Menikmati dua piring batagor dan dua gelas es jeruk peras asli. Aku menunggu kelanjutan ucapannya.
“Batagornya nggak enak, ya?” tanya Kim Ri-An.
“Enak kok.” aku jawab sembari mengangkat sesuap batagor untuk aku makan.
“Reina, kamu memikirkannya ya?” tanya Kim Ri-An.
“Apa yang aku pikirkan?” aku bertanya balik, tidak paham pada maksud pertanyaan Kim Ri-An barusan.
“Menjauhi aku untuk menenangkan para penuduh itu.” jawab Kim Ri-An sembari menunjuk dua orang yang sedang memotret kami, mereka kelabakan menyimpan ponsel mereka saat aku menangkap mereka dengan tatapan tajam milikku. Mereka terpisah dua meja dariku.
“Aku tidak berpikir untuk melakukan itu, Kim Ri-An. Mereka tidak akan berhenti membicarakan aku bahkan jika aku menjauhi kamu. Mereka hanya akan berhenti jika mereka mau berhenti.” kataku santai.
“Aku berharap kamu tidak terlalu tersakiti karena mereka sesuai keputusan kamu buat tidak memusingkan diri berpikir untuk menenangkan mereka.” ujar Kim Ri-An.