Setelah Pak Arvian berlalu, Kim Ri-An mengajakku untuk makan di rumah makan depan gedung apartemen ini. Aku memesan ikan nila bakar begitupun Kim Ri-An. Aku melihat interior rumah makan ini, sangat cantik menggunakan warna kayu. Dinding rumah makan ini dipenuhi dengan puluhan foto berukuran sedang. Foto berbagai makanan khas Indonesia dan informasi dasarnya, seperti daerah asal makanan tersebut.
Dari arah meja kasir terdengar alunan musik tradisional. Ah, pelayan rumah makan ini juga mengenakan batik khas Indonesia. Satu-satunya nuangsa modern di rumah makan ini adalah cara pembayarannya sudah tidak harus dengan uang tunai.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Kim Ri-An mengalihkan perhatianku.
“Memangnya aku harus melakukan sesuatu?” aku bertanya balik.
“Pak Arvian membeli kamu dari tante kamu, Na.” jawab Kim Ri-An.
“Aku tidak tahu harus melakukan apa, Kim Ri-An. Bahkan saat ini aku masih berperang, percaya atau tidak tante aku melakukan itu padaku.” kataku.
“Memangnya bagaimana hubungan kalian selama ini?” tanya Kim Ri-An.
“Antara baik dan buruk.” jawabku singkat.
“Setelah kita makan malam, apakah kamu akan langsung pulang menemui tante kamu?” tanya Kim Ri-An hati-hati padaku.
“Tentu saja, Kim Ri-An. Menunda mengurus masalah ini, aku tidak mau melakukan itu. Aku akan pulang dan menghadapi tanteku, aku harus tahu situasinya dengan benar. Jika aku hanya mendengar dari Pak Arvian kalo tanteku menjual aku padanya lalu membuat pilihan, itu terdengar tidak adil.” jawabku.
“Mau aku temani?” Kim Ri-An menawarkan diri.
“Sejujurnya, aku memang butuh di temani, Kim Ri-An. Aku khawatir jika aku mendengar sesuatu yang tidak mampu aku hadapi, aku bakalan hancur. Jadi, aku terima tawaran kamu, Kim Ri-An.” kataku menerima tawaran Kim Ri-An.