Aku melangkah pelan memasuki unit apartemen milik Kim Ri-An yang sudah aku tempati lebih dari seminggu ini. Aku seketika menghentikan langkahku saat menyadari kehadiran orang lain di ruang tamu unit apartemen ini. Bukan hanya Kim Ri-An melainkan ada sosok lain berambut blonde.
Kim Ri-An bergerak menghampiri aku. Tahu-tahu Kim Ri-An menarik aku ke dalam pelukannya. Aku terlalu terkejut untuk memberikan respon pada pelukan ini.
“Selamat buat kemenangannya, kekasih.” ujar Kim Ri-An.
“Makasih ucapannya.” aku mencoba mengurai pelukan Kim Ri-An dengan tangan kananku (tangan kiriku tengah aku gunakan buat membawa piagam dan boneka penghargaan aku). Rasanya tidak nyaman berpelukan di lihat oleh orang lain.
“Maaf, aku tidak mendampingi kamu waktu pengumuman hasil. Aku harus menjemput temanku di bandara soalnya.” jelas Kim Ri-An seraya melepaskan pelukannya.
“Teman kamu?”
“Bakalan segera jadi teman kamu juga, dia bergabung di kelas kita mulai senin depan.”
“Dia berambut blonde, panjang lagi, itu melanggar peraturan sekolah.”
“Besok bakalan ke salon buat menyelesaikan masalah itu.” kata Kim Ri-An. Kim Ri-An menarik aku mendekat pada temannya yang tampak tenang duduk di sofa panjang. “Kalian harus kenalan dulu.” kembali Kim Ri-An bersuara.
“Namaku Na Jin-Hwan, bisa kamu panggil Jin-Hwan.” ujar teman Kim Ri-An -Jin-Hwan singkat memperkenalkan diri.
“Reina Andrata.” kataku memperkenalkan diri.
Kami berjabat tangan sebagai simbol telah mengenal satu sama lain. Kim Ri-An menyodorkan padaku sebuah kotak berpita merah. Katanya, itu hadiah perkenalan dari Jin-Hwan. Aku menerima kotak itu seraya mengucapkan terimakasih dan meminta maaf karena tidak menyiapkan apapun sebagai hadiah perkenalan. Mana aku tahu kalau akan bertemu dirinya hari ini dan tidak mungkin juga aku ngasih boneka penghargaan aku padanya sebagai gantinya.
“Tidak masalah, Rein. Aku bisa panggil Rein 'kan?” tanya Jin-Hwan.
Ya, tidak masalah.
“Ya.” jawab Kim Ri-An.
“Tenang saja, aku tidak ada keahlian merebut pacar orang kok, Ri-An.” Ujar Jin-Hwan lalu cengengesan.
Aku paham, Jin-Hwan tengah meledek Kim Ri-An. Aku menggelengkan kepalaku. Itu tidak berpengaruh, Jin-Hwan. Aku dan Kim Ri-An tidak benar-benar berpacaran. Rasanya ingin mengatakan itu. Sebenarnya, aku tidak memahami Kim Ri-An. Kenapa memberitahu orang lain kalau kami pacaran? Aku pikir semua syarat darinya bisa aku penuhi tanpa harus memberitahu orang lain kami pacaran.
Bagaimana kalau kontrak kami selesai nanti? Kim Ri-An akan memberitahu orang lain kalau kami telah memilih putus kah? Alasan putusnya apa? Aku menghela napas.
“Kamu tengah memikirkan apa, Rein?” tanya Jin-Hwan membuyarkan lamunanku.
Aku reflek melihat Jin-Hwan kemudian menoleh ke kiri dan kanan bergantian. Mencari sosok Kim Ri-An. Rupanya tengah berada di dapur mengambil air mineral dingin dari kulkas. Tanpa sadar, aku kembali melamun. Tidak, tepatnya fokus memandangi profil sempurna di depanku. Tampan, jelas semua laki-laki itu tampan.
“Ri-An ganteng banget ya, Rein?” tanya Jin-Hwan yang secara reflek aku jawab dengan anggukan kepala.