Aku dan Kim Ri-An sampai di gedung apartemen Kim Ri-An setelah menghabiskan waktu kurang lebih sejam-an di jalanan. Menggunakan taxi. Mobil Om Faiz yang aku gunakan akhir-akhir ini telah aku kembali kepada Tante Leina.
Tidak ada pembicaraan berarti antara aku dan Kim Ri-An sepanjang perjalanan kami ke gedung apartemennya tadi. Di dalam lift yang membawa kami naik ke lantai dua puluh pun lebih parah -tidak ada percakapan sama sekali. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa dan tidak tahu bagaimana memulai percakapan. Entah kenapa suasananya sedikit canggung. Untuk Kim Ri-An, aku tidak tahu kenapa dia diam di saat biasanya ia punya banyak topik yang bisa di bicarakan. Mungkin seorang Kim Ri-An sama canggungnya dengan diriku sekarang.
Kim Ri-An membuka pintu unit apartemennya menggunakan sidik jarinya. Sebelum masuk, Kim Ri-An terlebih dulu mempersilahkan aku untuk masuk lebih dulu. Aku menurut. Aku melangkah memasuki unit apartemen Kim Ri-An. Terpesona pada tata ruang yang rapi dan tidak padat. Tidak ada lukisan ataupun foto di ruang tamunya, hanya ada jendela berukuran besar, tirainya berwarna abu-abu. Di dekat jendela terdapat meja persegi panjang yang di atasnya terdapat beberapa pot tanaman kaktus. Satu sofa panjang, dua sofa single berhadapan, di tengah-tengahnya ada meja persegi panjang terbuat dari kayu dan kaca. Pas aku salah ketuk pintu waktu itu, aku tidak bisa melihat ke dalam unit apartemen Kim Ri-An. Ini pertama kalinya aku melihat ruang tamunya.
“Duduk, Na. Mau minum apa?” tawar Kim Ri-An seraya meletakkan koper milikku di dekatku.
“Tidak perlu, Kim Ri-An.” kataku menolak tawarannya. Aku duduk di sofa single terdekatku.
“Oke, apartemen aku ada dua kamar aslinya, Na. Tapi kemudian satu kamarnya aku fungsikan sebagai ruang belajar. Kamar mandi ada dua, satu di dalam kamarku dan satu di dekat dapur sepaket dengan tempat mencuci dan menjemur pakaian. Untuk dapurku memiliki peralatan cukup lengkap dan isi kulkas ku juga lengkap, setidaknya cukup untuk sampai akhir pekan ini.” jelas Kim Ri-An setelah duduk di sofa panjang yang menghadap ke jendela besar.
“Besok hari minggu, Kim Ri-An. Semua belanjaan kamu tadi juga kita tinggal di rumah tanteku.” selaku mengingatkan.
“Maka agenda kencan pertama kita adalah belanja mingguan.” ujar Kim Ri-An santai. Kok bisa Kim Ri-An sesantai itu.
Aku tertegun sementara Kim Ri-An malah cengengesan. Aku menggelengkan kepala. Seketika kepikiran tentang sesuatu yang berhubungan dengan status baru kami -tepatnya status aku sebagai pacar sewaan Kim Ri-An.
“Sepertinya kita perlu membuat kontrak, Kim Ri-An.” usulku. Mengutarakan apa yang tengah aku pikirkan.
“Lalu, kamu bisa tulis semua persyaratan dari kamu dan aku menilai persyaratannya begitu pun kamu menilai persyaratan dari aku. Kita lakukan di ruang belajar.” kata Kim Ri-An menyetujui usulanku.
Kim Ri-An beranjak dari posisi duduknya melangkah memasuki salah satu dari dua pintu yang menghadap ke ruang tamu. Begitupun dengan diriku mengikutinya di belakang. Ruang belajar Kim Ri-An tampak menyenangkan untuk di tempati belajar. Sisi kanan berdiri kokoh berjejer lemari buku baik terbuat dari kaca maupun kayu. Sementara sisi kiri, ada meja dan kursi belajar Kim Ri-An. Di belakangnya dekat tembok, ada sebuah meja yang di atasnya terdapat komputer dan printer berdampingan dengan mesin fotocopy. Tambahan di bagian yang menghadap ke pintu ruangan belajar ini, terdapat sebuah kasur mini se-paket dengan meja kecil.