"Ke suatu tempat.” jawab Jin-Hwan sembari membelokkan mobilnya ke kanan.
“Ya, suatu tempatnya itu dimana?” aku kembali bertanya sembari menahan kesal. Sungguh jawaban Jin-Hwan sebelumnya sangat memancing emosi.
“Kamu akan tahu saat kita sampai.” kembali Jin Hwan memberikan jawaban yang membuatku kesal.
Aku seketika menghela napas sembari mengepalkan kedua tanganku. Melepas kekesalanku. Aku merogoh saku celana yang aku kenakan, berharap aku membawa ponsel tapi ternyata tidak. Bahkan aku mengenakan pakaian tidur. Jin-Hwan ngeselin.
Sekitar sepuluh menit setelahnya, Jin-Hwan memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah. Rumah ini dari luar tidak kelihatan apa-apa. Wajar ini sudah malam dan sepertinya rumah ini tidak berpenghuni atau penghuninya lagi tidak ada di rumah karena tidak ada satu pun sorotan lampu dari rumah ini. Rumah ini mungil dan hanya satu lantai.
“Ri-An tahu rumah ini, Rein. Mungkin sekitar setengah jam lagi dia bakalan datang menyusul kita.” ujar Jin-Hwan lalu menarik aku masuk ke dalam rumah mungil ini. Jin Hwan punya kunci rumah ini, mungkin ini rumahnya.
“Ini rumah kamu? Buat apa kamu bawa aku ke sini, Jin-Hwan?” tanyaku pada Jin-Hwan setelah aku di paksa duduk di sofa ruang tamu rumah mungil ini.
“Ini bukan rumahku dan berhentilah bertanya.” jawab Jin-Hwan sembari mendudukkan dirinya di sofa single berhadapan denganku. Nadanya tajam. Ini benar-benar berbahaya sih. Otakku dipenuhi pikiran-pikiran buruk, menerka-nerka mengapa Jin-Hwan yang biasanya tampil hangat, jahil dan baik sama seperti Kim Ri-An berubah kek gini.
Cukup lama keheningan menyelimuti. Jin-Hwan beranjak. Entah mau kemana, ia meninggalkan aku sendiri di ruang tamu. Aku memanfaatkan itu untuk kabur. Tapi berkali-kali aku memutar handle pintu, tetap tidak terbuka. Fix, Jin-Hwan tadi menguncinya kembali setelah kami berdua masuk dan kuncinya pasti ia bawa. Karena aku tidak menemukan kunci itu di sekitar aku.
Apa aku dobrak aja ya pintunya? Tapi aku tidak sekuat itu. Aku bukan Nayra yang suka olahraga dan anak klub taekwondo. Namun tidak ada salahnya juga mencoba. Aku pun mundur beberapa langkah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu rumah mungil ini. Sial! Terbuka tidak ya ada bahuku sakit dan jangan lupakan teriakan Jin-Hwan yang keras menyusul kegagalanku. Aku berbalik menghadap Jin-Hwan sembari memegang bahuku yang sakit.
Jin-Hwan menghampiriku setelah meletakkan dua cangkir di atas meja. Tidak tahu cangkir itu isinya apa. “Mau kamu dobrak ini pintu?” tanya Jin-Hwan sembari menunjuk pintu rumah mungil ini. Dia menatapku tajam sembari terus maju membuatku berakhir terimpit pintu dan tubuh kokohnya itu.
“Jin-Hwan, biarin aku pulang. Jujur aku takut banget sekarang.” kataku memohon pada Jin-Hwan.
“Hmm, nanti setelah urusan kita selesai.” ujar Jin-Hwan.
“Urusan apa?” aku bertanya setengah berteriak.